PAGI ini, Jungwon tidak terbangun oleh suara alarmnya pun tidak oleh suara bantingan benda-benda, melainkan lantunan merdu dari sebuah alat musik bernama biola. Jungwon berdecak. Sungguh, suara pecahan piring lebih baik daripada biola.
"Mau sampai kapan kau tidur, Jungwon?" ibu Jungwon membuka pintu kamarnya tidak sabaran, sedikit membantingnya.
Jungwon hanya melirik tidak suka pada sang ibu. Lagipula ini hari Minggu untuk apa dia bangun pagi-pagi?
"Jake saja sudah berlatih dengan biolanya, sedangkan kamu?"
"Berisik!"
Beranjak dari tempat tidur, Jungwon bergerak ke kamar mandi, mengabaikan omelan ibunya di belakang. Jungwon hanya membasuh muka, lalu pergi ke luar rumah dengan jaket hoodie berwarna cerah.
Penasaran siapa Jake?
Jake adalah kakak tirinya. Dua tahun lebih tua dari Jungwon, kelas tiga dan sebentar lagi akan lulus. Pemuda itulah yang menjadi penyebab keluarganya jadi berantakan.
Suatu hari, kalau tidak salah setelah ulang tahun Jungwon yang ke-14, seorang anak laki-laki datang ke rumahnya dengan koper, topi, dan secarik surat. Dia bilang, dia adalah anak dari ayah Jungwon dengan mantan kekasihnya sebelum menikah dengan ibunya. Sejak saat itu, ayah dan ibu Jungwon jadi sering bertengkar bahkan karena alasan kecil. Pertengkaran itu semakin memburuk dari waktu ke waktu dan semuanya jadi seperti sekarang.
Jake lahir dan dibesarkan di luar negeri, entah Amerika atau Australia, Jungwon tidak peduli. Oleh karena itu, Jake punya begitu banyak keunggulan yang membuat ibunya kepanasan. Jungwon sama sekali tidak iri dengan anak di luar nikah itu, tapi ibunya merasa sangat kompetitif ketika itu menyangkut Jake.
Jungwon pernah disuruh untuk mengambil kursus piano karena Jake menguasai biola. Tentu saja, Jungwon menolak. Dia hanya melakukannya beberapa kali, lalu menghantamkan batu ke tangannya agar ibunya menyerah. Sampai kini bekas itu masih ada dan Jungwon merasa kalau tindakannya dulu agak menggelikan.
"Jungwon! Temani aku bermain tenis sini!"
Namanya Niki, salah satu dari sekian banyak anak laki-laki yang tinggal di lingkungan perumahan ini. Dia juga berasal dari luar negeri, tepatnya Jepang. Tapi beda dengan Jake, Niki tidak datang untuk merusak rumah tangga seseorang.
"Males!" balas Jungwon.
"Ayolah, memangnya kamu mau kemana luntang-lantung begitu? Mending main sama aku."
"Aku mau jogging."
Sebuah bola tenis menggelinding di dekat kaki Jungwon yang memakai sandal rumahan. Jogging apanya!
"Berusahalah sedikit kalau mau berbohong," timpal Niki.
Mau tak mau, akhirnya Jungwon setuju untuk menemani Niki bermain tenis. Jungwon itu sebenarnya sangat unggul dalam bidang olahraga. Dia bahkan memegang sabuk hitam taekwondo. Tapi, karena Jake unggul dalam pelajaran dan musik, Jungwon tidak mendapat begitu banyak kesempatan untuk mengembangkan bakatnya sendiri.
"Tadi pagi aku mendengar suara biola dari rumahmu. Kakakmu sudah pulang?" Niki melempar bola ke atas lalu mengayunkan raketnya hingga bola itu melesat melewati net.
Jungwon bergerak ke samping untuk mengembalikan bola tenis ke arah lain, "Begitulah."
"Kakakmu hebat juga mainnya. Pernah coba naik panggung?"
"Bukan urusanku."
Jungwon melakukan smash, begitu kencang hingga Niki lebih memilih untuk melompat ke samping daripada bola itu menghantam wajahnya.
"Santai saja. Jangan terlalu menggebu-nggebu begitu. Ini bahkan bukan kompetisi."
Tapi, kehadiran Jake telah mengubah hidup Jungwon jadi sebuah kompetisi tiada akhir. Semua tuntutan ibunya yang dulu tidak pernah ada, muncul sejak Jake datang ke rumahnya.
"Jungwon, kau melupakan sarapanmu! Karena mungkin kau tidak mau sarapan di rumah jadi aku membawanya ke sini," Jake berlari ke lapangan dengan muka sumringah. Rambutnya coklat, sedikit panjang, disisir rapi ke belakang. Di bahu kiri, Jake menenteng tas biola sementara tangan kanannya membawa satu kotak bekal berwarna ungu.
"Kau pikir kenapa aku tidak mau makan di rumah?" tanya Jungwon dingin.
Jake menggigit bibir, menjawab dengan nada canggung, "Aku tahu kau tidak nyaman dengan kehadiranku, jadi..."
"Kalau kau tahu, kenapa kau masih ada di sini!?" Jungwon membentak. "Menyingkir dari hadapanku, kau pengganggu."
Jungwon membanting raketnya ke tanah dan berlalu dengan langkah lebar. Sementara itu, Jake hanya menatap kepergian Jungwon gelisah.
"Hari sudah semakin siang, bagaimana kalau dia pingsan karena belum sarapan?"
.
.
.
Kepala Jungwon pusing. Dia melihat selimut dan sebuah infusan begitu membuka mata. Masih dengan dinding yang kusam dan dingin, Jungwon mencoba untuk duduk.
"Jake, mana biolamu?" tanya Jungwon pada Jake yang duduk di sebuah kursi, sambil memasukkan selongsong peluru pada senapan mesin berwarna hitam. Jungwon ingat senapan itu produksi Jerman, yang tidak sengaja mereka dapatkan saat sedang menjarah sebuah minimarket kosong beberapa minggu lalu.
"Biola? Sejak kapan aku punya benda mahal seperti biola?"
"Sepertinya Jungwon masih belum sepenuhnya bangun," Sunoo muncul dari balik pintu. "Tolong bedakan antara mimpi dan kenyataan, Jungwon. Kita tidak punya waktu untuk mengurusi mimpi-mimpi indahmu."
Kaca jendela yang pecah membiarkan udara dingin dari luar masuk ke dalam ruangan. Sunoo berjalan mendekat dalam langkah yang tenang dan pelan-pelan. Sunoo mengokang senapan dan mengarahkannya ke luar jendela, ke arah sebuah titik berwarna hitam yang bergerak mendekat. Dalam hitungan ketiga, Sunoo menarik pelatuk, menjatuhkan seekor monster terbang berduri dengan satu tembakan tepat mengenai kepala.
Jungwon cepat-cepat turun dari ranjangnya, mencabut infus, lalu melongok ke bawah. Beberapa atau mungkin puluhan makhluk serupa terkapar tak bernyawa di sana.
Benar, dia bisa mati kalau masih bermain-main dengan mimpi.
"Indah sekali," celetuk Jake tiba-tiba.
"Apanya?"
Sunoo menjawab, "Sayapmu."
Jungwon melirik ke samping, pada sebuah cermin full body yang memantulkan bayangannya. Di sana, Jungwon dibalut pakaian rumah sakit dan sepasang sayap lunak –seperti kupu-kupu– yang berpendar kehijauan.
[]
Sudah berani menebak yang mana yang mimpi dan mana kenyataan?
KAMU SEDANG MEMBACA
7 DAY DREAMS| Jungwon [ENHYPEN]
FanfictionJungwon bermimpi hal yang sama berulang kali. Monster, senapan, dan udara yang berdebu. Saat dunia nyata tidak begitu ramah padanya, Jungwon bertanya yang manakah mimpi buruk itu? !baku!