Seberapa berharap kamu mendapat kesempatan lolos SNMPTN?
•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••
Hari ini, 2 Desember 2020
“Namakamu, bangun Nak. Sudah jam 6, sekolah nggak?” Ibu mengguncang tubuhku dan aku terlonjak kaget. “Sudah jam 6?” Aku pun bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap menuju sekolah.
“Nanti aku tanya temen aku di sekolah dulu Bu, mereka pada mau ke mana dan barangkali mereka punya pertimbangan dan informasi seputar kampus.” ucapku pada ibu sembari mengemasi bekal di dapur.
Tiba di sekolah dengan terlambat untuk kedua kalinya. Duh, lelah sekali. Aku menuntun sepedaku sesuai arahan satpam. Ada lima guru BK yang menunggu untuk menghukumku. Dengan lesu, aku menghampiri mereka.
“Jam berapa sekarang Nak?” tanya guru BK berbaju merah berkacamata tebal.
“Saya tidak punya jam tangan, Bu. Tapi, karena saya telat, kemungkinan sekarang sudah jam 7.30, Bu.”
“Rumah kamu mana?”
“Sukajaya Bu, kurang lebih 8 Km dari sini.”
“Berangkat jam berapa kamu?” Giliran guru BK laki-laki satu-satunya di sekolah ini yang melemparkan pertanyaan. Jam berapa aku berangkat? Entahlah, aku tidak sempat untuk sekedar melirik jam dinding di rumah. Yang aku tahu, aku sudah buru-buru berusaha untuk tidak telat.
“Saya tidak melihat jam, Pak.”
“Owalah Nduk, ya sudah ini diisi dulu.”
Aku mengisi selembar formulir, menuliskan data diri, dan menyerahkannya kembali.“Dua kali telat?” Aku mengangguk. “Sekali lagi telat, ada pemanggilan orang tua lo.” Ancam guru berkemeja putih. Aku hanya mengiyakan ucapan beliau yang aku tahu itu hanyalah sekedar gertakan, bukan? Nyatanya Faruq sudah lima kali telat—jika aku tidak salah menghitung, yang artinya bisa saja lebih dari itu, dan orang tuanya tidak pernah tampak di sekolah ini.
“Ya sudah, kamu bersihkan halaman masjid, itu alat kebersihannya.”
Aku mengangguk dan segera melaksanakan hukumanku. Setidaknya, aku selamat dari pertanyaan "kenapa kamu telat?" Karena aku sama sekali tidak pintar membuat alasan.Ada perasaan kecewa yang membuncah. Mengapa aku harus telat di kelas kimia? Sungguh, aku telah jatuh tertimpa tangga. Setumpuk tugas akan segera menimbun diriku. Telat lima menit saja, Ramlan mendapatkan 5 soal, apalagi aku yang sampai jam 8 belum masuk kelas? Aku mendengus sebal melihat jam dinding di masjid.
______________________________________________Ketika aku telah selesai membersihkan masjid—sesungguhnya tidak benar-benar membersihkannya, bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Pukul 08.15, seharusnya ini masih pelajaran kimia jika Bu Dewi tidak bertugas membimbing anak kelas sebelas untuk olimpiade kimia.
Ya, semoga saja Bu Dewi izin meninggalkan kelas dan tidak menjumpai aku yang baru saja masuk kelas.
SUNGGUH BERUNTUNG AKU!
Ya, sungguh beruntung Tuhan masih berkenan memberiku napas panjang untuk..... bertemu Bu Dewi di depan kelas A3. "Astaghfirullah, hufffttt..." Aku mengembuskan napas pelan.
"Assalamualaikum Bu Dewi" Aku harap senyumku secerah mentari pagi ini meski hatiku sedikit mengumpat.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah... Loh, Namakamu baru datang ke sekolah? Dari mana aja? Kelas A4 kan?"
"Hehe, iya Bu. Saya kelas A4, tadi terlambat."
Stupid.
Kenapa aku ngomong kalau telat, astaghfirullah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Year
Teen FictionTahun terakhir SMA, aku habiskan dengan banyak utang. Utang jajan pada Iris yang selalu ikhlas membelikannya untukku. Utang nilai kimia pada Lula yang sabar mengajariku. Utang bensin pada Ramlan yang bersedia mengantarku pulang. Dan ketiganya, perla...