00••Argan Sehandrio

16 2 0
                                    

Pecahan botol kaca minuman keras berserakan di ruang tamu setelah dilempar oleh Geni, Paman Argan. Anak remaja itu hanya tertunduk datar mendengar kemarahan pamannya yang tidak jelas. Geni menunjuk-nunjuk dirinya seakan-akan dia telah melakukan kesalahan yang besar. Namun, bagi Argan ini masalah yang tidak terlalu berat hanya menunggu pamannya pingsan oleh pengaruh alkohol maka kemarahan akan selesai.

Badan Geni terhuyung ke belakang dan tergeletak begitu saja. Arti kata dia sudah pingsan. Argan masih menatap raga itu sebelum membopong tubuh Geni ke kamar dan menyeka tubuh pamannya agar tidak bau menyengat.

Argan menghembuskan nafas panjang, "Andai diriku cenayang, aku akan memberimu nomer lotte selanjutnya."

Argan membereskan ruang tamu yang ada pecahan botol alkohol. Bibinya sedang di pasar berjualan kue tradisional yang jarang ada peminatnya untuk jaman sekarang. Ruang tamu sudah wangi, saatnya ia mencuci baju pamannya serta bibinya.

Setelah beberapa menit mengurus baju-baju, Argan menuju kamarnya untuk belajar hingga dini hari karena seminggu lagi sudah mulai memasuki ujian semester satu. Ia belajar dengan giat dan selalu mempertahankan ranking pertamanya sejak ia memasuki sekolah dasar.

"Argan, kau sudah makan?" Tanya Bibinya yang baru saja membersihkan diri dari pasar, Yana.

Argan menoleh dan menghampiri bibinya, "Sudah, bi. Sepertinya paman yang belum makan," jawab Argan dengan ramah.

Yana hanya mengusap lengan Argan sambil tersenyum lalu menuju kamar suaminya, Geni. Tak lama Yana keluar bersamaan dengan Geni yang melambaikan tangan kepada Argan dan tersenyum. Argan membalas tersenyum lalu menutup pintu kamarnya untuk belajar.

Jam sudah menunjukkan dini hari dan suara hewan-hewan kecil mulai berisik karena hujan turun. Argan membuka kelambu jendela dan melihat hujan. Ya, Argan sangat suka dengan hujan meskipun itu beserta petir dan halilintarnya. Menurut dia, suara tersebut lebih nyaman ketimbang musik dan rumah seperti sekarang ini.

"Kau gila Geni?" Yana menunjuk Geni dengan amarah yang tak terkontrol.

"Kau yang gila, Yana!" Balas Geni tak kalah emosi. "Karena anak itu kita miskin!"

Sebuah tamparan tidak menganggu konsentrasi Argan, ia sudah memakai headset milik temannya yang sudah usang. Meski begitu ia menitikkan air mata bersamaan dengan titikan air hujan.

"Kembalikan saja lah dia pada orang tuanya!" Kata Geni tegas dan keras.

"Geni!" Teriak Yana dan menatap Geni dengan tajam. "Seharusnya kau yang salah karena terus berjudi dan minum tidak jelas."

Geni memberantakkan meja ruang keluarga dan pergi mencari pelampiasan, sedangkan Yana membanting pintu kamar dan tidur.

Setelah terdengar sepi dan sunyi, Argan keluar dari kamar melihat ruang keluarganya yang tidak seberapa itu sangat berantakan. Argan segera membereskan tempat itu dan membuang yang rusak akibat bantingan dari pamannya.

"Argan," panggil Yana dari belakang punggung Argan.

Argan mendongak dengan takut. Dan benar saja Yana menyabet Argan dengan sabuk kulit milik Geni. Argan menahan rasa sakit itu dan tidak boleh bersuara. Argan sudah terbiasa menerima sabetan sabuk setelah Yana bertengkar dengan suaminya. Benar, Argan adalah tempat pelampiasan Yana yang geram dan kesal terhadap suaminya.

"Kau menyusahkan!"
"Kau selalu menghabiskan uang!"
"Kau tidak tahu diri!"
"Kau hanya tahu makan dan tidur!"

Sabetan demi sabetan. Hinaan demi hinaan. Luka demi luka. Argan terima itu dengan mengatup mulutnya rapat-rapat. Ia tidak tahu alasan paman dan bibinya selalu seperti ini. Padahal dulu saat Argan kecil mereka masih waras dan tidak gila seperti ini. Mungkin mulai sekarang ia akan mencari kerja sambilan demi paman dan bibinya.

Argan SehandrioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang