4

3.4K 51 0
                                    

Happy reading... aku sudah kembalii dari bertapaanku

------------------------

Hah... haah... haaah

Nafas Lucia masih terengah setelah berhasil kabur dari pria gila yang tiba-tiba menciumnya. Ia tahu ini klub tapi menciumnya dengan cara seperti itu, bukankah hanya dilakukan oleh pria brengsek saja?

Sekarang selain merutuki pria gila itu Lucia juga ingin merutuki Sofia yang salah memberikan informasi mengenai letak toilet dan ia juga menyesali keputusannya bebarapa saat lalu untuk pergi ke toilet sendiri sehingga ia salah masuk ruangan.

Lucia menuangkan sabun di tangan lalu mendekatkan wajahnya pada washtapel, menggosok bibir, mencoba menghilangkan jejak bibir orang lain di bibirnya. Lucia mengulanginya beberapa kali hingga merasakan bibirnya benar-benar bersih.

"Lucia"

Suara itu membawa Lucia pada titik sadarnya atas kejadian semalam. Ia menoleh, menemukan Meera berdiri disampingnya.

"Kenapa lama sekali?"

"Iya maaf tante, tadi perut aku sakit"

"Astaga kenapa gak bilang sama tante? Kamu perlu obat?"

"Ngga usah tante, terimakasih. Aku udah baik-baik aja"

"Syukurlah. Kalau begitu ayo kita sarapan, yang lain juga sudah menunggu"

Lucia mengangguk, ia berjalan mengikuti langkah Meera menuju ruang makan dan benar saja saat ia sampai semua anggota keluaraga inti Sofia sudah duduk di kursinya masing-masing, minus Sofia sendiri yang sepertinya masih tidur karena mabuk semalam dan hal ini juga yang membuat Lucia harus menginap di rumah ini.

Selain anggota keluarga Sofia, Lucia juga melihat diatas meja makan sudah berjajar rapih nasi goreng beserta teman-temannya. Lucia duduk menempati salah satu kursi yang masih kosong. Sejak tadi pandangan Lucia tak pernah lepas memperhatikan Meera yang tengah menuangkan nasi ke dalam piring untuk semua orang, termasuk mengisi piringnya.

"Natap Mamanya biasa aja Lu. Ngeri keluar itu bola mata" suara itu tiba-tiba mengisi ruang makan. "Mama cuma nuang nasi di piring bukan lagi atraksi sulap"

Lucia tahu betul siapa pemilik suara tersebut. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya itu, yang kini sudah bergabung duduk disampingnya dan Lucia hanya tersenyum menanggapi ucapan Sofia.

"Benar apa kata Fia, sayang. Tante hanya melakukan tugas sebagai istri dan ibu saja"

Entah pikiran darimana, jika Lucia melihat Meera, rasanya ingin cepat menikah dan melakukan seperti yang selalu dilakukan Meera---melayani semua kebutuhan keluarganya namun pikiran itu selalu ia buang jauh-jauh mengingat kenyataan yang ada.

"Mama gak tahu saja Lucia kan cita-citanya ingin menjadi seperti Mama" celetuk kakaknya Sofia yang sedar tadi menahan mengeluarkan suaranya.

"Seratus buat lo bang, cita-cita mulia Lucia emang nikah muda mau ngurus keluarganya kaya Mama terus cepet-cepet pengen punya anak. Biar jarak antar anaknya gak terlalu jauh sama dia tapi gimana mau nikah muda calonnya aja masih jadi di dunia perhaluan"

"Benar Lu kamu mau nikah muda?" suara sang pemimpin rumah kini terdengar. "Om ada loh pelangan toko. Dia muda, cakep, kayaknya cocok sama kamu. Gimana mau om kenalin?"

"Gaklah om, aku kuliah aja belum kelar masa udah mikirin nikah"

"Menurut om nikah muda ya gapapa Lu, asal kamu bisa bertanggung jawab dengan pilihanmu"

"Sudah-sudah ngobrolnya dilanjut nanti aja" ucap Meera menyela suaminya. "Sekarang, ayo kita makan keburu nasi gorengnya dingin"

Lucia mulai memasukan suap demi suap nasi goreng itu ke dalam mulutnya. Hmm ya semenjak keluarga Sofia pindah ke kota ini beberapa tahun lalu, membuat nasi goreng dan telur ceplok layaknya menu wajib sarapan yang tidak boleh terlewat. Hal ini, sedikit mengobati rindunya pada Indonesia.

My Daddy My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang