Ꭺqᥙᥲɾเᥙ᥉

14 2 0
                                    

⅌ᥲɾt 𝟡. Ꮶᥲρᥲᥣ Ꭲhꫀ᥉ꫀᥙ᥉

Aku melangkah keluar dari gedung berlantai tiga dengan cat putih abu-abu ini. Menjejak setiap undakan tangga yang menghubungkan ke arah gerbang luar. Aku masih tersenyum, bukan karena merasa senang. Tapi, karena keberhasilan ini membuatku kian tak bisa menahan untuk menarik satu sudut bibir.

Sudah kuduga kalau aku akan lolos dari seleksi pemilihan mahasiswa X-university Sydney, Australia. Meski masih kelas XI dan berumur 17 tahun (itupun harus menunggu jam 00.01 nanti), aku selalu yakin untuk bisa lolos. Iya, lolos dari seleksi ini. Juga, lolos dari kehidupan monoton yang memuakkan di sini. Di tanah yang kupijak.

Aku harap begitu. Yeah, seperti mendapat kebahagian baru di sana.

Itu akan menjadi hal yang kuimpikan di hari ulang tahunku.

"Sweet seventeen Blythe!" Begitu kata ulang tahun terlintas di benakku, seketika aku langsung teringat mengenai pesta ulang tahun Blythe malam ini.

Kutilik arloji usang yang kutaruh begitu saja di dalam tas. Mengamati lamat-lamat kedua jarum yang menunjukkan pukul 23.50. Aku mengusap wajahku yang terasa berminyak. Seleksi ini mencakup tiga tahapan, jadi membutuhkan waktu yang lama.

Napasku gusar, tiba-tiba bisikan janji itu terdengar kembali. Seakan aku tengah dibisiki diriku yang dulu. Saat itu. Saat lima tahun yang lalu. Saat gadis berusia 12 tahun itu mulai merasa sok kuat selepas kepergian sosok lelaki pujaannya. Mulai mengira kalau dunia terlalu kejam padanya. Dan seketika, ia bertekad bulat untuk membalas kekejaman dunia dengan sikap temperamennya, sorot netranya, dan smirk-nya. For ever after!

Aku langsung berlari melewati gerbang ketika sebuah taxi melintas di jalanan yang tak pernah lengang itu. Bisikan itu semakin menjadi disertai gemerisik angin malam yang menerbangkan bulu bunga dandelion yang tertanam subur di pembatas gerbang gedung itu. Batu-batu yang berserakan, tak sekali mengilir kakiku. Namun, tidak semudah itu aku terjatuh. Demi 10 menit terakhir. Demi janji itu. Demi akhir untuk sebuah pengabdian janji. Sebelum akhirnya aku akan mengingkarinya.

"Aku janji aku akan selalu ada di hari ulang tahunmu, Blyhte!"

"Ya, itu harus Oliv. Aku ada sebuah tantangan untukmu!"

"Apa?"

"Di ulang tahunku yang ke berapa kamu bisa mewujudkan pesta dan kado impianku?"

Pusaran angin membuat bisikan itu kian abstrak bersamaan dengan teriakanku untuk menghadang taxi biru. Bahkan sampai kacaunya, aku tidak sadar bahwa kakiku telah melewati garis putih. Aku tidak peduli itu.

Taxi itu berhenti. Yang seketika membuatku berhenti untuk berteriak. Aku menilik arloji usang itu lima detik sekali. Huffttt!!! Mengapa ini terasa sangat lambat? Segitu kejamnya kah waktu? Lima detik netraku melirik ke arloji usang dalam genggamanku. Hingga kurasa lima menit sudah berlalu. Aku menilik kembali arloji itu, ternyata baru jeda lima detik dari sebelumnya.

Waktu memang sekejam itu. Mengajak manusia untuk bermain di tengah kegusaran. Kegundahan. Kecemasan. Dan kekhawatiran. Entahlah! Kupikir, mungkin waktu sedang tidak memiliki teman untuk bermain.

Ternyata perjalanan hanya sampai pukul 23.53. Hah, cuma tiga menit! Tapi, aku merasa ini sudah tiga jam!

Kusempatkan untuk memberikan tiga lembar uang kepada lelaki paruh baya yang mengemudikan taxi dengan sangat lambat ini. Sebelum akhirnya aku langsung berlari kencang melewati halaman rumah. Tak sekali aku memegang batang pohon palm lalu berancang-ancang untuk melompati bangku-bangku yang tersusun rapi di sana. Memamg, aku rasa adegan lari kurang asyik jika tidak diikuti dengan melompat.

MISTAKES BY PARADOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang