𝓖𝓪𝓷𝔂𝓶𝓮𝓭𝓮

13 2 0
                                    

𝓟𝓪𝓻𝓽 10. 𝓚𝓪𝓹𝓼𝓾𝓵 𝔀𝓪𝓴𝓽𝓾.

Sepertinya baru satu detik yang lalu aku membuka mata usai bangun tidur. Tapi, mengapa waktu sudah mengantarkanku pada adegan ini? Oh ya, mungkin aku lupa kalau untuk perjalanan dari gedung abu-abu sampai rumah saja aku merasakan waktu tiga jam untuk menempuhnya. Huft! Aku mengusap wajah kasar, sebelum pada akhirnya ujung telapak kakiku merasakan tekstur yang familiar yang serasa menggelitik.

Mataku melirik ke bawah. Aku kembali mengerutkan kening ketika melihat sobekan daun maple yang tinggal setengahnya akibat ulah Blythe. Bagimana daun itu bisa sampai kesini?

Meskipun udara malam ini terasa dingin menusuk tulang, tapi tidak ada sehembus angin pun yang terasa melintas. Apalagi jarak dari rumah sampai bandara ini hampir satu kilometer. Namun tanpa perlu memutar otak untuk berpikir, aku kembali memungut daun maple yang sudah berapa kali ini membuntutiku. Kemudian mengantonginya dalam kantung besar hoodie-ku. Bersama dengan gelang hitam bermanik buah plum itu.

Aku sedikit menarik napas, mengedarkan pandangan untuk mencari eksistensi Kakek yang katanya tengah membeli air minum. Untung aku sudah mengurus surat pindah sekolah seminggu lalu, jadi kegiatan hari ini tidak terlalu padat. Aku tak kuasa menarik satu sudut bibir ketika teringat Bu Hera a.k.a guru paling killer memohon-mohon padaku untuk menetap di sekolah itu. Namun, selama aku tersenyum miring aku malah merasa miris dengan nasib Bu Hera. Apa yang beliau sedang lakukan saat ini ya?

Ketika benakku tengah berkelana, tiba-tiba sebotol minuman bersoda tersodor di depan wajahku. Aku mendongak guna melihat wajah Kekek yang jangkung itu. Ouh, aku lupa. Bagaimana kalau nanti aku akan menjadi mahasiswa paling pendek di sana?

Dengan sekilas senyum, aku menerima botol minuman itu. Lalu menegukanya dengan sedikit brutal. Meskipun begitu, Kakek sudah selesai menegukanya semenit sebelumku. Padahal dia minum dengan santai.

"Kakek tidak memberi tahuku kalau mau ke sini. Padahal aku sudah berencana untuk meraung-raung di pesawat kalau berangkat sendiri." Kuremat botol itu dengan kasar.

Kakek terkekeh. "Kakek pikir kamu bahagia, Oliv. Terus mengapa kamu malah ingin meraung-raung? Kamu mau mengajak semua orang untuk menangis denganmu, hm?" Mata Kakek sedikit membola. Bola mata birunya yang diwariskan untukku terlihat indah meski kulit tipis di sudut matanya sudah berkeriput. Aku mengulum bibir, namun mengapa mataku malah terlihat seperti ini tatapan Medusa?

"Mungkin akan terasa bahagia jika Mama dan Blythe yang mengantarkanku ke bandara dan memberikan pelukan perpisahan," gerutuku dengan menjentik kasar botol itu hingga terdengar suara yang lumayan keras.

"Kakek takut kalau mereka tidak nyaman memeluk bahu baja yang keras ini," balas Kakek dengan menepuk kuat bahuku.

Belum sempat aku mengomel, tiba-tiba waktu peringatan penerbangan pesawat sudah tiba. Memaksaku untuk menggeret koper besar dengan langkah berat. Satu tas besar dan satu tas sekolah kusampirkan begitu saja di kedua pundakku yang kata Kakek terbuat dari baja. Huh, aku mendengus. Ternyata Kakek mengatakan itu karena ingin membiarkanku membawa barang-barangku sendiri. Aku melirik sekilas, Kakek tertawa kecil dengan langkah lebarnya.

***

Ini akan menjadi kedua kalinya telapak kakiku mendarat di negri dengan kanguru sebagai hewan khasnya. Namun, ini akan menjadi yang pertama kalinya aku mendarat di aspal tanpa lapisan salju setipis mungkin. Angin musim panas langsung menerpa rambut ikalku hingga membuatnya terlihat kian berantakan.

Dulu aku pernah menjejak di negri ini ketika musim dingin. Ayah mengatakan kalau rumah Kakek akan kedatangan satu truk kanguru untuk menyogokku yang malas keluar rumah. Apalagi ke luar negri.

MISTAKES BY PARADOXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang