TW : SUICIDE please do not read ifyou'reuncomfortable
Kendati gundah terus melekat menyelimuti hidup, engkau datang dengan begitu percaya diri memberi pelangi dalam hidup pahit milikku. Meskipun hentakan kasar memberi bekas bercak darah, tangan kekar itu tetap tidak berhenti hanya untuk memeluk tubuh mungil yang tengah menanti kematian. Saat pertama kali bertemu, masih kuingat dengan jelas bagaimana suara lembut itu menyapa diiringi beragam warna, memukau hingga diri ini lupa untuk membalas sapaan. Waktu itu duniaku yang awalnya begitu gelap gulita kendati bumi penuh akan warna terasa lebih bercahaya menandingi sinar mentari. Awalnya, dalam sunyi aku merasa takut, dirimu terasa menyeramkan. Padahal aku tahu dirimu tidak akan menggigit layaknya para orang-orang tinggi berbadan besar.
Masih ingat dengan jelas, pada hari dirimu mengatakan padaku untuk selalu bersama, bahkan jari kelingking telah saling bertaut. Tetapi, apa maksud dari batu bertuliskan namamu ini? Walaupun warna bumi sudah menjadi monokrom, tangis pilu ini tetap tidak bisa membuat pelangi yang kurindukan hadir kembali. Aku rindu, tolong kembali.
"Jahat, padahal sudah janji."
Aku meremas begitu kuat baju yang searah dada, itu tidak berhasil menghilangkan sesak ketika isak tangis terukir, malah tenggorokan makin mengeluarkan segenap tenaga. Seakan lupa, untuk mengasihani pita suara yang begitu kecil ini. Oh, sungguh, kenapa engkau tidak berpamit terlebih dahulu sebelum pulang? Padahal aku bisa menggenggam tanganmu dan pergi bersama. Seharusnya, dirimu tahu. Bahwa aku tanpamu rasanya lebih menyakitkan melebihi pita suara yang bisa saja rusak dan membuatku menjadi bisu.
Bawa dia kembali, tolong. Sebentar, untuk diriku mengatakan bahwa dia adalah warna dalam hidupku yang sempat gelap gulita dan betapa rindunya aku dengan warna suara miliknya itu.
Karena kehilanganmu juga, aku menjadi takut dengan kendaraan. Terutama mobil dengan plat nomor yang masih kuingat. Mobil yang merenggut nyawamu.
"Megu-san, ini terlalu sesak. Sakit. Peluk aku sebentar, tolong."
Tangisku masih belum bisa berhenti, kendati telah berlaku tiga hari semenjak kepergianmu. Aku ingin cepat melupakan, namun engkau telah terlalu banyak memberi kenangan indah dalam hidup penuh pilu ini.
Tidak butuh waktu begitu lama, sebelum seseorang berbadan tinggi dan besar datang untuk menggigitku kembali. Tiga hari aku tidak memegang buku dan hanya menangis sembari meratap, tentu saja ia akan marah. Angka brengsek, menghilang saja dari dunia. Tidak butuh lama untuk dia pergi, bersamaan dengan lembaran buku yang telah kubuka kembali. Badan mungil ini bahkan bergetar setelah kejadian tadi, suara berat menggelegar tersebut membuatku merinding. Tak lama setelah suara mobil terdengar menjauh dari rumah, segera kuambil tali tambang yang telah lama kusiapkan. Setelah aku membuka pintu, tali tersebut kuikat di bagian ventilasi di atas pintu. Cukup bersyukur karena tidak ada orang di rumah, pasti takkan ada yang tahu perihal rencana ini. Aku berdiri di atas kursi ketika mengikat tali tersebut, sebelum menggantung tanpa sayap di sana. Ini tidak sakit, sudah kubilang 'kan? Lebih menyakitkan ketika kehilangan dirimu, Bachira Meguru.
Bahkan, masih kuingat dengan jelas dunia monokrom tanpamu yang aku tinggal pergi. Aku memilih untuk menyusulmu, melepas rindu pada relung hati ini. Tujuan seorang Rozana Albert adalah bertemu dengan Bachida Meguru. Tetapi, ternyata Tuhan berkehendak lain. Sebuah kenyataan jikalau neraka tetaplah keharusan.
· · ─────── fin ─────── · ·
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.