#HIRAP - DAWAI DURI

125 25 5
                                    

Bandung, April 2007.

Ia berjinjit agar tak ketahuan. Menyelinap masuk dari pintu belakang adalah satu-satunya cara ampuh. Enggan untuk membangunkan sang pemilik rumah yang sesungguhnya.

Pil berwarna emas berserakan, kamarnya tampak berantakan. "Ulah mereka lagi agaknya," terkanya. Berbekal kantuk yang luar biasa, ia memunguti obat-obatan miliknya, meneguk air bersama dua butir pil, lalu merebahkan badannya di atas kasur.

"Sakit... dadaku sakit," ucapnya dengan mata sayu, "Ibu bisa melihat penderitaanku?"

Usai terlelap berbunga tidur selama kurang lebih tiga jam, cahaya mulai mengintip dari celah. Sudah pukul enam pagi. Ia bergegas menuju toilet, berjinjit-jinjit hingga tak membuat suara bising.

"Semalam pulang jam berapa?" Suara yang antah-berantah itu menyahut ke arahnya. Dengan terseok-seok ia menghampiri sang pemilik suara lalu menjawab, "jam tiga pagi, Ayah."

Tendangan di pagi hari yang biasa, kembali lagi dihadiahkan untuknya. Manusia berdasi yang disebutnya 'Ayah' itu menendangi perutnya sebelum berangkat kerja. Sebab sudah terbiasa, karenanya ia hanya membalas dengan berdiri tegap lalu menunduk hormat sepeninggalan ayahnya.

Belum usai rasa sakit sebab ayahnya, lelaki yang lebih muda selanjutnya kini datang memberinya rasa sakit baru dengan memukuli kepalanya hingga tercipta suara memantul. "Lo semalam dapet duit nggak? Bagi dong!" serunya diselingi gelak tawa.

Enggan membangun keributan, ia hanya menuruti perkataan adik tirinya itu, memberinya beberapa lembar uang pecahan sepuluh ribu hasil kerjanya semalaman. Tanpa mendapatkan ungkapan terima kasih dari adiknya, ia melesat keluar kandang, meninggalkan rumah yang telah kacau itu.

Matahari telah meninggi, sedang lelaki gagah ini masih saja berkutat dengan buku-bukunya. Namun setelah kelasnya usai, ia kembali dihadiahi dengan sederet gelembung pesan BBM dari pujaan hatinya.

@ Serina Rasyelinatha.
Sudah selesai, Ragas?

@ Ragaskara Parengkuan.
Iya, sudah. Kamu dimana?

@ Serina Rasyelinatha.
Aku di kantin bersama teman, nih.

@ Ragaskara Parengkuan.
Ya sudah, habiskan makananmu.

Hanya dengan ketikan singkat dapat membuat senyumnya terulas seindah pelangi, matanya menyipit tenggelam jauh dalam delusi. Ia bahagia, larut dalam kesenangan di balik ponselnya.

Ragaskara Parengkuan, lelaki pemilik senyum seindah pelangi itu, sungguh nahas kehidupannya. Semenjak kepergian sang ibunda, suasana rumahnya berubah menjadi suram, bak pijakan yang dipenuhi dengan duri.

Ayahnya menikah lagi sehingga ia memiliki saudara tiri yang tamak, cinta akan uang. Namun belum genap dua warsa, ibu tiri yang sama rakusnya dengan sang adik pun menyusul ibu kandungnya 'tuk meninggalkan dunia.

Ayahnya menjadi kacau balau; sering bermain wanita, melakukan kekerasan, hingga terburu oleh amarah tanpa sebab. Lima tahun itu sempat menjadi masa terkelam dalam hidupnya.

Bersyukur sebab munculnya setitik rintik dari sang hujan, setidaknya satu warsa sudah ia tapaki dengan rapi, walau tapak kakinya berjalan tanpa henti di atas gundukan duri yang menusuk.

Ia bersyukur pada Tuhan, sebab dengan diciptakannya Serina saja sudah berhasil membuat semangatnya tak memudar, meski nyatanya duri masih terus menumbuk hidupnya.

★★★

SELAMAT MEMBACA

sampai bertemu di chapter berikutnya.
Selalu beri suara dan tinggalkan komentar untuk setiap chapternya, ya! semoga semuanya selalu mendukungku. Aamiin. 😁❤️

HIRAP (Dawai Duri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang