Renan || 04

20 8 3
                                    

Cinta itu seperti sex, ada ngilu, melelahkan, sakit, tapi sangat nikmat dan selalu menyenangkan untuk diulang apalagi dengan banyak gaya. And beside, love still need sex too, right?


-Donna-

***

Weekend,

Tiba giliran Anggi mendapatkan libur. Dan tentu saja waktu luang itu akan ia gunakan untuk menjenguk sang ibu. Ia sudah kangen sekali pada sosok yang membuatnya ada di dunia itu. Anggi pun rupanya tidak datang seorang diri, Donna yang kebetulan juga sedang libur memaksa untuk ikut dengan alasan gabut jika harus sendirian, padahal biasanya di tiap akhir pekan akan ada pesta kecil yang digelar secara bergilir oleh para penghuni lantai tempat tinggal  dua gadis itu berada.

Seperti arisan, pemilihan tempat akan diundi dengan kertas yang diletakan dalam botol, nama yang keluar maka akan menjadi tuan rumah pada pesta berikutnya. Jika ditanya apakah Anggi ikut menghadiri acara minum-minum tersebut, hanya satu kali, itu pun karena desakan Donna yang memaksanya harus ikut, bahkan sampai menyeret.

Mau tak mau Anggi harus mengalah dan mengekori Donna, dan bisa ditebak, Anggi tidak betah berada di sana lama-lama. Baru masuk saja ia sudah tidak nyaman, mulai dari bau alkohol yang berpadu dengan kepulan asap rokok seketika membuat perutnya mual, matanya juga terasa pedih, belum lagi suara musik yang sangat kencang layaknya di Diskotik membuat gendang telinga pekak.

Tempat seperti itu bukanlah favorit Anggi, gadis itu hanya bertahan sepuluh menit, setelah minum sekaleng soda ia menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Donna, lalu kembali ke kamarnya dan memilih tidur. Dan seperti malam sebelumnya di jam-jam yang sama, ia selalu bertemu dengan tetangga sebelah kamarnya yang jutek itu.

Tak ada acara saling sapa atau tersenyum ramah, Renan berlalu begitu saja, seolah mereka tidak saling kenal. Ya, memang tidak saling kenal, sih. Mereka hanya beberapa kali bicara, itu pun karena alasan hutang budi bodoh yang Renan selalu ungkit, jadi kalau setelahnya keadaan kembali seperti awal lagi, apa masalahnya?

Di sana Anggi mulai bingung dengan kecamuk hati soal tetangganya yang super tampan itu, menggigit lidah sendiri agar sadar dari kegilaan yang sempat hinggap di kepalanya sedetik lalu. Tapi sayang mata malah bersikap kurang ajar dengan masih mencuri pandang pintu kamar yang sudah kembali rapat tertutup.

"Woi! Aku sedang bicara, loh, ini!" Protes Donna yang sejak tadi Anggi acuhkan karena sibuk memikirkan Renan? Hah, benarkah?

Anggi menggeleng kencang, menolak ungkapan hatinya sendiri. "Maaf, maaf, kau bicara apa tadi?"

"Au, ah gelap!"

Donna terus mencerocos kesal, merajuk dengan cara mengomel seperti ibu-ibu yang mendapati nilai merah di raport anaknya, sementara yang dimarahi hanya diam pasrah, atau lebih tepatnya benaknya kembali mengawang entah kemana.

Entahlah, sejak kejadian di kamarnya waktu itu ia jadi tidak bisa berhenti memikirkan lelaki dingin itu. Anggi sendiri tidak paham kenapa?

Beralih pada hal lain, Anggi senang ibunya sudah mulai mau berinteraksi dengan orang-orang di sekitar, suatu kemajuan yang bagus, pikirnya. Walaupun beliau belum mengenalinya lagi sebagai anak, tapi Anggi optimis ibunya akan segera kembali seperti dulu. Dan karena kebetulan jam besuk pun sudah habis, mau takau ia harus pulang, namun sebelum itu Donna lebih dulu mengajak Anggi untuk makan siang di sebuah kafe, perempuan montok itu memang sudah merengek lapar sejak setengah jam lalu.

RenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang