Renan || 10

26 6 8
                                    

Bukan obat, apalagi waktu! Keduanya tidak bisa menyembuhkan luka hatimu!

- Renan -

***

Anggi jatuh lemas dalam dekapan seorang pemadam kebakaran setelah meronta tanpa guna, suaranya serak dan mungkin sudah tak bisa lagi bicara, matanya nanar menatap bangunan yang telah hancur lebur  rata dengan tanah menyisakan puing dan percikan api di depan sana.

Air mata saja rasanya tidak cukup untuk menggambarkan luka hatinya saat ini. Ia hancur berkeping sama seperti gedung tempat ibunya semula dirawat.

Semua orang dilanda kepanikan, kemacetan pun tak terhindarkan, bising teriakan, tangisan bahkan umpatan terdengar sahut-sahutan beradu dengan deras air petugas Damkar.

Riuh para relawan dan polisi sibuk melakukan evakuasi, melakukan penyelidikan serta mencari sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti, para wartawan penuh sesak mengabarkan berita di setiap sudut yang bisa dilihat, keadaan kota seketika kacau balau setelah kasus pengeboman RSJ setempat menyeruak. Membuat geger tentang apa penyebab hal itu bisa terjadi.

Anggi masih di tempatnya, air matanya tak berhenti mengalir kendati wajahnya tidak menunjukan ekspresi lagi. Gadis itu seperti kehilangan kewarasan dalam sekejab, matanya tak berkedip menatap puing reruntuhan gedung di seberang yang masih dikepung asap.

Dadanya terlalu sesak untuk berteriak, jiwanya begitu sakit perihal kemungkinan tidak ada korban selamat dalam incident itu. Mentalnya tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa ibunya bisa saja ikut terpanggang di dalam sana atau malah telah hancur terberai saat gedung itu diledakan.

Anggi menggigit bibir sekuatnya, tidak sanggup membayangkan hal mengerikan itu. Sungguh ia tak pernah menyangka semua ini akan terjadi, jika ia tahu pertemuannya dengan sang ibu kemarin adalah pertemuan terakhir maka tentu ia sudah lebih dulu membawa ibunya pergi.

Gadis itu berganti mengigiti ibu jari, memeluk lutut sambil terus menggumamkan nama ibunya. Ia tidak mau ditinggal pergi. Anggi tidak memiliki siapa pun lagi  selain ibunya, ayahnya sudah lebih dulu tiada, selama ini ia berusaha menjadi anak yang kuat dan tidak mengeluh meski harus bekerja sendiri demi bertahan hidup dan menghidupi ibu yang bisa dikatakan gila! Tapi kenapa Tuhan tetap begitu tega mengambil satu-satu keluarga yang ia punya, bahkan tanpa diijinkan melihat untuk yang terakhir kalinya?

Kini ia harus sebatang kara?

Jika demikian apalagi yang menjadi tujuan hidupnya?

Anggi hanya satu dari sekian banyak pihak keluarga korban yang berduka, bedanya ia memilih diam dan sibuk dengan penyesalannya sendiri. Tidak berteriak dan menuntut tanggung jawab pengelola rumah sakit seperti yang lainnya. Sampai akhirnya ia tak sadarkan diri setelah tertimpa salah satu batu yang massa lemparkan pada petugas karena dilarang mendekati area gedung.

#

"Anggi!" seru lirih suara merdu yang tak asing.

Mata sembab itu mengerjap pelan, pandangan masih blur, kepalanya juga pusing.

"Hei, kau sudah bangun? Sini biar kubantu," tawar gadis berbaju merah di samping tempat tidur Anggi.

"Donna?" Anggi memaksakan diri untuk bangun, meski nyeri di kepala bagian kanan semakin terasa. Ada otot yang seperti ditarik.
"Kau yang membawaku ke sini?" sambung gadis itu kala menyadari ia sudah berada di kamarnya sendiri.

Donna menggeleng pelan seraya memberi air putih pada Anggi.
"Aku tidak pernah tahu jika Renan bisa juga berbuat baik, tapi nyatanya dia yang menolongmu dan membawamu pulang, bahkan dia juga yang memintaku menemanimu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang