Di tempat tinggi tampatmu berdiri, aku tidak tahu jika pemandangannya akan seindah ini. Tapi aku juga tidak pernah menyangka jika di tengah keindahan ini, rasanya pun begitu sepi dan sunyi. Apakah kau seringkali merasa sendiri?
-Anggia Avery-
***
Tidak terasa malam di mana Renan membungkam telak nyinyiran Alden sudah berlalu tiga malam lalu. Setelahnya pria bermata sipit itu tidak pernah lagi bicara atau menyapa Anggi bahkan saat mereka berpapasan.Entah karena sakit hati tak mendapat dukungan dari Anggi atau takut karena mengira Anggi benar ada hubungan dengan Renan yang pastinya membuat lelaki itu enggan berurusan. Jelas bukan? Jika sejatinya Alden hanyalah sosok jirih, pengecut yang tidak punya nyali dan jiwa berjuang. Dia hanya pintar beromong besar. Bilang mau melindungi, menjanjikan keamanan, kenyamanan dan sebagainya, tapi baru kena semprot begitu saja sudah ciut!
Bukan perempuan, tapi bersifat seperti putri malu yang baru kena senggol sedikit sudah menguncup! Sifat macam itu menyusahkan, bukan? Mau dibiarkan, makin jadi pastinya, kalau ditertawakan kasian juga, jadi lebih baik memang dihindari saja.
Anggi pun sama sekali tidak ambil pusing, tidak ada untungnya juga dekat atau jauh dengannya. Bagus malah kalau pria itu menjauh, hidup Anggi bisa kembali normal.
Mengenai kasus penyidikan kabar kematian pemerintah itu juga masih berlajut, rumor soal buronan killer itu juga masih santer terdengar, bahkan katanya saat ini lebih buruk karena sudah banyak jatuh korban.
Dari yang tersiar, kemunculan sosok berdarah dingin itu tidak bisa diprediksi. Kebanyakan korbannya mendapat luka di bagian belakang kepala atau punggung yang artinya penjahat itu main belakang. Saat korbannya lengah maka ia akan beraksi, menghajar atau menghantamkan senjatanya pada korban.
Daripada memikirkan Alden dan Donna yang sedang mendiamkannya, Anggi sejujurnya lebih takut memikirkan hal buruk jika ia bisa saja menjadi salah satu korban dari penjahat kejam yang sedang berliaran di luar sana. Apalagi minggu ini ia mendapat sift malam dan harus pulang hampir dini hari.
Entah kenapa para polisi yang jumblahnya banyak itu belum bisa menangkap satu orang penjahat yang kabur, apakah residivis itu benar selicin belut? Kalau terus begini warga jadi resah, apalagi korban yang dipilih sangat acak. Tidak peduli itu pria atau wanita, orang dewasa atau anak-anak, bahkan terakhir yang beritanya dimuat di koran. Orang itu dikatakan menyerang seorang lansia. Bukankah gawat sekali jika sudah begitu?
Berarti dia bukan hanya jahat, tapi mungkin memiliki kelainan mental. Lebih ke arah Psycopath! Cukup geram juga dengan beritanya, jadi Anggi pikir akan menyetujui tiap sumpah serapah yang ia dengar dari orang-orang yang dilaluinya sepanjang jalan tentang penjahat itu. Kalau sudah terangkap, sebaiknya dihukum mati daripada berpotensi kabur lagi. Dan jika hukum tidak memberatkan penjahat itu maka mereka akan menggunakan hukum adat.
Mungkin dibakar hidup-hidup oleh massa atau dipukuli sampai mati. Seram ya!
Kembali pada Anggi--Gadis berkuncir ekor kuda itu baru saja keluar dari tempatnya bekerja untuk pulang. Jam menunjukan sudah lewat dari detik 00:00.
Sialnya, dua orang teman satu pekerjaannya beda arah pulang, sedangkan yang satu arah dengannya dijemput oleh sang suami pakai motor, jadi tidak mungkin Anggi ikut menumpang.
Terpaksalah gadis itu berjalan kaki sendirian. Sebenarnya jaraknya tidak jauh, tapi rasa takut yang menggelayut membuat langkahnya terasa berat. Meski sudah berjalan cepat rasanya tetap saja tidak sampai-sampai. Berusaha mengosongkan pikiran dan positif thinking pun percuma, justru isi pikiran Anggi hanya bayangan menyeramkan penjahat yang sewaktu-waktu bisa muncul di hadapannya atau bahkan memukulnya saat ia terlena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renan
ActionHidupnya penuh dengan misteri. Iba dan peduli telah lama hilang darinya. Karena dia Renan!