Chapter 3: Awal Sebuah Kisah

47 3 0
                                    

Note: Maaf menunggu lama. Enjoy :3

=============================================================================

Tepatnya sekitar dua jam dan tiga puluh menit semenjak aku masuk ke dunia ini. Menjadi seorang ‘pendatang’ di tempat yang tidak kuketahui memang sangat merepotkan, terlebih lagi dengan tidak adanya tanda-tanda peradaban manusia disekitarku dan satu-satunya yang memanduku adalah seekor rubah – untuk tambahan, rubah ini memiliki 3 pasang ekor (aku baru sadar setelah kuperhatikan baik-baik), jadi dia bukan rubah yang biasanya. Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini aku sering sekali mengalami kejadian aneh. Ada apa dengan hal-hal aneh yang tertarik padaku layaknya besi dengan magnet? Sejauh ini, hal baik dan tidak mengandung ‘keanehan’ yang terjadi padaku hanyalah tas selempangku yang kutemukan beberapa saat yang lalu dalam keadaan utuh. Aku bahkan tidak akan heran kalau misalkan sebentar lagi aku menemui sebuah masalah. Yah, seperti yang para tetua katakan pada anak-anak mereka, “Perkataan adalah Do’a”.

Dengan tinggi sekitar 3 meter dan tubuh hijau lumut yang membengkak, seekor mahluk yang mengerikan berdiri di depanku. Seharusnya aku lebih waspada dengan keadaan sekelilingku. Dari sini aku juga bisa menyimpulkan, insting hewan memang benar-benar lebih bagus daripada manusia, karena bahkan sebelum mahluk ini muncul, rubah berekor 3 yang menuntun jalanku sudah lebih dulu bersembunyi di dalam tas selempangku.

Mahluk hijau itu menggeram, rahangnya yang besar itu terbuka menampakkan sederetan gigi yang tajam, dengan sepasang taring rahang bawah yang sangat panjang hingga dapat menyembul keluar bahkan saat mulutnya tertutup. Dibalik tubuhnya yang bengkak itu, pasti tersimpan banyak sekali tenaga, dilihat dari bagaimana ia mengangkat sebuah gada kayu setebal pohon tanpa kesulitan dengan tangannya yang tertutup semacam sarung tangan kulit (dan tidak diragukan lagi, mahluk ini pasti sangat berat), sehingga tidak mungkin bagiku untuk menggunakan teknik bela diriku padanya. Jadi, sebagai salah satu orang-orang yang normal pada umumnya, aku berniat untuk lari. Tapi kadar ‘keanehan’ yang menyelimuti Bestary melebihi ‘kenormalan’-ku, sehingga nampaknya aku harus melawan mahluk ini mau tidak mau – karena setahuku, kalau Bestiary sudah mulai membuka halamannya sendiri, aku tidak akan ada dalam pengendalian diriku untuk sesaat.

Mahluk itu kembali menggeram – nampaknya marah karena aku menghalangi jalannya – dan menganggkat gada kayu itu dengan sangat tinggi. Dengan segera, gada kayu itu diayunkannya ke bawah, tepat ke arahku yang saat itu sudah pasti akan hancur tergencet. Tapi lain ceritanya saat Bestiary terbuka tepat di sebuah halaman.

Salamander.”

Dalam keadaan setengah-sadar, aku menyebut satu kata itu layaknya memanggil seorang teman. Awalnya, Bestiary mengeluarkan cahaya merah marun sebelum akhirnya, sebuah lingkaran api dengan aku sebagai pusatnya muncul di bawah kakiku dan naik ke atas, menghancurkan gada kayu itu menjadi serpihan kecil. Mahluk itu nampak kebingungan sambil mengayun-ayunkan gada kayunya yang hancur menghitam karena api, namun kemudian ia nampak semakin marah dan salah satu tangannya bergerak kearahku – yang untuk sebuah alasan, sarung tangan mahluk itu tiba-tiba terbakar bahkan sebelum menyentuhku.

“Berani sekali kau memanggilku setelah kau melubangi kepalaku, bocah.” Ucap seorang pria botak berjas dengan api yang menyala-nyala menyelimuti kedua tangannya.

Sekali lihat saja aku tahu siapa – atau lebih tepatnya, ‘apa’ – dia ini, mengingat ini ketiga kalinya kami bertemu. Salamander, roh penguasa api yang menyerangku kemarin. Tidak diragukan lagi dia-lah alasan mengapa sarung tangan mahluk itu terbakar tiba-tiba.

FairylessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang