Tanda Tanya

5 3 0
                                    

Aku berjalan melewati lorong sekolah yang mulai sepi. Sebagian dari murid SMA Negeri 14 Jakarta sudah meninggalkan area sekolah. Langkahku berhenti pada kelas XII IPS 1, mataku mengedarkan pandangan mencari sosok Kak Bara, namun nihil dia tidak ada di sana. Aku sudah mencarinya hampir di setiap sudut sekolah dan hanya tersisa satu tempat yang belum aku kunjungi, taman belakang sekolah.

Firasatku mengatakan bahwa aku harus sesegera mungkin ke sana. Sayup–sayup aku mendengar keributan disusul gelak tawa setelahnya. Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Aku melihat se gerombolan siswa yang sedang terlibat perkelahian. Peristiwa tersebut sebenarnya sudah lazim terjadi di sekolah ini hanya saja retina mataku menangkap sosok yang sangat kukenal terlibat dalam perkelahian tersebut. Membuat rasa penasaranku mencuat, " Kak Bara kenapa dia di sini? " Gumamku dalam hati.

Raut wajahnya memerah menahan marah, terus memberikan pukulan bertubi-tubi kepada lawannya, sembari sesekali menghisap sebuah rokok yang di selipkan di antara kedua jarinya. Samar kulihat sosok yang sedang meringkuk di tanah tersebut adalah Ghifar dengan wajah memar, dan luka sobek di bibirnya. Aku mendekap mulutku, tak habis pikir oleh apa yang dilakukan Kak Bara. Terlebih baru kali ini aku melihat sosok lain dalam diri Kak Bara. Ghifar menatapku dengan sisa tenaga yang dimilikinya, berucap tanpa suara " pergi ".

Aku balik berjalan mundur, memilih meninggalkan tempat tersebut dengan pikiran yang berkelana jauh. Mengambil ponsel disaku bajuku, kemudian mengetikkan sebuah pesan kepada seseorang

" Aku tunggu di tempat parkir "

Memilih diam, merahasiakan kejadian yang kulihat tadi dari semua orang termasuk Kak Bara. Bersandar pada jok motor Kak Bara termenung memikirkan sekitar. Beberapa menit kemudian si empunya motor datang dengan senyum hangat menyapa.

" Hai, maaf ya lama aku tadi masih ada rapat OSIS " Ujarnya.

Dia berbohong kepadaku, jelas kulihat tadi dia di belakang sekolah. Untuk apa dia membohongiku, berapa kebohongan yang ia simpan selama ini? Bukankah untuk menutupi satu kebohongan perlu kebohongan yang lainnya. Aku menghembuskan nafas kecewa, memilih diam dan tersenyum.

" Langsung pulang ya kak, aku capek " Dia mengernyit heran, tak biasanya aku begitu. Namun kemudian dia menepuk kepalaku pelan kemudian menjalankan motornya ke arah rumahku.

Sepanjang perjalanan aku tak henti memikirkan kejadian tadi. Raut wajah Ghifar membuatku mengerti bahwa Kak Bara bukanlah orang baik. Berbanding terbalik dengan perspektifitas orang-orang selama ini. Ramah dan sopan, serta friendly membuat Kak Bara menjadi panutan di sekolah, jabatan sebagai ketua OSIS pun semakin menambah nilai plus dalam dirinya. Lalu bagaimana jika semua orang tahu tentang kejadian tadi. Akankah pandangan orang akan sama terhadap sosok Kak Bara.

Motor yang kami tumpangi berbelok ke sebuah tempat makan cepat saji.

" Kita makan dulu ya, kasihan perut kamu " Seakan mengerti pertanyaan yang ada di benakku, Kak bara menggenggam tanganku memasuki tempat makan tersebut.

" Biar aku yang pesan " Bisa dilihat kan seberapa cutenya Kak Bara, rela berdiri disela-sela antrian yang memanjang. Berbanding terbalik dengan yang kulihat tadi di belakang sekolah.

Hampir 20 menit lamanya, Kak Bara datang sembari membawa nampan yang berisikan 2 burger cheese, 1 french fries, serta 2 cup lemon tea.

" Silah kan di makan tuan putri " Aku mengucapkan terima kasih

" Banyak asap rokok Ra, gak baik buat kesehatan "

Aku tersenyum kecut, mengingat kembali kejadian tadi saat kulihat Kak Bara menghisap benda tersebut. Aku memilih mengabaikan, kemudian menyantap makanan tanpa suara.

 Aku mengalihkan fokus pada pria di depanku. Pikiranku berkelana mengingat pertama kali bertemu dengannya, kisah klasik antara seorang peserta MOS dengan seniornya. Merasa paling beruntung telah memiliki kekasih seperti Kak Bara. Namun detik ini aku sadar, ternyata 2 tahun bukan waktu yang cukup untuk mengenal seseorang.

Setelah selesai dengan makananku, Kak Bara mengantarku pulang. Dia menghentikan motornya di depan rumah 2 lantai dengan gaya minimalis.

" Kakak mau masuk dulu ketemu mama? "

" Next time ya " Aku menghela nafas mengiyakan. Malas untuk berdebat dengannya yang selalu tidak mau bertemu orang tuaku

" Daa "

Dia melambaikan tangan ke arahku sembari menghidupkan mesin motornya, beranjak dari depan rumahku. Dua tahun dengannya, namun belum cukup untuk mengerti kepribadiannya. Aku masih merasa asing dengan kehidupannya. Terlebih jika kutanya tentang keluarganya, dia akan memiliki beribu alasan untuk tidak menjawabnya. Entah Kak Bara yang tertutup atau memang aku bukan rumahnya.

Aku menghalau pikiran tersebut, berbalik dan melangkah masuk. Tapi lagi-lagi mataku menatap sosok itu Zafran Alghifari. Berdiri tak jauh di seberang rumahku, memandangku datar dengan tangan bersandar pada sebuah pohon. Bagaimana dia tahu rumahku? Aku bergidik ngeri, mempercepat langkahku untuk masuk ke dalam rumah. Mengunci rapat-rapat pagar rumahku, mengantisipasi bila saja dia adalah pelaku kriminal yang baru saja keluar dari penjara.

***

Pagi ini aku melaksanakan aktivitas seperti biasa, meski rasa penasaranku kian membesar terhadap Kak Bara dan mungkin juga kepada Ghifar, aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku memilih menelungkupkan kepala kemudian menyumpal telinga dengan earphone, menikmati lagu kesukaan ku. Mataku mulai terpejam seiring dengan denyut jantung yang mulai beraturan, memutuskan untuk tidur sebentar sembari menunggu bel masuk berbunyi. Namun hal itu tak terjadi ketika dengan santai nya seorang pria mencabut earphone yang ku pasang, mau tak mau aku mendongak untuk melihat siapa yang melakukan nya.

Mataku terbelalak kaget ketika tahu bahwa pelakunya adalah seseorang yang banyak menimbulkan tanda tanya di otakku. Ghifar, aku melihat jelas banyak nya lebam dan luka di wajahnya. Mungkin kah karena kejadian kemarin. Belum genap rasa kagetku, ia menarik tanganku memaksaku untuk berdiri dan mengikutinya

" Lo apa-apaan sih " Ghifar tetap saja menghiraukanku, menarik  atau lebih tepat menyeret tanganku. Perasaan kantuk yang mendera berubah menjadi perasaan takut, waspada barangkali dia adalah anggota mafia dan ingin menculikku. Aku menepuk dahiku pelan ah mungkin aku semalam terlalu larut dengan cerita yang kubaca.

Langkah kakinya berhenti pada sebuah ruangan Unit Kesehatan Sekolah, aku menerka-nerka untuk apa dia membawaku ke tempat ini.

" Duduk " Ucapnya yang terkesan seperti perintah.

" Lo jangan macam-macam ya sama gue " Aku menatap was-was ke arah Ghifar

Dia menghiraukanku, menarik sebuah kursi lalu duduk di depanku.

" Obat in " Ujarnya

" Hah " Aku melongo di buatnya

" Ck buruan "

" Lo serius? Kita baru ketemu loh. Itu pun karena lo jalan gak pakai mata "

" Bawel lo, cepat! " Nadanya berubah tinggi, entah apa ada yang salah dari perkataanku

Aku berjalan mencari kotak obat, duduk tepat di hadapannya. Membersihkan lukanya dengan alkohol, dapat kulihat wajahnya meringis menahan sakit. Dengan jarak sedekat ini aku bisa merasakan aroma mint pada tubuhnya, aku membuyarkan lamunanku kembali menjaga jarak dan mengembalikan kotak obat tersebut ke tempatnya.

" Thank " Ucapnya berlalu meninggalkanku di ruangan tersebut. Lagi-lagi aku dibuat heran olehnya. Pasalnya dari sekian banyak murid kenapa harus aku yang diminta untuk mengobatinya, lalu apa guna petugas PMR yang berjaga di depan. Aku berdecak kesal, berniat benar-benar ingin memusuhi Ghifar

****

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang terus memperhatikan interaksi keduanya, mengisyaratkan kebencian di matanya

" Gue harap lo gak ingat tentang Zafran Ra "

Haloo readers ?

Jangan lupa vote and comment yaa

Stay tune, update setiap hari jam 11.00 AM











NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang