BAGIAN 4

115 13 0
                                    

Ki Sapta Dewa bangkit berdiri dan membelakanginya.
"Waktu itu kau masih dalam kandungan Ibumu. Yang tak mampu menentang kedua orang tuanya. Sejak semula, mereka memang tidak menyukaiku. Tapi mereka takut mengatakannya terus terang. Namun ketika kebencian mulai memuncak mereka berniat menyingkirkanku. Maka mulailah dikumpulkan orang-orang sakti di seluruh Lokanata. Mereka diperintahkan menghabisiku secara diam-diam atau terang-terangan. Mulai saat itu, aku terusir dari kerajaan dan bersembunyi di suatu tempat untuk memperdalam kesaktianku, sambil secara sembunyi-sembunyi membunuh mereka satu persatu...," papar Ki Sapta Dewa lagi.
"Jadi.., jadi..., benarkah kau ayahku?" tanya Sekarsari dengan suara bergetar.
Laki-laki tua itu mengangguk.
"Bagaimana kau bisa ada di sini? Maksudku... di Lokananta ini?"
"Di dunia manusia, aku jago tak terkalahkan. Tapi itu tidak membuatku puas. Aku berkelana mencari jago-jago lainnya untuk menantangnya bertarung. Perjalanan itu membawaku ke sini, ketika salah satu penduduk negeri ini turun ke dunia manusia. Dia berhasil kukalahkan, dan kupaksa untuk membawaku ke dunianya. Tiba di sini pun, aku berkoar menantang siluman-siluman itu. Ini membuat ibumu tertarik dan berusaha menantangku. Dan dia berhasil kukalahkan. Lalu aku diminta menjadi suaminya. Padahal saat itu, dia belum berpisah dari suaminya...," jelas Ki Sapta Dewa.
"Kalau begitu, dari mana kau yakin kalau aku anakmu? Bisa saja aku putri suaminya," Sekarsari mencoba menyanggah.
"Suaminya tewas di tanganku, sebelum kami kawin. Dan kau lahir dua tahun kemudian. Ibumu yakin, dia tidak mengandung sebelum kawin denganku. Lagi pula, aku hafal betul bau siluman dan bau manusia...."
Gadis itu tertegun. Pedang di tangannya diletakkan di meja, lalu perlahan-lahan dia mendekat. Wajahnya kelihatan penuh dengan keharuan.
"Ayaaah...," sebut Sekarsari.
"Sekarsari, Anakku.... Oh, syukurlah! Akhirnya kau mengakuiku sebagai ayahmu," desah Ki Sapta Dewa.
Ayah dan anak itu saling berpelukan untuk sesaat. Sekarsari seperti ingin menumpahkan kerinduan yang terpendam selama ini.
"Aku selalu mengamati perkembangan, Nak..," sahut Ki Sapta Dewa.
"Benarkah?!" Sekarsari melepaskan pelukan. Dipandangnya orang tua itu dengan raut wajah keheranan.
Ki Sapta Dewa mengangguk, lalu tersenyum.
"Kenapa Ayah tak menemuiku sejak dulu?" tanya Sekarsari, penuh tuntutan.
"Aku tak bisa, Sekar. Kami telah membuat kesepakatan...," Jawab Ki Sapta Dewa.
"Kesepakatan apa?"
"Aku tak boleh menjengukmu sedikit pun selama dua puluh lima tahun."
"Tapi kini...?"
"Ya. Aku telah melanggarnya. Usiamu belum lagi dua puluh lima tahun. Namun aku tak peduli. Kesepakatan itu boleh saja hancur. Tapi tak kuizinkan siapa pun mencelakaimu!"
Hati Sekarsari tergetar mendengar nada bicara Ki Sapta Dewa. Dipandanginya ayahnya dengan segenap perasaan haru di benaknya. Kemudian dengan hangat dipeluknya orang tua itu.
"Ayah.... Sekian lama aku merindukanmu. Dan sepertinya aku tak percaya kalau saat ini bisa bertemu denganmu. Jangan tinggalkan aku lagi, Ayah...," desah gadis ini.
Ki Sapta Dewa tersenyum. Haru. Diusapnya dahi gadis ini hingga menyapu rambut
"Ayah, katakanlah. Kau tak akan meninggalkanku lagi, bukan?" pinta Sekarsari.
"Ibumu mungkin masih mencintaiku. Tapi sekaligus membenciku karena kematian orangtuanya. Perjanjian itu kami buat setelah kematian kakek dan nenekmu. Sebenarnya, aku tak ingin melanggarnya. Tapi.., hem.... Seperti yang telah kukatakan, aku lebih mementingkan keselamatanmu, Sekarsari." ungkap Ki Sapta Dewa.
"Ayah, kurasa Ibu pasti akan mengerti hal itu!"
"Mungkin...."
"Kenapa Ayah merasa tak yakin?"
"Ibumu keras pada pendiriannya. Kalau aku melanggar perjanjian itu, maka dia tak akan memperbolehkan aku untuk bertemu denganmu."
"Kalau begitu, aku tak kembali ke sana lagi!" tandas Sekarsari, mantap.
"Sekarsari! Kau tak boleh begitu!" sergah Ki Sapta Dewa.
"Untuk apa aku kembali ke tempat itu, bila di sana tidak ada yang menyayangiku?!"
"Ibumu menyayangimu, Sekarsari," kata Ki Sapta Dewa, lembut.
"Beliau pasti juga tidak membiarkanku menjalani hukuman!" tambah gadis ini.
"Dia harus bersikap adil, bukan?"
"Kalau begitu, kenapa membiarkanku di penjara tanpa memeriksanya terlebih dulu?!"
"Segalanya ada waktu dan aturannya. Mungkin dia masih punya urusan lain, sehingga belum sempat memeriksa persoalanmu."
"Ayah! Aku tak bisa terima hal itu!"
Ki Sapta Dewa terdiam. Namun hela napasnya yang panjang menunjukkan hatinya yang sedikit risau. "Kenapa? Apakah Ayah tak menyetujuinya? Ayah lebih suka aku hidup di sana dalam penderitaan?!" turut Sekarsari.
"Itukah yang kau rasakan, Anakku?" tukas Ki Sapta Dewa.
"Ibunda terlalu kaku! Aku tak merasakan kalau beliau ibuku! Dia seorang ratu! Tidak kurang, dan tidak lebih! Segala sesuatu yang diinginkannya, maka itu merupakan perintah yang tak bisa dibantah!" dengus Sekarsari berapi-api.
Ki Sapta Dewa tersenyum-senyum mendengarnya.
"Kenapa Ayah tersenyum? Apakah Ayah kira lucu?!" sentak Sekarsari, tak suka.
"Kau merasakan kelainan itu. Dan ini semakin menguatkanku kalau kau memang putriku. Hanya bangsa manusia yang merasakan hal itu. Selama hidup di dunia siluman, aku bisa merasakan kepatuhan mereka terhadap penguasa. Mereka menganggap hal itu suatu yang wajar. Juga banyak hal lain yang bertentangan dengan kebiasaan hidup bangsa manusia. Kurasa, kau mulai mengerti hal itu," jelas Ki Sapta Dewa.
Gadis itu memberengut kesal.
"Walau bagaimanapun aku tak akan kembali lagi ke sana!" tegas gadis ini.
"Mereka akan mencarimu, Sekarsari..."
"Tidak! Mereka pasti mengira aku mati di dasar rawa itu!"
Ki Sapta Dewa tersenyum.
"Sayang, mereka tahu kalau kau selamat," kata laki laki tua ini.
"Apakah Ayah terlibat pertarungan saat menyelamatkanku?" tanya gadis ini.
Laki-laki tua itu menggeleng.
"Lalu?" kejar Sekarsari.
"Seseorang mengetahuinya...."
"Siapa?"
"Orang kepercayaan ibumu."
"Desta Ketu?"
"Bukan. Kau tak akan mengenal orang itu. Dia bisa berada di mana saja, dan sebagai apa saja. Orang itu benar-benar lihai. Dan rasanya tak ada yang menyangka kalau dia kepercayaan ibumu," sahut Ki Sapta Dewa.
"Ayah! Aku penasaran..., siapa orang itu sebenarnya? Dari mana Ayah bisa mengetahuinya?" tuntut Sekarsari.
"Aku lama di sana. Dan aku tahu semua seluk-beluk istana, serta orang-orangnya. Lokananata takut aku mengacau, sehingga menempatkan orang andalannya untuk melindungi negeri itu."
"Ayah, hebatkah orang itu?" tanya Sekarsari penasaran.
"Agaknya begitu," sahut Ki Sapta Dewa, tak yakin.
"Huh! Aku tak peduli. Aku tetap tak akan kembali ke sana!"
"Kalau mereka yang akan menjemput?"
"Aku tetap tidak akan kembali!"
"Mereka akan memaksamu, dan menuduhku telah menghasutmu. Ini kesempatan yang ditunggu-tunggu Lokananta untuk mencari gara-gara denganku. "
"Takutkah Ayah pada mereka?" tanya Sekarsari.
"Aku tak ingin mengulang peristiwa berdarah itu...," kilah Ki Sapta Dewa, seperti tak ingin membangkitkan kenangan lama.
"Aku pernah mendengar kehebatan Ayah itu dari semua penghuni istana. Ayah pasti mampu mengatasi mereka! Karena mereka semua memuji kehebatan Ayah!" seru Sekarsari dengan wajah berseri-seri penuh semangat.
Ki Sapta Dewa tersenyum-senyum.
"Itu dulu, Sekarsari. Ketika aku masih muda dan penuh semangat. Tapi kini usiaku telah semakin tua...," elak Ki Sapta Dewa.
"Jadi Ayah tetap akan menyerahkanku pada mereka?!"
"Aku akan bicara pada ibumu. Untuk sementara ini, kau di sini saja sampai mereka muncul"
Gadis itu tak menjawab. Mukanya kelihatan memberengut.
"Ayolah, jangan begitu. Bagaimanapun, aku menginginkan kebaikan bagimu."
Sekarsari tak mau menjawab. Ki Satpa Dewa tersenyum.
"Kenapa tidak kau ceritakan mengapa kau masuk ke dalam kobakan maut itu?" pinta Ki Sapta Dewa, bertanya.
"Ini semua gara-gara Kakak Gandasari!" dengus Sekarsari. Lalu gadis itu memuntahkan kekesalan di hatinya atas sikap Gandasari belakangan ini.
"Sangat jelas ketika dia hendak memperebutkan pemuda itu dariku, sehingga perlu memenjarakanku. Dia pun telah menyusun rencana untuk melenyapkanku. Kalau Ayah tidak muncul, maka rencananya berjalan mulus!" lanjut Sekarsari.
"Apa istimewanya pemuda itu, sehingga kau pun hendak mempertahankannya?" tanya Ki Sapi Dewa.
"Aku..., aku tak tahu! Hanya kasihan dan tak tega dia diperbudak Kakak Gandasari!"
Ki Sapta Dewa tersenyum.
"Apakah tak ada hal-hal yang lain?" pancing Ki Sapta Dewa.
"Hal lain bagaimana?" Sekarsari malah bertanya.
"Misalnya..., kau memang betul-betul suka padanya?"
"Aku..., aku tak tahu."
"Aku bisa merasakan hatimu. Dan bisa melihat pada sinar matamu. Kau tak rela pemuda itu dimiliki kakakmu, bukan?" tebak Ki Sapta Dewa, sediki menggoda.
"Ayah! Ah! Aku...." Sekarsari jadi salah tingkah. Wajahnya bersemu merah menahan malu. Buru-buru kepalanya melengus, dan kabur keluar diiringi derai tawa Ki Sapta Dewa.

***

Malam gelap dan dingin menyelimuti Istana Kerajaan Lokananta dan sekitarnya. Meski begitu, sepasukan prajurit tetap berjaga-jaga dengan siaga. Sementara yang lain tersiksa hawa dingin yang menyengat hingga ke tulang sum-sum, maka lain halnya dengan keadaan yang terjadi di salah satu kamar di istana kerajaan. Samar-samar terdengar suara berisik. Entah cekikikan, atau jeritan manja, atau mungkin juga derit ranjang yang bergerak tak beraturan.
"Aduh! Jangan keras-keras, Kakang Giri Sadaka!" Terdengar suara manja dari kamar itu. Kadang ditingkahi desahan dan erangan lembut, membangkitkan gairah.
"Habis, kau menggemaskanku, Arimbi," sahut suara satunya. Terdengar berat, namun penuh gelora.
"Hihihi...! Kakang hebat luar biasa," puji suara yang dipanggil Arimbi
"Kau pun begitu!" sambut suara berat, yang dipanggil Giri Sadaka.
"Sungguh? Kakang puas dengan layananku?!"
"He, belum pernah kutemui sekalipun kenikmatan seperti ini!"
"Hihihi...! Aku pun merasakan hal yang sama Kakang."
"Kau tahu? Dalam usia setua ini, aku masih terasa muda dan menyala-nyala. Ini semua berkat..., kau!"
"Aduuuh! Sakit, ah...!"
"Kau membuatku semakin gemas saja! Dan tak pernah puas sedikit pun."
"Hihihi...! Kakang masih sanggup sekali lagi??
"Jangankan sekali. Sepuluh kali pun, aku masih sanggup!"
"Aku ingin buktikan ucapan Kakang!"
"Kapan? Sekarang?!"
"Kapan lagi?"
"Baik!" ?
Kemudian terdengar suara ranjang berderit kencang seperti dilanda gempa hebat. Di atasnya tengah bergumul dua sosok berlainan jenis. Yang perempuan tak lain adalah Arimbi. Sedang yang laki-laki, seorang tokoh persilatan dari dunia nyata yang dibawa Arimbi ke dunia siluman ini.
"Kakang...! Pelan-pelan sedikit! Jangan seperti orang gila! Kau menyakitiku, Kakang..!" kata Arimbi, mengeluh di tengah kegairahan.
"Kau yang membuatku gila! Hhhh...!"
"Aooouw...!"
"Hiiih!"
Arimbi menggeliat-geliat dan melejang-lejang bagai kuda wanita yang binal. Sedangkan Giri Sandaka memperdengarkan dengusan serta hela nafasnya laksana pengendara kuda yang tengah menanjak bukit. Semangat dan nafsunya berkobar.
"Aaah...!"
"Oh...!" Terdengar desahan pendek, ditingkahi erangan penuh kenikmatan ketika berada di puncak gelora. Dan ranjang pun berhenti berderit. Namun hela nafas mereka masih belum teratur, kadang tersengal
"Gila!" desis Giri Sadaka.
"Hihihi...!" Arimbi kembali terkikik.
"Kau betul-betul membuatku gila!" desis Giri Sandaka lagi.
"Aku juga merasa demikian, Kakang."
"Hmm! Belum pernah seumur hidupku merasa hidup ini begitu indah dan nikmat."
"Kau betah di sini, Kakang?" tanya Arimbi.
"Hmm.... Bersamamu di mana pun aku merasa betah!" sahut Giri Sadaka, mantap.
"Sungguh?!" Lelaki yang cukup tua itu mengangguk cepat.
"Kau tidak keberatan tinggal di sini?" tanya Arimbi lagi.
"Di mana pun kau berada, maka di situlah tempatku. Tapi..., apakah sebaliknya kau pun merasa demikian terhadapku?" sahut Giri Sadaka.
"Tentu saja, Kakang! Apakah kau tak mempercayaiku?" tukas Arimbi.
"Tapi.., di sini aku merasa tak berguna. Aku merasa kecil dan sama sekali tak ada kebanggaan..."
"Kau tetap seorang tokoh sakti, Kakang! Dan rasanya, sulit mencari tandinganmu di tempat ini."
"Tapi nyatanya, aku tak berguna. Bahkan menghadapi seorang prajurit rendahan pun, aku tak mampu."
"Maukah kutunjukkan, bagaimana caranya agar mampu mengalahkannya? Bahkan mengalahkan seluruh tokoh sakti di istana kerajaan ini?" kata Arimbi menawarkan.
"Tentu saja! Bagaimana caranya?!" sahut Giri Sedaka, cepat.
"Kau mesti meminum air Dewa Langit. Dengan air itu, maka kedudukanmu sama dengan kaum siluman tanpa memusnahkan kemampuan serta kesaktianmu. Maka dengan demikian kau mampu menghajar dan melukai mereka!" jelas Arimbi.
"Aku mau?! Mana air 'Dewa Langit' itu? Biar kuminum sekarang!"
"Sabar, Kakang! Jangan terburu-buru begitu. Selain air itu sulit didapat, Kakang juga harus membuat perjanjian," ujar Arimbi.
"Perjanjian apa?" tanya Giri Sadaka.
"Kakang mesti berjanji untuk menolongku."
"Tentu saja! Kau istriku. Maka kesulitanmu menjadi kesulitanku pula. Aku pasti akan menolongmu dari setiap kesulitan."
"Sungguh?!"
"Aku bersumpah!"
"Baiklah. Aku percaya padamu, Kakang."
"Nah, kapan bisa kudapatkan air 'Dewa Langit' itu?" tanya Giri Sadaka seperti tak sabar.
"Kakak Gandasari yang akan mengusahakannya. Nanti kita akan bicara padanya," jelas Arimbi. Baru saja selesai bicara, mendadak....
Tok! Tok! Tok!
"Kakak Gandasari?" sebut Arimbi.
Ya," sahut suara dari luar kamar.

***

205. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Gila Di LokanantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang