BAGIAN 5

114 11 0
                                    

"Ada apa?" bisik Arimbi ketika telah membuka pintu. Tampak seraut wajah masam berdiri di pintu.
"Sial! Kalian enak-enakan sementara aku sengsara!" sosok di depan pintu yang tak lain Gandasari ketika melihat pakaian Arimbi tampak acak-acakan.
"Apa yang bisa kubantu, Kak?" tanya Arimbi tak mempedulikan sorot mata tajam Gandasari.
"Ibunda mendekap pemuda itu di kamarnya!" gerutu Gandasari.
"Hm!" Arimbi menggumam tak jelas.
"Jangan diam saja! Bantu aku, bagaimana caranya mendapatkan dia kembali!" desis Gandasari.
"Kenapa mesti dipikirkan? Apakah Kakak menyukainya?"
"Bukan itu! Yang penting, dia mesti kudapatkan!"
"Kalau sekadar membantu kita, Kakang Giri Sadaka pun bersedia. Bukan begitu, Kakang?" kata Arimbi, seraya menoleh pada laki-laki tua di belakangnya.
"Tentu saja!" sahut Giri Sadaka cepat.
"Hm! Kuhargai itu. Sebentar. Ada hal yang penting yang mesti kubicarakan pada Arimbi."
Tanpa meminta persetujuan Giri Sadaka, Gandasari mengajak Arimbi keluar. Mereka masuk ke sebuah kamar, milik Gandasari sendiri.
"Sungguh-sungguh kau telah menguasainya?" tanya Gandasari dengan wajah bersungguh-sungguh, begitu pintu telah ditutup.
"Seperti kerbau dicocok hidungnya!" sahut Arimbi, menegaskan.
"Bagus!"
"Bagaimana dengan Ajiwirya?"
"Laki-laki itu mata keranjang. Dalam waktu singkat, dia pasti bisa kukuasai!"
"Bagaimana dengan air Dewa Langit? Bisakah Kakak mengambilnya?"
"Tempat itu dijaga ketat oleh Desta Ketu. Kurang ajar! Aku coba merayunya dengan segala cara, tapi siluman satu itu tidak terpancing!" dengus Gandasari.
"Sudah coba dengan cara biasa?" tanya Arimbi, terkikik.
"Dia tidak mempan dengan cara begitu!" desis Gandasari.
"Lalu, apa akal kita?"
"Itu yang tengah kupikirkan! Kenapa kau tidak mencari akal lain?"
"Berapa lama waktu yang Kakak butuhkan untuk mengambil air itu?"
"Tidak lama. Aku hafal tempat air itu diletakan."
"Kalau begitu, katakan saja pada Desta Ketu kalau Ibunda memanggilnya. Saat itu, Kakak bisa menyelinap."
"Hei, bagus juga akalmu! Tidak sangka! Gembrot-gembrot begini, otakmu encer juga!" Arimbi tertawa renyah dipuji begitu. "Tapi kalau ternyata dia tahu diakali karena Ibunda tidak memanggil?" tanya Gandasari, tiba-tiba ingat sesuatu.
"Alaaah! Katakan saja Kakak salah dengar! Beres...!" jawab Arimbi, meyakinkan.
"Ya, ya. Boleh juga."
"Nah! Tidak ada yang sulit, bukan?"
"Aku masih penasaran pada pemuda itu! Mestinya dia kubunuh saja sejak semula!" desis Gandasari dengan wajah geram.
"Tapi dia kini di tangan Ibunda...?"
"Itu bisa diatur. Aku akan buat seolah-olah terjadi kecelakaan. Dan..., Hihihi...! Kau tahu, bukan?! Seperti nasib si Sekarsari, dia akan mampus di kobakan maut itu!"
"Tapi bagaimana cara memancingnya keluar? selama ini, Ibunda belum memperbolehkannya keluar kamar."
"Itulah yang tengah kupikirkan.... Paling aku hanya menunggu kesempatan baik..."
"Kenapa tidak dipadukan saja?!" usul Arimbi denqan bola mata melebar.
"Apa maksudmu?" tanya Gandasari.
"Desa Ketu menghadap Ibunda. Dan itu berarti ibunda keluar dari kamarnya...," papar Arimbi.
"Aku mengerti rencanamu, Arimbi! Bagus sekali! Tapi..., bagaimana cara melakukannya?" tanya Gandasari lagi.
"Serahkan saja padaku! Biar kubereskan dia!"
"Kau mampu?"
"Kenapa tidak?"
Gandasari terdiam sejenak. Dicobanya ikut memikirkan rencana apa yang tengah disusun di benak adiknya.
"Bagaimana caramu menghabisinya?" Akhirnya keluar juga pertanyaan di benak Gandasari.
"Apakah Kakak tak percaya padaku?" tukas Arimbi.
"Aku cuma ingin tahu!"
Arimbi tersenyum. Lalu dibisikkannya sesuatu ke telinga Gandasari.
"Bagaimana?!" tanya Arimbi dengan wajah berseri seakan rencananya betul-betul hebat.
"Bagus! Bagus sekali, Arimbi!" sahut Gandasari.
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui!"
"Sambil menyelam minum air!"
"Oh, iya...!"
"Hihihi..!" Keduanya terkikik.
"Kapan dilaksanakannya?" tanya Arimbi.
"Aku beri tahu secepatnya, begitu ada kesempatan baik!" sahut Gandasari mantap. Arimbi mengangguk. "Sudah! Pergilah kau pada laki-laki itu!"
"Hihihi...! Tentu saja. Kakak mengganggu acara indah kami!"
"Kau betul-betul menyukainya?" Arimbi terkekeh, lalu berjalan ke pintu.
"Dia hebat! Dahsyat...!"
Gadis itu mengacungkan jempol, lalu segera menghilang di balik pintu.

***

"Ohh...!"
Dengan erangan lirih, Rangga mulai siuman. Perlahan-lahan, matanya mulai terbuka. Samar-samar otaknya mulai mengingat-ingat, apa yang terjadi di kamar ini. Terakhir yang diingatnya adalah ketika dia akan melakukan perbuatan terkutuk, mendadak terdengar suara burung yang tak asing lagi baginya. Suara Rajawali Putih yang membuat kesadarannya menghilang.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit. Namun dia tak tahu apa yang harus dilakukannya, seakan-akan dia sudah tak punya gairah lagi. Tanpa terasa, kakinya melangkah ke jendela.
Tok! Tok! Tok!
Mendadak terdengar ketukan halus, pemuda itu mengerutkan keningnya. Dan perlahan-lahan tangannya bergerak mendorong daun jendela.
Krieeeet!
Jendela berjeruji kayu yang dilapisi kerangka besi itu terbuka sedikit demi sedikit. Dahi Rangga berkerut. Kewaspadaannya mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Namun rasa ingin tahunya begitu kuat. Maka dia coba mengintip.
"Tak ada siapa-siapa?" Pendekar Rajawali Sakti pelan-pelan melompati jendela. Namun baru saja menjejak tanah....
Set!
Mendadak, sebatang anak panah melesat bagaikan kilat ke arah Rangga. Begitu cepat sehingga....
Crab!
"Aaakh...!" Anak panah itu kontan menembus bahu Pendekar Rajawali Sakti, hingga berteriak kesakitan. Wajahnya langsung menegang. Dahinya berkerut. Darahnya mengucur pelan membasahi sekujur tubuh. Dan ini membuat kesadarannya mengatakan kalau kepandaiannya seperti lenyap entah kemana.
Meski menahan rasa sakit hebat, Pendekar Rajawali Sakti tahu ada bahaya besar tengah mengancam. Sambil meringis kesakitan, Rangga segera berlari menyelamatkan diri. Namun baru beberapa tombak...
Siut! Crab!
Sebatang anak panah menancap lagi di pinggang belakang Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya kian berkerut menahan rasa sakit. Namun dia berusaha untuk tidak berteriak.
"Tawanan meloloskan diri! Tawanan meloloskan diri...!"
"Ohh...!"
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap mendengar suara teriakan keras. Saat itu juga, telinganya mendengar derap langkah kaki hilir mudik, dari segala arah. Itu membuatnya gugup dan tegang. Jantungnya berdetak kencang. Sementara darah segar terus meleleh dari luka-lukanya.
"Hiih!" Sambil menggigit bibir menahan sakit, Pendekar Rajawali Sakti mencabut anak panah yang menancap di pinggang dan di bahunya. Langsung dirobek bajunya yang dikenakan untuk membebat luka.
"Ssst! Lewat sini!"
"Hei...?!" Rangga tersentak kaget, ketika satu sosok tubuh ramping muncul dari arah samping. Sosok itu langsung memberi isyarat untuk menghampiri. Begitu dekat Pendekar Rajawali Sakti segera mengenali gadis itu ternyata Harum Sari.
Tapi bukankah waktu itu Harum Sari tak ikut pulang ke Kerajaan Lokananta yang terletak di negeri Siluman, karena belum mendapat jodoh. Tapi memang bisa jadi gadis ini sudah kembali secara diam-diam, karena tak tega pada Sekarsari yang telah dituduh sebagai pengkhianat. Rangga tak dapat berpikir lebih lama lagi, ketika suara-suara teriakan makin terdengar di telinganya. Maka tanpa pikir panjang lagi buru-buru disusulnya gadis itu.
"Cepat! Mereka tengah mengincarmu!" ajak gadis yang ternyata Harum Sari.
Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Harum Sari menggamit lengannya, lalu buru-buru memasuki sebuah kamar. Di dalam, terdapat sebuah terowongan bawah tanah yang semula dihalangi lemari besi.
"Masuklah kau ke dalam! Aku tak bisa mengantarkanmu lebih jauh. Kau harus bertahan hidup. Hati-hati! Banyak terdapat jebakan maut di dalamnya!" ujar Harum Sari.
"Dan, ini pedang dan pakaianmu."
Pendekar Rajawali Sakti cepat menerima benda-benda yang disodorkan gadis itu. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa...
"Ohh...!"
Bruakkk!
Rangga melenguh, saat gadis itu telah menutup mulut terowongan dengan lemari besar tadi.
"Oh, aku mesti menyelamatkan diri. Aku mesti menyelamatkan diri...," keluh Rangga membulatkan tekad.
Bruak!
"Aaakh...!"
Baru saja melangkah, kaki pemuda ini membentur sebongkah batu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya menggelinding cepat ke bawah.
Entah berapa kali tubuh Pendekar Rajawali Sakti membentur batu-batuan runcing, dan batu-batuan besar. Rasanya luluh lantak. Namun tetap saja luncurannya tak mampu dihentikan. Dia seperti jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Gelap dan pengap. Tak satu pun yang bisa dilihat kecuali hitam. Dan..., pemandangan yang hitam!
Bruak!
"Aaakh...!"
Terakhir kali, tubuh Pendekar Rajawali Sakti terhempas keras. Tulang-tulangnya terasa patah, Kepalanya berkunang-kunang. Tempat ini lembab dan bau. Sunyi, seperti tak ada kehidupan sama sekali. Rangga seperti melayang-layang tak menyentuh bumi.
"Oh, Hyang Tunggal! Jika aku mesti mati, hendaklah mati secara gagah perkasa! Aku tak mau mati seperti ini! Jika aku ditakdirkan hidup, maka berikanlah pertolongan kepadaku. Jangan Kau sia-siakan aku dalam penderitaan yang sekiranya tak mampu kupikul! Berilah aku kekuatan...!" keluh Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mendesis. Suaranya sulit tertangkap pendengaran. Entah keluar dari bibir atau hanya bergaung di tenggorokan. Namun dari kedua tangan dan kakinya yang bergerak-gerak, menandakan semangat hidupnya yang tak mau menyerah begitu saja!
"Oh...! Aku mesti bisa keluar dari tempat ini! Aku mesti bisa...!" Perlahan-lahan Rangga menggeser tubuhnya, bertopang pada kedua lengan seperti bayi yang belajar bergerak.
"Air...! Oh, haus...! Aku perlu air..." Dengan mengerahkan sisa tenaga yang dimiliki, Rangga berusaha menggeser tubuhnya. Namun usahanya terhenti pada jarak sekitar tujuh langkah dari tempatnya semula. Kepalanya terkulai dan napasnya seperti mau putus.
"Ahhh...! Air.... Air...!"
Jaaas!
"Ohh...!"
Pemuda itu terkesiap. Sekilas matanya tadi melihat seberkas cahaya melesat cepat. Dicobanya menegaskan pandangan. Namun cahaya itu seperti lenyap begitu saja.
"Apa itu? Apakah hanya khayalanku saja? Oh, tidak! Tidak! Aku takboleh kehilangan kesadaran!"
Jezt! "
"Hei?!" Berkas sinar yang tadi terlihat, kembali muncul. Melesat cepat di hadapan Pendekar Rajawali Sakti pada jarak sekitar lima langkah. Kali ini. Rangga betul-betul bukan seperti melihat bayangan maya.
Siuuuts...!
Berkas cahaya yang tadi lenyap, kini kembali muncul. Kali ini tepat lurus di depan Pendekar Rajawali Sakti. Semula berupa cahaya sebesar titik yang semakin lama semakin besar. Lalu..., membentuk sesosok tubuh seorang wanita polos tanpa benang sehelai pun!
"Aaahh...!"
Tubuh Rangga gemetar menahan panas dingin hebat, melihat pemandangan di depannya. Wanita itu seperti melayang-layang beberapa jengkal dari permukaan tanah. Rambutnya panjang menyapu tanah, berwarna keemasan. Tubuhnya seperti mengeluarkan cahaya yang menerangi sekitar tempat itu.
"Ohh...! Apakah aku tengah bermimpi? Oh, Jagat Dewa Bhatara! Makhluk apa ini?!" desisl Rangga dengan wajah pucat dan mata terbelalak lebar.

***

205. Pendekar Rajawali Sakti : Asmara Gila Di LokanantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang