BAGIAN 6

97 8 0
                                    

Rangga tertunduk lesu sambil berlutut. Angin malam berhembus mengibar-ngibarkan rambutnya. Beberapa saat lamanya dia dalam sikap seperti itu, sebelum akhirnya bangkit dan melangkah pelan menembus kegelapan malam.
"Pandan.... Di mana aku mencarimu?" keluhnya lirih.
Angin bertiup membawa embun malam dan terasa dingin hingga menusuk tulang sumsum. Batang-batang pohon bergoyang keras. Suara gemerisik daun-daun menimbulkan bunyi yang menggidikkan. Apalagi saat ini malam telah begitu larut. Dan di sekeliling belum terlihat rumah barang satu pun!
"Ke mana dia harus kucari? Pandan..., mudah-mudahan saat ini keadaanmu baik-baik saja. Aku tak tahu, apakah kita masih diberi kesempatan untuk bertemu kembali atau tidak...," gumam Rangga di hati sambil terus melangkah.
Sebentar-sebentar Rangga berhenti merasakan nyeri di dada sebelah kiri, seperti ratusan jarum halus yang menusuk-nusuk jantung. Sementara kepalanya terasa nyeri bukan main.
"Aaakh...!"
Pemuda itu berteriak-teriak kesakitan dan sempoyongan ke sana kemari. Tubuhnya seolah melayang, dan kakinya tak menapak ke tanah.
"Siluman terkutuk! Suatu saat akan kubunuh kau!" rutuk Pendekar Rajawali Sakti geram. Makian Rangga terhenti ketika rasa sakit di jantungnya semakin menjadi-jadi, dibarengi sakit kepala yang luar biasa hebat.
"Aaakh...!"
Teriakan pemuda ini berbaur dengan angin kencang dan gemersik dedaunan. Tubuhnya sempoyongan ke sana kemari. Dan rasa dingin mulai meresap ke dalam tubuhnya, ketika gerimis turun satu persatu.
"Keparat! Pukulan siluman terkutuk itu agaknya mulai merasuk dan merusak tulang-tulangku," keluh Rangga dengan wajah berkerut.
Glarrr...!
"Aaakh...!"
Tepat ketika kilat membelah angkasa, pemuda itu pun menjerit kesakitan. Tubuhnya sempoyongan dan ambruk. Berkubang dalam tanah becek. Namun sekuat tenaga, dia bangkit dan terus berjalan menerpa hujan yang turun seperti langit bocor.
"Ohh.... Pandan! Pandaaan! Di mana kau? Di mana kau?!" teriak Rangga dengan sekujur tubuh gemetar. Bukan saja menahan nyeri di kepala dan jantungnya, tapi juga rasa dingin menyengat. Alam menyambut dengan suara geledek menggelegar dan curah hujan deras.
"Pandan? Jawablah, di mana kau?! Di mana kau...?!" Rangga kembali berteriak dengan mengerahkan segenap tenaga.
"Gandasari keparat! Kubunuh kau, siluman terkutuk! Kubunuh kau! Kucincang dagingmu hingga jadi serpihan yang sulit dikenali! Oh, tidak. Itu terlalu enak. Dagingmu akan..., kuberikan pada anjing-anjing buduk! Ya, khusus anjing-anjing buduk karena hatimu sama dengan rupa mereka."
"Hahaha...!"
Glaaarrr...!
"Weit, apa itu?!" Rangga melompat ke samping ketika cahaya kilat seperti menyambarnya.
"Kau berani padaku? Aku pendekar besar tak terkalahkan! Ayo, tunjukkan dirimu! Kau pun akan kucincang seperti Gandasari! Ayo, keluar...!"
Entah apa yang terjadi terhadap Pendekar Rajawali Sakti. Yang jelas, dia sudah tak tahu lagi siapa diriya. Kewarasannya lenyap entah ke mana. Yang ada kini hanya seorang pemuda edan dengan pandangan kosong!
"Keluar kau! Atau kubeset kulitmu?! Ayo, keluar...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti setelah mencabut pedangnya sambil memandang ke sekeliling dengan sorot liar.
Dengan pedang terhunus, Rangga berputar-putar mencurigai rerimbunan semak yang berada di sekelilingnya.
"Bagus! Rupanya kau takut padaku, he?! Hahaha...! Aku pendekar sakti. Dan semua mesti takut padaku! Hihihi...!"
Pendekar Rajawali Sakti yang telah berubah gila itu terkekeh-kekeh sambil mengibas-ngibaskan pedangnya ke atas memapas air hujan.
"Aaakh...!"
Tapi seketika pemuda ini menjerit. Dia terduduk bersujud, lalu bergulingan ketika rasa sakit di jantung dan kepalanya kembali kambuh.
Sekian lama tubuh Rangga bergulingan sambil berteriak-teriak kesakitan. Sekujur tubuh dari ujung rambut hingga ke kaki, basah oleh air hujan bercampur lumpur. Dan kemudian terdiam seperti seonggok kayu basah mati. Tak lama kemudian Pendekar Rajawali Sakti kembali bangkit. Matanya memandang tajam ke sekeliling tempat. Pedang di tangannya tetap terhunus.
"Ayo, di mana kau? Tunjukkan dirimu?!" bentak Rangga.
Rangga menunggu sesaat lamanya. Namun tak seorang pun di tempat itu. Dia kembali terkekeh sambil menyarungkan pedang.
"Hehehe...! Kau takut padaku? Makanya jangan coba-coa kalau tak ingin celaka. Hahaha...! Sudah kukatakan berkali-kali padamu. Aku pendekar sakti yang tak terkalahkan. Kalau mau mampus, ayo lawan aku! Nah! Karena sudah tak ada yang berani lagi melawanku, maka sebaiknya aku tidur dulu. Kalian tak boleh membangunkan. Ingat! Siapa yang berani membangunkan, akan kugantung dengan kepala di bawah!"
Pemuda itu mencari kobakan cetek lalu mencebur diri seperti bocah yang kegirangan mandi di sungai. Sesaat dia mengais-ngais air dengan kedua tangan dan kaki. Kemudian diam tak bergerak. Dan air hujan terus menyergapnya.

207. Pendekar Rajawali Sakti : Kekasih Sang PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang