BAGIAN 7

108 8 0
                                    

Seperti tak ada kejadian apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenggang. Diikuti pandangan orang-orang desa yang bertanya-tanya tak mengerti. Mungkin mereka tengah berpikir, orang sinting dari mana yang punya pedang sehebat itu? Namun begitu tak ada seorang pun yang berani mengusiknya. Kecuali..., beberapa orang yang segera keluar dari dalam sebuah kedai setelah mendengar keributan tadi!

Jumlah mereka empat orang, berbaju serba hitam dan bersenjata pedang panjang. Rambut mereka panjang dikuncir ke atas. Dari cara berpakaiannya, mereka tampak beda dengan orang-orang di tanah Jawa ini. Gerakan mereka ringan. Dan tahu-tahu, telah berdiri di depan Rangga dengan sikap menghadang.
"Berhenti kau!" bentak salah seorang.
Dengan tatapan kosong Pendekar Rajawali Sakti berhenti. Dia balas memandang sambil terkekeh-kekeh. Pendekar Rajawali Sakti membungkuk sambil berputar. Sebelah kakinya langsung menghajar dada.
Desss...!
"Aaakh...!"
Pemuda yang menyerang kontan terpental beberapa langkah ke belakang. Terdengar pekik kesakitan. Dan orang itu menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong.
"Hehehe...! Kalian mau coba-coba padaku? Aku adalah pendekar sakti tak terkalahkan! Siapa yang ingin mampus, ayo cepat ke sini!" teriak Rangga berkaok-kaok sambil mencabut pedang.
Sring!
"Hah?!"
Begitu melihat batang pedang pemuda itu bercahaya biru kemilau, tahulah mereka kalau saat ini tengah berhadapan dengan seorang tokoh hebat.
"Kita bisa dihabisinya semua! Ayo, lari! Selamatkan diri kalian!"
"Mau apa kau?!" tegur Rangga, menggetarkan.
"Hmm!" Orang yang membentak tadi tidak langsung menjawab. Tapi diperhatikannya pemuda itu dengan teliti.
"Siapa kau sebenarnya?" lanjutnya.
"Siapa aku? Hehehe...! Aku orang sakti yang tak terkalahkan. Kalian mau apa?!"
"Kami mencari seseorang yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Ciri-ciri orang itu mirip denganmu. Tapi dia terlihat resik. Bahkan memiliki pedang hebat. Kulihat kau memiliki pedang hebat. Siapa kau sebenarnya? Apa kau Pendekar Rajawali Sakti?"
"Pendekar Rajawali Sakti? Hehehe...! Nama yang bagus. Aku suka nama itu. Rajawali artinya burung besar yang paling besar. Dan sakti...? Sakti, ya sakti! Orang sakti. Aku orang sakti yang tak terkalahkan. Hahaha...! Terima kasih! Aku terima nama itu!" oceh Rangga, ngawur.
Keempat orang asing itu saling berpandang satu sama lain. Dahi mereka berkernyit "Ini orang sinting! Bukan dia yang kita cari!" kata laki-laki yang berdiri paling kanan.
"Tapi ciri-ciri yang kita ketahui sama dengannya...!" kata kawannya yang memiliki codet di dahi.
"Memang, Tapi yang ini kumal, kotor, dan bicaranya tak karuan. Dia orang sinting!" sambung yang berkumis tipis.
"Lalu apa yang mesti kita lakukan?" tanya yang berkepala botak.
"Tak perlu diladeni! Mari kita pergi!" sahut laki-laki berkumis tipis.
"Baiklah."
"Hei, mau ke mana kalian?!" teriak Rangga.
Namun tak seorang pun yang menoleh. Dan Pendekar Rajawali Sakti terkekeh kegirangan.
"Hehehe...! Dasar pengecut! Kalian semua takut padaku, bukan? Hihihi...! Dasar empat tikus buduk!"
Tapi keempat orang asing itu tak mengacuhkannya lagi. Mereka menaiki kuda-kuda yang tertambat di depan kedai, dan secepatnya meninggalkan desa ini.
Pendekar Rajawali Sakti masih tertawa kegirangan ketika seorang gadis kurus berpakaian hijau penuh tambalan menghampirinya. Wajahnya tampak berkerut dengan perasaan heran.
"Kakang Rangga...? Kaukah itu?" tanya gadis ini hati-hati.
"Weit, siapa kau?" desis Rangga.
"Aku..., aku Genduk. Apakah kau tak ingat?" sahut gadis yang tak lain Genduk.
"Genduk? Genduk..., eh, gendut, gendul, gendus, atau..., Hahaha...! Namamu jelek. Mau apa kau ke sini?" tukas Rangga, ngawur.
"Kakang! Aku Genduk, adik angkatmu. Apakah kau tak ingat lagi?!" sentak Genduk.
"Genduk? Adik angkatku?!" Rangga mengernyitkan dahi, coba mengingat-ingat. Namun tak ada satu pun yang melintas di benaknya.
"Benarkah?" tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah bodoh. Matanya kosong memandang gadis itu.
Genduk buru-buru mengangguk.
"Kakang, kita perlu bicara banyak..," ujar Genduk.
"Bicara apa? Kenapa mesti banyak-banyak? Saat ini aku lapar dan perlu makan banyak " sahut Rangga, seenaknya.
"Aku punya makanan banyak"
"Benarkah?! Mana?"
"Tidak di sini. Kusimpan di satu tempat. Kalau suka, kita ke sana mengambilnya."
"Baiklah. Ayo!"
Genduk buru-buru menggamit lengan pemuda itu. Dan dengan setengah berlari, mereka keluar desa.
Entah apa yang hendak dikatakan Genduk saat ini. Hatinya sedih. Dan pikirannya bertanya-tanya, kenapa Rangga sampai demikian? Pemuda itu keadaannya kini malah lebih buruk, kumal, kotor, dan hilang ingatan! Namun cara makannya tetap menunjukkan kalau dia berasal dari kalangan terhormat.
"Kakang...?" panggil Genduk.
"Apa?" tanya Rangga, tak acuh sambil menguliti singkong bakar.
"Apa yang terjadi setelah pertemuan kita terakhir...?" tanya Genduk.
"Kita pernah bertemu?" tukas Rangga.
"Tentu saja! Apakah Kakang tak ingat?!" seru gadis ini kesal.
Sudah sejak tadi Genduk berusaha mengembalikan ingatan Rangga, tapi sia-sia saja. Pemuda itu seperti tak tahu apa-apa. Bahkan namanya sendiri pun lupa kalau tak diingatkan gadis itu.
"Tidak! Aku tak ingat kalau kita pernah bertemu sebelumnya," jawab Rangga yakin.
"Saat itu aku akan memberitahumu kalau orang yang kita curigai berada di kuil...," lanjut Genduk.
"Kuil?" ulang Rangga.
"Ya! Kakang ingat?!" seru Genduk. Wajah gadis ini ceria karena merasa Rangga ingat sesuatu. Tapi segera berubah kecewa ketika pemuda itu menggeleng lemah.
"Aku ke sana...." Kata-kata Genduk terdengar ragu-ragu. Suaranya lirih.
"Untuk apa kulanjutkan? Toh, dia tak bakal ingat," gumam gadis ini. Namun kemudian berpikir. "Mungkin saja ada gunanya!"
"Ke kuil itu?" tanya Rangga.
"Ya. Namun sebelum mendapatkan sesuatu, seseorang keburu memergoki dan menangkapku. Tapi belakangan kuketahui kalau orang itu tewas. Dan kaulah penyebabnya," jelas Genduk.
"Aku?!" Rangga menunjuk dirinya.
"Ya. Kau, Kakang. Kau telah menyelamatkan aku. Kalau tidak, Peri Konde Hitam akan membunuhku" tegas Genduk, gembira.
"Peri Konde Hitam?" ulang Rangga.
"Ya, orang yang menangkapku itu," jelas Genduk lagi. Rangga mengangguk.
"Kakang! Apakah kau benar-benar tak ingat sesuatu?" desak Genduk.
"Tidak...."
Genduk menghela napas panjang. Tersirat nada kekecewaan dalam hela napasnya.
"Kakang! Aku tak tahu ada persoalan apa. Tapi beberapa orang berusaha membunuhmu...," lanjut Genduk.
"Membunuhku? Hehehe...! Tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri. Lagi pula, kalau mereka bermaksud membunuhku, aku akan balik membunuh mereka juga. Tidak sulit, kan? Hehehe...! Karena itu jangan terlalu khawatir," jawab Rangga, seenaknya.
"Tapi Kakang.... Mereka orang-orang yang kejam serta berilmu tinggi!" sergah Genduk.
"Eee, kau meragukan kemampuanku?!" Rangga melotot marah. "Aku pendekar sakti yang tak terkalahkan. Siapa berani cari urusan denganku, akan mati!"
Genduk tak mau melanjutkan adu mulut ini. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
"Maaf, Kakang.... Aku lupa kalau kau seorang pendekar sakti tak terkalahkan..,," ucap Genduk.
"Hahaha...! Tidak apa. Tapi lain kali jangan lupa, ya?!"
Gadis itu mengangguk sambil membuang muka. Dibiarkannya pemuda itu kembali menggerogoti singkong bakar dan menenggak air putih dalam kendi yang tadi disediakannya.
"Wuaaah, kenyang aku...!" kata Rangga.
"Kakang mau tambah lagi? Aku bisa carikan daging kelinci atau ayam untukmu," tawar Genduk.
"Ah, tidak! Tidak usah! Aku mau minum. Mulutku sepet!"
"Kakang! Air di dalam kendi ini masih banyak!" Genduk mengguncang-guncangkan isi kendi.
"Bukan itu. Aku ingin sesuatu yang bisa sedikit menyergarkan!" jawab Rangga seraya bangkit berdiri.
"Kakang, kau mau ke mana?" tanya Genduk, khawatir.
"Ya, cari air itu!"
"Ke mana?"
"Ke mana saja!"
"Hehehe...! Kenapa mesti jauh-jauh? Aku punya arak wangi yang mungkin kau butuhkan, Sobat" Mendadak terdengar suara dari atas dahan sebatang pohon tinggi yang ada di depan mereka.
"Hah?!"
Kedua orang itu melengak dan mendongak ke atas. Tampak seorang kakek berambut putih tengah menguncang-uncangkan kaki. Sesekali ditenggaknya isi guci dalam pelukannya. Baunya harum dan tercium oleh mereka.
"Nah, aku mau itu!" seru Rangga. Dan tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas, hendak merampas. Laki-laki tua yang tak lain Ki Demong alias Pemabuk Dari Gunung Kidul terkekeh dan buru-buru lompat ke bawah.
"Hei, jangan lari! Awas kau...!" bentak Rangga geram seraya melompat kembali ke bawah.
"Hehehe...! Mana mungkin aku lari, Sobat Kalau mau arak ini, kau akan mendapatkannya," jawab Pemabuk Dari Gunung Kidul seraya mengangsurkan gucinya begitu mendarat.
Rangga yang sudah mendarat pula di depan Ki Demong hendak menyambar guci arak. Tapi Genduk buru-buru menahan.
"Tunggu! Kau tak bisa memberikannya seenak perutmu. Bagaimana kalau ini racun? Kau bisa mencelakainya!" bentak Genduk dengan mata menyiratkan kecurigaan.
"Racun? Mana mungkin! Dia sahabatku. Dan kau pikir, aku akan meracuninya? Hehehe...! Gadis kumal! Buang jauh-jauh prasangka burukmu itu!" tukas Pemabuk Dari Gunung Kidul.
"Kakang! Benarkah dia sahabatmu?" tanya Genduk, menatap pada Rangga.
"Hehehe...! Dia pasti akan mengatakannya. Hei, Sobat! Aku kawanmu, kan?" timpal Ki Demong.
"Iya, iya...! Dia kawanku. Nah! Sekarang berikan guci itu!" sahut Rangga datar. Dan tak menunggu waktu lagi langsung disambarnya guci dalam pelukan Ki Demong.
"Kakang, jangan...!" teriak Genduk menghalangi.
Tak ada waktu lagi bagi gadis itu untuk mencegah Pendekar Rajawali Sakti, selain dengan ayunan tendangan.
Wuuuttt....!
Namun tendangan Genduk meleset. Bukan karena tak terarah, melainkan karena Rangga bergeser demikian cepat. Gadis itu tak kalah gesit. Dia berbalik, melepas tendangan berikut.
Wuuuttt...! Bettt...!
Yang menjadi sasarannya adalah guci di tangan Rangga. Tindakan Genduk tak mudah, karena Rangga telah kembali bergerak cepat menghindari. Bahkan masih sempat menenggak isi guci ke dalam mulutnya.
"Kakang, hentikan! Kau tak tahu apakah itu racun atau tidak! Hentikan!" bentak Genduk. Gadis ini kembali melesat dengan tendangan-tendangan maut.
Kalau saja pikiran Rangga saat itu waras, tentu akan tahu kalau Genduk menyerangnya dengan jurus-jurus tendangan hebat. Itu membuktikan kalau gadis pengemis itu memiliki kepandaian tidak rendah. Namun menghadapi Rangga, gadis ini sama sekali tak berdaya. Meski berkali-kali coba memecahkan guci, tapi tetap saja tak berhasil. Dan itu membuat Ki Demong tertawa geli.
"Hehehe...! Kalian mau main kucing-kucingan atau apa?!" ledek Ki Demong.
"Diam mulutmu, Tua Bangka!" bentak Genduk.
"Orang tua jelek! Minumanmu enak sekali. Tak apa kalau kuhabiskan?!" teriak Rangga.
"Eeh?!"
Ki Demong baru menyadari kalau sejak tadi Rangga terus menenggak isi gucinya. Bisa-bisa dia tidak kebagian.
"Eh, Sobat...! Bagaimana kalau kau tinggalkan barang sedikit untukku?!" kata Ki Demong.
"Aku tinggalkan sedikit. Tapi ampasnya! Kau mau?!" jawab Rangga keras. Pendekar Rajawali Sakti menunggingkan guci itu sehingga bagian yang terbuka menghadap ke bawah. Dan...., tak setetes pun yang tersisa. Ki Demong menggeleng lesu.
"Brengsek! Dasar brengsek! Sudah cukup aku saja yang sinting, eh, dia malah ikut-ikutan," rutuk laki-laki tua ini.
"Hehehe....! Enak sekaliii...!" seru Rangga sambil mencampakkan guci ke dekat Ki Demong.
"Eee, sial!" umpat laki-laki tua itu sambil bergulingan menangkap gucinya. Diperiksanya isi guci, lalu kembali mengumpat kesal.
Sementara itu Genduk telah menghentikan serangan. Dia merasa tak ada gunanya lagi. Toh, isi guci yang dicurigainya telah pindah ke perut Rangga.
"Kakang! Kau tak tahu apa akibatnya bagimu...," kata Genduk, mengingatkan.
"Akibatnya?" Dahi pemuda itu berkerut. Wajahnya berubah tegang. Tapi tiba-riba berubah cepat. Dan bibirnya tersenyum lebar.
"Ya, akibatnya..., aku kekenyangan! Hahaha...!"
"Kakang! Kenapa kau percaya begitu saja pada orang yang tidak dikenal?" tegur Genduk lagi.
"Aku kenal! Aku kenal dengannya!" sahut Rangga seenaknya.
"Kakang sungguh-sungguh kenal dengannya?!"
"Dia bilang begitu waktu tadi, kan? Aku ini sobatnya. Berarti aku pernah kenal dengannya. Sudahlah, kau tak perlu khawatir!" ujar Rangga.
"Hei, gadis kerempeng! Kau takut aku meracuninya?!" teriak Ki Demong.
"Siapa sebenarnya kau?" desis Genduk, bertanya.
"Aku Ki Demong.... Pemabuk Dari Gunung Kidul," jawab laki-laki tua itu.
"Kau tak kenal nama itu? Bocah! Mestinya ayahmu memberitahukannya. Bukankah kau putri si Raja Pengemis?"
"Dari mana kau tahu?" tukas Genduk.
"Hehehe...! Apa yang tidak diketahui Ki Demong? Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Aku sahabat Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus mempercayainya."
"Nah! Betul kataku, kan? Dia sahabatku. Kau tak boleh mencurigainya!" seru Rangga.
"Kau tahu, kenapa dia sampai begitu?" tanya Ki Demong.
Genduk menggeleng lesu.
"Entah, siapa yang melakukannya. Tapi belakangan ini banyak tokoh persilatan yang mengejarnya. Mereka diperintah seseorang, atau..., ah! Aku tidak begitu tahu. Apakah ada seorang musuhnya yang begitu membencinya, atau mereka berkelompok menggalang kekuatan untuk memusuhinya? Yang jelas orang-orang itu menginginkan kematiannya," jelas Genduk dengan wajah masygul.
"Aku tahu!" kata Ki Demong.
"Apa yang kau tahu, Ki Demong?" tanya Genduk.
"Orang yang hendak membunuhnya itu. Dia bukan tokoh sembarangan...."
"Heh, jangan bicara macam-macam! Kalian pikir aku tak mampu mengalahkannya?!" bentak Rangga, garang. Matanya melotot lebar penuh kemarahan.
"Hehehe...! Tentu saja, Sobat! Tentu saja. Siapa yang bisa mengalahkanmu? Kau adalah pendekar sakti yang tak terkalahkan," sahut Ki Demong mengalah.
"Hahaha...! Bagus! Ternyata kau mengerti." Pemuda itu langsung terkekeh. Namun wajahnya kembali berubah ketika....
"Pendekar busuk! Kau boleh berhadapan denganku kalau berani!"
"Eee...!"
Terdengar bentakan dari belakang, membuat Rangga berbalik. Demikian pula Ki Demong dan Genduk. Di tempat itu telah muncul seorang gadis cantik berbaju ketat warna biru. Sebilah kipas baja putih tergenggam di tangan kanan. Di pinggangnya masih terselip sebilah pedang bergagang kepala naga.
Dahi pemuda itu berkerut, coba mengingat-ingat siapa gadis di depannya. Hanya samar-samar yang terlintas di otaknya. Dan Ki Demong agaknya telah lebih dulu menebak.
"Kipas Maut! Syukurlah kau di sini. Sesuatu telah terjadi menimpa Rangga...." Belum lagi habis kata-kata Ki Demong....
"Kau..., kau yang coba membunuhku! Kubunuh kau lebih dulu...!" bentak Pendekar Rajawali Sakti.

***

207. Pendekar Rajawali Sakti : Kekasih Sang PendekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang