Hari selasa, dimana hari sial menurut Zoe. Gadis itu kehilangan cincinnya. Cincin dimana semua memori seakan-akan tercatat di cincin itu. Warnanya silver, dengan motif naga yang melingkari si cincin. Itu pemberian omanya.
Zoe merenggut kesal, kekesalannya itu bertambah saat ia berbelok ke lorong yang menuju tangga. Ia menabrak sesuatu, yakni teman seangkatannya yang sedang membawa tumpukan kotak. "Sorry, I didn't mean to—"
"Gak papa Zoe," ujar cowok itu segera mengambil kotaknya dan berlalu meninggalkan Zoe. Bahkan gadis itu tidak tau siapa yang ia tabrak, namun cowok itu mengetahui namanya. Ini di karenakan Zoe yang memang tidak ingin tau lingkungan sekolahnya atau terlalu malas bersosialisasi?
Ia tidak punya teman, bahkan saat ini Zoe sudah berada di sekolah tingkat akhir. Banyak yang ingin berteman dengannya, namun ia yang selalu menutup diri seolah-oleh Zoe memang tidak menginginkan mereka menjalin pertemanan.
Gadis berambut gelap itu kembali menelusuri tangga dimana ia pernah menaikinya. Nihil, Zoe masih tidak menemukan cincinnya.
"Nyari apa?" bariton itu berasal dari belakang lehernya. Ia sedikit meremang merasakan napas manusia di belakangnya itu. Zoe segera maju agar tidak terlalu dekat, dan berbalik untuk melihat siapa yang menanyainya.
Zoe tidak menjawab, lebih tepatnya tidak peduli jika cowok itu tengah berbicara kepadanya.
Di sisi lain, Nic memandangi wajah itu. Wajah yang sedang mengernyitkan dahinya pertanda tengah memikirkan sesuatu. Nic belum berhasil membuat Zoe berbicara.
"You're in trouble. Wanna help?" tanya Nic berupaya mendapatkan perhatian Zoe.
"No, I can do it by myself, gak usah sok kenal," balas Zoe tanpa melirik Nic yang menatapnya tertarik.
"Jadi harus kenalan dulu, biar gue bisa bantuin lo?" Nic tersenyum kecil. Cowok itu tidak perlu menunduk untuk menatap Zoe, karena gadis itu termasuk golongan gadis tinggi. Bisa di bilang paling tinggi di sekolahnya untuk ukuran perempuan.
Nic dengan tinggi 192cm dan Zoe dengan tinggi 180cm hanya berbeda 12cm. Jika mereka berdua berada di tempat yang sama akan terlihat serasi tingginya.
Zoe menatap Nic tidak suka, baru kali ini ada orang yang menurutnya menyebalkan ia temui di SMA-nya. Meski jika di lihat-lihat tidak ada perilaku menyebalkan yang Nic lakukan di mata kita bukan?
"Gue nggak mau kenal sama lo," ujar Zoe, berharap cowok itu segera menyingkir dari hadapannya.
"Ah, tapi gue mau. Kenalin, nama gue Dominic Danvers, prefer to be called Nic instead of Dom. Tapi lo pengecualian. Boleh manggil gue Dom," ucap Nic yang nampaknya Zoe malah makin mengerutkan dahinya.
Kepala Zoe terasa sakit mendengar penuturan Nic barusan. "Lo kenapa?" tanya Nic yang melihat Zoe sekarang memegangi pelipisnya. Zoe menggeleng, lalu ia mundur dan berbalik untuk segera pergi dari hadapan Nic, untuk urusan cincinnya, ia bisa mencari di tempat lain.
Entah kenapa kepalanya seperti sangat berat. Sekelibat-sekelibat bayang itu terus muncul di benaknya. Baru saja Zoe ingin membuka pintu kelasnya, badannya terhuyung kebelakang karena pintu kelasnya juga di buka dengan kencang.
Zoe tidak jadi jatuh ke lantai, mau tau karena apa? Karena Nic dengan sigap memegang pinggang gadis itu saat terhuyung ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nicotine
Teen FictionPertemuan itu bukan sekedar kebetulan, Zoe yang tidak peka atau Nic yang memang tidak terang-terangan? Nicotine; metafora; candu -Nicotine, by cacashya 2021 Published; 23 Desember 2021