Nic mengambil minuman soda yang di lempar oleh temannya, Marc. "Gimana lo tadi?" tanya cowok itu kepada temannya yang baru datang.
Nic menggeleng, "Belom. Tapi bisa gue pastiin dia bakal balik lagi." ujarnya. Quinn— selaku kembaran Marc menatap Nic, "Kalau dia ga mau sama lo gimana?" tanyanya yang di balas gelengan lagi oleh Nic. "Dia harus mau."
"Gue sebagai temen lo cuma bisa ngasih semangat aja, karena gue ga mungkin bilang langsung ke Zoe kejadian sesungguhnya," ucap Marc.
"Bagus, lo cuma bisa support gue aja, karena biar gue sendiri yang perbaikin ini semua," balas Nic sembari meminum sodanya.
"Harusnya dia inget gak sih? Kejadiannya udah setahun yang lalu. Tapi dia kayaknya masih belom bisa beradaptasi sama lingkungan sekolah kita," ucap Quinn.
"Ya, lo tau dia gimana, dari dulu emang nggak suka punya banyak temen, ya liat aja sampe sekarang. Sifat dia yang dulu udah tertutup jadi makin tertutup. Untung Nic bisa luluhin dia," Marc kembali mengingat masa SMP mereka dulu. "That's the point, Nic harus luluhin Zoe lagi, cewek kayak Zoe itu langka. Sekali lo bisa dapetin dia, gak bakal deh tuh cewek bisa ngelirik cowok lain. Anaknya aja suka menghindar." balas Quinn kepada kembarannya.
"Dapetin Zoe itu emang susah, dan itu sepadan kalau gue bisa dapetin dia lagi, karena dia nggak bakalan aneh-aneh," Nic membuka ponselnya dan melihat layar utamanya. Foto dirinya dengan Zoe tengah tersenyum lebar.
"Cincinnya di elo?" tanya Marc yang di jawab anggukan oleh Nic. "Cewek lo nyariin cincinnya tuh, kenapa ngga lo balikin?" Nic terdiam sebentar, "Karena gue mau dia inget gue terlebih dahulu." jawabnya.
***
Zoe melangkahkan kakinya menuju pintu apartemennya, ia hidup sendiri, tidak tau dimana orang tuanya, hanya satu dari keluarganya yang ia kenal. Omanya.
Sudah hampir setahun ini ia hidup di apartemen. Seingatnya ia sempat kecelakaan, hanya itu. Dan omanya yang berada di sampingnya saat ia membuka mata.
Juga— satu-satunya pemberian keluarganya itu hilang. Cincinnya entah hilang dimana. Padahal Zoe tidak pernah melepaskan cincin itu karena tau hanya cincin itu yang dapat ia kenang.
Tidak mengetahui siapa orang tuanya tidak membuat Zoe sedih. Lagi pula, jika ia punya orang tua— harusnya mereka berada di sisi Zoe sekarang. Jadi Zoe menganggap orang tuanya sudah tiada.
Ketika ia tanya kepada omanya dimana orang tuanya, oma hanya menjawab "Orang tua kamu sedang pergi, oma juga engga tau ada dimana." hanya itu jawabannya.
Zoe melirik sekeliling kamar apartemennya. Apartemen ini omanya yang berikan. Zoe tidak berniat sama sekali untuk mencari tau siapa orang tuanya atau apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Karena ia merasa semuanya hambar.
Zoe membasuh tangannya sebelum melakukan rutinitas mandi. Setelah itu ia menyalakan speaker ponselnya untuk menyetel lagu dari playlist Chase Atlantic, Arctic Monkeys, and The Weeknd yang selalu menemaninya.
Ketika ia mengaca, ia tidak menyukai model rambutnya yang sudah panjang, lantas ia mengambil gunting dan memotong rambutnya hingga di atas bahu. Ia merasa harus membuang sial, sehingga ia melakukan potong rambut. Meski ia sendiri tidak percaya dengan memotong rambut kesialan bisa hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nicotine
Teen FictionPertemuan itu bukan sekedar kebetulan, Zoe yang tidak peka atau Nic yang memang tidak terang-terangan? Nicotine; metafora; candu -Nicotine, by cacashya 2021 Published; 23 Desember 2021