satu

35 10 2
                                    


                Pukul 08.00

"Rhea!"

Langahku terhenti, aku menoleh ke belakang. Terlihat Vio temanku, tersengal-sengal karena berlari. "Kenapa?" Tanyaku heran.

"Hah... it...itu..." Vio mengatur nafas lalu menatapku dalam, "Sahabat lo... ditemukan tidak bernyawa di belakang gedung kampus ini!"

"APA?!" Pekikku. "Lo... b-bohongkan?" Tanpa sadar aku mencengkram bahu Vio kuat-kuat.

Vio meringis kesakitan, "M-maaf, Rhe. Tapi gue gak bohong," ucapnya pelan tidak berani menatapku. Tanpa buang waktu aku langsung bergegas menuju tempat kejadian dengan barlari sekuat tenaga. Sesampainya di dana terlihat banyak orang berkerumun.

"Minggir!" Kusibak kerumunan dengan tidak sabar tak mempedulikan seruan kesal orang – orang yang kudorong. Setibanya di depan garis polisi aku membeku melihat seseorang ditutupi kain putih dengan berhias bercak merah.

"Bukan! Itu Pasti bukan Shelly!" desisku. Aku masih tidak percaya begitu saja. Aku nekat memasuki garis polisi mendekat pada tubuh yang terbujur kaku. Ku singkap kain yang menutupi wajahnya tanpa menghiraukan seruan petugas yang berjaga. Detik selanjutnya aku syok mendapati paras pucat seseorang yang kukenal sebagai sahabatku.

"GAK MUNGKIN!" Teriakku histeris. Tangisku pecah, dadaku sesak. Rasanya baru aku bertemu dengannya dan dia terlihat baik-baik saja tanpa kurang apapun namun kini entah kenapa ia pergi begitu saja. Tiba – tiba saja rasa benci dan marah menyerangku terbesit sebuah pemikiran bahwa ia telah dibunuh. Pasti ada yang telah membunuhnya! Dan aku akan menemukan pelakunya! Kuremas rok panjangku menahan getaran amarah yang membuncah di dada.

"Hei kau! Beraninya kamu masuk area ini! ..." sebuah tangan kekar menyeret lenganku dengan kasar seraya mengomel panjang lebar berceramah tentang hukum, aturan apalah itu.

Aku hanya pasrah dan menatap nanar jasad Shelly yang diangkat ke dalam mobil khusus, "Sabarlah sebentar Shelly, tak lama lagi akan kutemukan siapa yang telah tega membunuhmu!" bisikku.

Tiga hari setelah kejadian

Aku duduk termenung di kamarku. Sejak hari itu aku mengurung diri di kamar. Aku masih belum menyangka Shelly meninggal secepat ini. Ku ingat-ingat kembali kenangan tentang dirinya. Yang kutahu selama ini Shelly adalah gadis yang nyaris sempurna, senyuman selalu mengiasi wajah ayunya seakan-akan tidak ada masalah hidup, jadi rasanya mustahil ia bunuh diri.

TRING!! Suara ponsel memecah lamunanku. Tertulis nomer asing di sana.

"Halo?" sapaku.

"Halo. Selamat siang. Apakah benar ini saudari Rhea?"

"Iya, saya sendiri,"

"Kami dari kepolisian yang menangani kasus saudari Shelly. Kami dengar anda teman dekat dari korban. Maka dari itu kami meminta anda untuk datang ke kantor kami, bisakah anda datang siang ini?"

"Baik, saya akan berangkat sekarang juga,"

"Terimakasih, akan kami tunggu," Sambungan diputus. Aku segera bersiap-siap berangkat ke kantor polisi.

Lima belas menit kemudian aku tiba di sana. Seorang wanita mengantarku ke sebuah ruangan untuk menghadap seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun.

"Selamat siang saudari Rhea. Kami dengar anda adalah sahabat dekat korban. Untuk itu kami ingin tahu apakah ada hal yang mencurigakan dari perilaku korban sebelum ia tewas?" tanpa basa-basi pria itu langsung menanyaiku dengan nada serius.

Aku terdiam sejenak mengingat-ingat sesuatu. "Setau saya tidak ada hal apa pun dari Shelly," kataku kemudian.

Pria itu melihat ke buku di tangannya "Apakah pada malam hari sehari sebelum korban ditemukan tewas kalian saling berkomunikasi?"

"Ya. Malam itu saya mengundangnya ke rumah untuk merayakan ulang tahun ke dua puluhnya dan dia bilang dia akan segera datang. Tapi ia tak kunjung datang juga dan ponselnya tidak dapat dihubungi. Saya memutuskan untuk tetap menunggu sampai ketiduran sampai keesokan harinya ia ditemukan tewas dibelakang gedung kampus kami..." air mataku perlahan menetes. "Andai saja malam itu aku mencarinya pasti tidak akan begini..." sesalku.

"Ah... jadi begitu," Si pria mengangguk-angguk lalu mencatatnya di buku.

"Apakah... ia dibunuh?" tanyaku pelan. Takut akan jawaban yang akan kudengar jika itu benar.

"Kemungkinan begitu,"

Aku terhenyak. "Kalau begitu... A-apakah boleh aku tahu siapa yang telah tega merengut nyawa sahabatku?!" Aku cukup marah. Ah, bukan tapi sangat marah! hingga memukul meja di depanku.

Pria itu menghela nafas panjang, "Sejauh ini kami belum bisa menyimpulkan apakah ini pembunuhan tau tidak,"

"Tapi ijinkan saya mengetahui kronologi kejadian tersebut!" desakku.

"Maaf, kami dilarang memberi tahu siapapun sebelum ada bukti yang kuat karena sekarang ini masih dalam proses penyelidikan," kata pria itu tegas.

"Tapi pak, saya juga ingin ikut menyelidiki kasus ini karena sayalah orang terdekatnya saat ini!" aku masih tidak mau menyerah. Setelah berdebat panjang akhirnya pria itu menyerah.

"Baiklah, anda boleh mengetahui lebih detai kasus ini dengan syarat harus menjaga kerahasiaannya. Jika anda diketahui telah membocorkannya maka akan ada konsekuensi dari perbuatan anda!" ucapnya kemudian.

"Iya, Pak!" Kataku mantap.

Pria itu lalu menjelaskan kronologinya padaku "Korban yang bernama Shelly Adamar ditemukan tewas mengenaskan di belakang gedung kampus 06.01 dengan adanya sekitar tiga belas tusukan di tubuh. Seorang saksi mata yang merupakan satpam kampus mengaku melihat korban pada malam sebelumnya, korban terlihat keluar dari kampus pada pukul 23.50. Di duga korban dibunuh setelah keluar dari kampus pada tengah malam," terang pria itu panjang lebar.

Tubuhku terasa beku. Kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Shelly dibunuh tepat dihari ulang tahunnya yang ke dua puluh dengan tiga belas tusukan! Tiga belas! Apa motif pelaku yang membunuhnya? Dendam? Iri? ARGH! TEGANYA! Sepertinya ada yang belum kuketahui tentang Shelly. Baiklah, kalau begitu akan ku cari tahu tentangnya terlebih dulu.

RiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang