LIMA

7 2 0
                                    


Malam ini langit begitu gelap. Tidak menampakkan cahaya bintang walau setitik. Aku merapatkan jaket tebalku, hawanya dingin. Ku tatap deretan rumah-rumah mewah yang kini terlihat sunyi dan suram sejak kejadian pembunuhan Ray Adamar yang terjadi di perumahan elite ini. Para penghuninya memilih berdiam diri di dalam rumahnya masing-masing untuk menghindari bahaya.

Aku berhenti di salah satu rumah yang dikelilingi garis polisi dan dijaga ketat oleh beberapa polisi. Rumah sepupu Ray. Tempat dimana Ray tewas dibunuh. Aku memutuskan untuk menyelidiki kasus lebih lanjut dengan mendatangi kembali ke lokasi kejadian. Kali ini Hana tidak bisa ikut karena ada urusan di kantor. Setelah menunjukkan sebuah kartu yang kudapat dari Hana, aku diijinkan masuk ke dalam rumah besar itu ditemani salah satu polisi.

Aku masuk ke ruang keluarga yang juga diberi garis polisi. Di pojok ruangan terlihat bercak darah yang sudah mulai mongering. Aku berpikir kemungkinan saat itu Ray tengah bersantai di sofa sambil menonton televisi, karena terlihat ada bercak darah di remote televise yang tergeletak di lantai. Lalu tiba-tiba pelaku datang dan membunuh Ray dengan sadis.

Pagi harinya, Sepupu Ray menemukan Ray sudah tewas lalu melaporkannya. Saat itulah ia dijadikan tersangka karena di rumah itu hanya ada dia dan Ray. Tapi setelah dilakukan penyelidikan sepupu Ray dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Setelah dibebaskan sepupu sekaligus pemilik rumah tidak bisa kembali ke rumahnya dulu sampai penyelidikan selesai. Dan yang aneh dalam kasus ini adalah tidak ditemukan barang bukti berupa pisau atau semacamnya. Bisa jadi pembunuh kali ini adalah pembunuh professional. Motif pembunuhan masih belum diketahui, namun bisa jadi motifnya sama dengan kasus pembunuhan sebelumnya, yaitu...

dendam pada Shelly.

* * *

Pukul 07.20

Alarmku berbunyi nyaring. Dengan malas kubuka mataku lalu bernjak dari ranjang. Seketika aku teringat hal penting... Ah, gawat! Hari ini ada mata kuliah penting! Aku panik, bergegas menyambar handuk lalu masuk ke kamar mandi. Selesai mandi aku cepat-cepat meraih tas dan ponselku.

Ting! Muncul notifikasi dari ponselku. Aku mengabaikainya berniat membacanya nanti. Aku pun meraih kunci motor dan menuruni tangga menuju garasi. Ketika hendak menyalakan mesin motor tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku berdecak kesal lalu meraih ponsel di tas. Terlihat nama Vio di layar ponsel.

"Rhea!" Suara nyarig Vio menyapaku.

"Hm... Kenapa?"

"Kenapa gak angkat teleponku, heh?"

"Kapan lo telpon?"

"Astaga... dari tadi gue telpon gak lo angkat-angkat!"

"Sorry, gue tadi tidur. Nih, gue baru mau berangkat ke kampus!"

"Hah? Ngapain?"

"Kuliahlah cantik... Dah gue buru-buru, nih!"

"Ya ampun, Rhe... lo lupa ya?"

"..."

"Kampus kita masih libur gara-gara kejadian Shelly,"

Aku menepuk dahi. "Hah... dasar," gumamku lirih. Seketika dadaku terasa sakit teringat tragedi yang menyakitkan itu. Telepon hening sejenak.

"Hey, Rhe. Lo gak papa?"

Aku menghembuskan nafas, "Ya,"

Vio diseberang sana juga ikut menghembuskan nafas.

"Jadi, lo tadi ngapain telpon gue?"

"Oh, ya, gue tadi mo ngajak lo ke perpustakaan kota bareng sama temen-temen yang lain, lo mau ikut gak?"

"Hmm... gue kayaknya gak bisa, deh. Gue ada janji hari ini," Aku teringat janji bertemu dengan Hana di kantor polisi nanti.

"Yah..." Aku yakin Vio diseberang sana sedang menekuk mukanya. "Ya udah deh, aku mau siap-siap dulu, ya,"

"Oke, maaf ya Vi..."

"No problem, bye Rhea!"

Sambungan terputus. Aku lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Segera kunyalakan mesin motor lalu melaju menuju kantor polisi. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat yang kutuju. Setelah memakirkan motor aku masuk ke lobi menemui staff yang berjaga di meja kedatangan. Staff itu memintaku menunggu sejenak. Ia lalu menghubungi seseorang di telepon kantor. Setelah selesai ia mengatakan padaku bahwa detektif itu berada di ruangan yang berada di ujung. Aku mengucapkan terima kasih lalu pergi ke ruangan yang dimaksud.

Tok...tok...tok... Aku mengetuk pintu ruangan. Selang beberapa detik ada suara seseorang menyuruhku masuk. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Terlihat Hana sedang sibuk dengan kertas-kertas di mejanya.

"Hai, Rhea," Sapa Hana lalu mempersilakanku duduk. Aku tersenyum dan duduk dihadapannya.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan?"

"Aku mau tanya tentang sepupu Ray. Aku mau cari tahu tentang dia,"

"Oke. Aku punya nomernya kalau kau mau,"

" Boleh aku minta?"

"Tentu,"

"Thanks Hana,"

"Yap, tapi ngomong-omong tumben kamu pake aku-kamu, biasanya gue-lo, kan?"

Aku terkekeh, "Agaknya tertular dari kamu deh," Hana ikut tertawa. Setelah berbicara panjang dengan detektif Hana aku memutuskan untuk pulang dan menghubungi nomer sepupu Ray yang kudapat darinya.

'Panggilan tidak terjawab' tertampang di layar ponselku. Huh! Menyebalkan! Sudah berkali-kali aku menghubunginya dan aku pun mengirimkan pesan padanya. Memberi tahu bahwa aku teman dekat Shelly dan memerlukan penjelasan lebih detail tentang kejadian pembunuhan Ray yang terjadi di rumahnya. Tapi hasilnya nihil. Aku memutuskan tidur setelah lelah menanti sambungan telepon dari orang yang bernama Leo itu.

* * *

Aku berjalan terburu-buru menuju halte. Pagi ini saat hendak menaiki motor yang biasa kugunakan untuk bepergian, aku baru sadar kalau ban motorku bocor. Mau tidak mau aku terpaksa naik bis menuju tempat si Leo itu berada. Yang kudapat dari Hana, tentu saja.

Tut...tut... Suara ponselku berbunyi, menunggu panggilanku terhubung dengan nomer yang dituju yaitu Leo. Sejak tadi malam aku berusaha menghubunginya, tapi tetap saja tidak diangkat. Bahkan chat dariku tidak dibaca. Tapi, aku tidak akan menyerah dengan mudah.

Nit! 'Panggilan ditolak' Hah? Ditolak? Berarti kini ia sengaja mematikan panggilanku! Aku berdecak kesal. Ah, setidaknya sekarang aku yakin bahwa nomernya masih aktif. Aku tersenyum, merasa tertantang. Lalu kutekan lagi tombol untuk menghubunginya lagi. 'Aku gak akan menyerah!' Seruku dalam hati. Aku mengalihkan pandangan ke halte yang berjarak beberapa langkah lagi. Dari sana terlihat seorang laki-laki remaja mungkin seumuran denganku atau beberapa tahun diatasku tengah berdiri menunggu bis datang. Aku berdiri tepat disebelah laki-laki itu yang sibuk dengan ponsel. Tak sengaja kudengar nada dering dari laki-laki itu. Diam-diam kulirik wajahnya yang kini terlipat, dari raut mukanya sepertinya ia kesal. Lalu dengan cepat orang itu menekan tombol tolak dan seketika nada dering dari ponselnya mati bersamaan dengan ditolaknya panggilanku.

Tunggu-tunggu... Seketika aku mulai curiga. Kucoba lagi untuk menghubungi Leo. Namun, kejadian itu terulang kembali. Ketika laki-laki itu mematikan panggilan bersamaan dengan ditolaknya panggilanku. Kini kutatap lamat-lamat, rasanya aku yakin sekali dia adalah orang yang ku telepon. Refleks ku raih pundaknya yang lebih tinggi dariku lalu menariknya menghadapku.

Seketika aku mematung

RiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang