0.2

81 19 25
                                    

It might seem strange to start a story with an ending.

But all endings are also beginning.

We just don't know it at the time.

—J.nandra—

*

Sore itu, langit tampak temaram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore itu, langit tampak temaram. Dimana matahari menyingsing perlahan-lahan dengan gerak dramatis. Jenan memandangi bias-bias cahayanya yang muncul disela-sela dedaunan, menyelinap masuk diantara pot-pot anggrek yang digantung
rapi di pinggiran atap, juga beberapa tangkai mawar yang merambati pagar. Sesekali, dia akan menyipit karena kedatangan cahaya itu seolah-olah ingin menusuk matanya. Lalu kemudian, ia menghela napas lagi.

Anak terakhir baru saja pergi usai Jenan memasangkan perban di lutut kirinya yang terluka karena terjatuh saat mengejar layangan. Laki-laki itu berniat langsung masuk kedalam rumah, namun urung ia lakukan sebab sebelum dirinya benar-benar beranjak, matanya menangkap sosok Sella yang tengah berjalan menghampirinya.

"Sekarang karena apa lagi?" Jenan terkekeh kecil ketika bertanya. Jujur saja, dia seperti itu bukan tanpa alasan. Jenan bahkan berani bertaruh, pasti Sella datang menemuinya untuk beberapa plaster luka atau obat merah miliknya lagi. Itu sudah pasti. Sama seperti sebelum-sebelumnya.

Dari apa yang Jenan ingat, pertemuan perdana mereka adalah pertemuan yang bisa dibilang cukup normal. Paling tidak sebelum dia menyadari kalau pertemuan-pertemuan mereka berikutnya terlalu tidak biasa untuk bisa dikatakan normal. Sebab menurut Jenan, pertemuan kedua, ketiga, keempat, dan berikutnya itu sangat tidak mungkin untuk hanya dianggap sebagai kebetulan.

Dulu, mereka bertemu disaat-saat yang hampir sama seperti sekarang. Sore hari, nyaris beranjak menuju petang.

Tidak. Bukan bertemu. Lebih tepatnya, Sella yang datang menemui Jenan. Sella datang dengan luka gores di lengannya. Ketika Jenan bertanya apakah dia butuh bantuan, Sella hanya bilang kalau dia juga mau diobati.

"Aku juga mau diobati kayak anak kecil tadi," kala itu, Sella menegaskan ucapannya.

Jenan sempat terdiam selama beberapa saat, lantas terkekeh pelan sambil mengulurkan tangannya, "Jenan."

Awalnya Sella ragu untuk menyambut uluran tangan itu, meski pada akhirnya dia tetap meraih tangan Jenan, menerima jabatan laki-laki itu sambil membalas senyumannya.

"Kamu udah nyebutin namaku tadi. Padahal kita belum kenalan. Penguntit, ya?"

Jenan tidak langsung menjawab, tapi gelaknya terdengar. Sejenak membuat Sella terpaku dan salah fokus pada mata Jenan yang membentuk garis ketika tertawa. Kemudian pada bibirnya yang tipis... Lalu pada gelagatnya yang meminta Sella untuk duduk.

CARAPHERNELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang