Kara Iskan ingin hidup sederhana, tak memerlukan ayahnya dan hanya membutuhkan piano.
Keenan Aldrich memerlukan Kara dalam hidupnya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ancaman Mamanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*****
"Lo udah nunggu lama?" tanya Keenan melihat Kara sudah duduk manis di bangku kafe mereka ketemu kemarin, bahkan di bangku yang sama. "Sorry gue tadi harus beresin meja sekre bentar."
"Nggak kok. Gue juga baru datang." kata Kara sambil menaruh buku menu di hadapan Keenan dan menghindari tatapan matanya.
"Lo udah pesen?"
"Belum."
"Gue belum makan jadi gue pengen makanan berat. Steak kali, ya. Lo?"
"Em, sama." jawab Kara malas berpikir.
"Lo juga belum makan siang?"
"Em." Bahkan belum sarapan, batin Kara.
"Minumnya?"
"Lemon tea, ice."
"Oke." Keenan lalu memanggil waitress dan memesan makanan. Kemudian ia melepaskan jaket hitamnya, kegerahan—dan menyampirkannya di punggung kursi. Kara masih diam tak memandangnya sama sekali hingga Keenan duduk diam di depannya lagi.
Kesempatan itu Keenan gunakan untuk memandang wajah Kara secara intens. Bagi Keenan dia masih perempuan tercantik yang pernah Keenan temui. Dan dia tumbuh menjadi perempuan dewasa yang lembut. Wajahnya penuh kelembutan dan tanpa riasan apapun. Rambutnya terlihat sangat halus. Entah mengapa kulitnya terlihat lebih lembut daripada sebelumnya. Dan bibirnya begitu memerah—
Merasa dipandangi Keenan, akhirnya Kara mendongak. Pandangan mereka bertemu. Satu detik, dua detik, tiga detik, jantung Kara berdegup sangat kencang hingga akhirnya ia mengalihkan tatapannya lagi.
Keenan berdehem. "Jadi ada apa lo manggil gue? Bukannya lo pengen melupakan semua masa lalu lo di belakang ya?"
"Iya, itu yang gue inginkan." kata Kara. "Tapi sepertinya elo berpikiran lain, Kee."
Kening Keenan mengernyit, tidak mengerti.
"Seingat gue, gue nggak pernah menyetujui kalau gue mau jadi ikon. Tapi tadi temen lo datang dan bilang kalau gue harus ikut rapat soalnya lo bilang kalau gue setuju."
"Oh itu..."
Kini ganti kening Kara yang mengernyit.
"Bisa lo bilang ke temen lo kalau gue nggak mau jadi ikon kampus? Gue nggak mau jadi terkenal ataupun pusat perhatian, Kee."
Kening Keenan mengernyit, berpikir bahwa saat ini semua anak di kampus mungkin sudah mengenal Kara. Mungkin tidak semuanya, tapi anak di jurusan dan fakultasnya pasti tahu Kara...
"Sorry, Ra. Gue nggak akan memaksa elo." Terlebih pertanyaan interview itu mungkin sangat mengganggu. Keenan tak ingin Kara merasa tak nyaman dan semua orang tahu soal permasalahan keluarganya. "Gue akan bilang ke anak-anak kalau lo nggak jadi ikut."