"Ra, Kara!" Daisy memanggil nama Kara begitu Kara memasuki gerbang. Kara mengerutkan kening, bertanya-tanya apa Daisy sengaja menunggunya? Kalau seperti ini ia tidak bisa menghindar kan?"Pagi." sapa Daisy ramah.
"Pagi."
"Kamu ada kelas sama Prof Chan, kan?"
Kara mengangguk. "Sama, gue juga."
"Oh." Kara berjalan dan Daisy mensejajarinya.
"Lo kenal sama Keenan?"
"Em."
"Serius?"
"Kenapa?"
"Gila. Ternyata kenalan lo orang-orang keren. Lo keren dan kenalan lo orang keren juga."
Apaan sih, batin Kara.
"Keenan itu cowok most wanted di kampus ini. Meskipun dia anak bisnis tapi semua anak dari fakultas lain pun tahu dia. Udah ganteng, tajir pula. Tapi dia terkenal banget karena tajirnya sih. Pewaris tunggal Aldrich Group. Bayangin betapa tajirnya dia."
Dulu saat berteman dengan Keenan ia tidak terlalu mempedulikan status Keenan. Keenan sendiri juga tidak pernah menunjukkan soal statusnya. Oke terkadang ia menyadari betapa kaya Keenan ketika laki-laki itu memberi hadiah atau mentraktir. Dia tidak pernah peduli seberapa banyak uang yang ia keluarkan. Berapapun uang ia keluarkan asal mendapat barang yang ia mau.
"Apalagi Aldrich Group mau bergabung sama Morhoe Group. Bayangkan! Gila banget orang-orang kaya itu. Nggak puas banget mereka. Makanya Keenan itu mau bertunangan sama Clarissa—pewaris Morhoe."
"Oh..." Begitu ceritanya. Kalau seperti itu bukankah Keenan tidak bisa memutus pertunangan mereka seperti yang dia bilang?
"Lo pernah lihat Clarissa gak?"
Kara mengangguk.
"Cantik, kan? Dia anak desain, loh. Desain dia dan temannya—Riana, sering terpampang di ajang fashion show. Dan si Riana itu seorang model. Terkenal dia udahan. Pacarnya—Alexander Patra—juga ganteng banget. Anak Hukum. Gue nggak tahu kenapa kalau anak orang kaya kalau nggak pacaran sama anak orang kaya ya bertemannya juga sama anak orang kaya. Mereka punya circle mereka sendiri. Si Keenan aja yang agak aneh mau gabung BEM. Padahal nih ya, kabarnya tanggung jawab Keenan itu gede banget. Kadang dia disibukkan dengan tugas Mamanya—memintanya menangani proyek di perusahaan sebagai latihan gitu-gitu. Tapi dia bisa aja bagi waktu sama anak BEM."
"Pokoknya nama-nama yang gue sebut tadi, nama-nama yang cukup terkenal di kampus ini. Lo kalau bisa hindari bermasalah sama mereka. Anak orang kaya semua, konglomerat hebat."
"Oh ya?"
"Keenan—lo pastinya udah tahu. Clarissa pewaris Morhoe Group—mungkin lo asing dengan namanya karena lo tinggal di luar negeri—tapi Morhoe itu pemilik tiga stasiun TV besar di sini. Morhoe juga punya banyak anak cabang yang mengurus bank swasta, platform digital, studio, dan masih banyak yang lainnya. Gila sih pokoknya. Terus kalau Riana itu—anak seorang konglomerat pemilik Milan Coorporation—perusahaan di bidang properti. Belum lagi kabarnya Mamanya juga menghandle perusahaan sendiri—W Corporation—perusahaan di bidang pertambangan. Oh ya, satu lagi. Papanya Riana—Dennis Milan—masuk dalam politik. Makanya tuh anak kadang sikapnya sok jaim. Sedangkan pacarnya—Alex—itu anak seorang dokter terkenal yang punya rumah sakit sendiri. Gila banget nggak sih."
"..."
"Oh ya, Ra, akan ada kompetisi Bali Open loh. Kamu ikut gak?"
*****
"Kamu diundang di acara itu." kata salah seorang dosen—Bu Amara—saat Kara memasuki ruangannya. Beliau adalah salah satu pelatih piano yang dianggap hebat oleh pelatihnya di Prancis. Salah satu alasan pelatihnya memperbolehkan ia kembali—dengan satu syarat—dilatih oleh Bu Amara ini. Beliau masih muda dan agak sedikit nyentrik.
"Jika kamu tidak ikut kompetisinya, kamu diundang sebagai tamu—tapi tetap ada pertunjukan."
"Itu pertunjukkan penting di sini, karena melibatkan banyak negara dan nantinya akan dihadiri presiden dan politisi lain secara langsung. Tentu saja kamu pilihan yang tepat."
Kara mengambil undangan itu dari tangan Bu Amara. Ia membaca amplop putih bertuliskan namanya—Kara Iskan. "Bali Open ya?" tanyanya.
"Iya."
"Berapa negara yang ikut?"
"Katanya yang mendaftar adalah sebagian besar negara Asia Tenggara dan Asia lainnya. Ada Jepang, Korea, Cina, Arab, bahkan Turki. Negara di Eropa juga beberapa ikut. Banyak, Ra. Ini salah satu kompetisi bergengsi meski kamu dulu tidak pernah ikut."
"Bahkan setiap negara tidak hanya mengirimkan satu kandidat. Kamu harus ikut."
"...aku pikirkan lagi."
"Jangan bilang kamu ingin beristirahat dulu makanya kamu—"
"Aku belum ada motivasi saja." kata Kara sebelum akhirnya pamit keluar ruangan.
*****
"Hai,"
Setelah hari yang panjang, sore itu Keenan menemuinya. Kara tersenyum simpul dan menghampiri Keenan. Ia pikir hari ini ia tidak akan bertemu Keenan padahal kemarin ia menyetujui permintaan laki-laki itu agar tetap menjadi temannya.
"Hai!"
Keenan tersenyum. Sebelah pundaknya memakai tas punggung hitamnya. Tapi begitu Kara mendekat, ia segera meraih tas pundak Kara dan membawanya. Kara ingat, dulu Keenan memang selalu bertindak seperti itu. Laki-laki itu membuktikan bahwa dia memang tidak berubah.
"Lapar?"
Kara mengangguk.
"Mau makan apa?"
"Sesuatu yang tidak monoton."
"Mau soto? Kamu tidak pernah makan soto kan?"
"Boleh." Ia bahkan sudah lupa bagaimana rasa soto.
"Ada satu warung soto yang enak banget. Tapi agak jauh. Nggak apa-apa?"
"Iya, nggak apa-apa. Aku bisa menahannya."
Keenan tersenyum simpul. Mereka berdua berjalan beriringan ke parkir mobil. Beberapa anak memandangi mereka berdua dengan tatapan penasaran. Hal itu membuat Kara sedikit tak nyaman.
"Maaf, jika kamu bersama aku, kita akan selalu jadi pusat perhatian." kata Keenan menyadari ketidaknyamanan Kara.
"Oh." Kara bingung merespons apa. "Sejujurnya aku juga terkenal di sini karena pianoku."
"Ya, kita dua orang yang sama-sama terkenal."
"Tapi aku tidak pernah ingin jadi spotlight, Kee."
"I know." kata Keenan sambil tersenyum kecil. "Aku juga. Jadi gimana kalau kita sembunyi aja?" tanya Keenan bercanda, tetapi terdengar tidak bercanda bagi Kara.
Kara tersenyum murung. "Rumah Bunda dan nenekku dulu sangat nyaman. Di dekat pantai. Jika aku ingin bersembunyi, aku pasti ke sana."
"Aku juga ingin ke sana." Mata Keenan tersirat penuh arti. Akhirnya mereka sampai di mobil bagus Keenan—mobil import Range Rover. Mengingatkan Kara pada perkataan Daisy.
Ia ingin menanyakan soal perjodohan itu, tetapi tidak enak. Jika mereka menjadi lebih dekat seperti dulu, Keenan pasti akan bercerita padanya. Meskipun saat ini Kara penasaran setengah mati. Apa Keenan menyukai calon tunangannya sekalipun mereka dijodohkan?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
TRULY DEEPLY
RomanceKara Iskan ingin hidup sederhana, tak memerlukan ayahnya dan hanya membutuhkan piano. Keenan Aldrich memerlukan Kara dalam hidupnya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ancaman Mamanya.