sisi satu.

6.2K 719 236
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kalau ditanya, sesayang apa sih, gue sama Danisha?

Gue bakal jawab, sayang banget. Sayang yang nggak bisa dideskripsikan lewat kata, lewat nada, ataupun lewat bisikan selamat tidur setiap pukul dua belas malam.

Mengenal Danisha dari usia dia tujuh belas tahun, sampai sekarang dua puluh lima tahun tuh, nggak sebentar. Gue menghabiskan waktu delapan tahun memuja dia, dan lima tahun berbagi kisah dan kasih bersama.

Tapi, jalan yang kami tapaki berdua ini, kadang nggak menuntun kami pada satu arah yang kami inginkan.

Lima tahun bareng Danisha, gue mengenal borok-boroknya dia sampai ke akar, tapi apakah gue menyerah di tahun pertama? Nggak. Di tahun kedua? Nggak juga.

Udah lima tahun, dan nggak dirasa, sebentar lagi mau tahun keenam.

Sayangnya, meski hubungan kami udah selama itu, Danisha masih menjadi enigma buat gue.

Gue nggak pernah paham apa yang dia mau, apa yang ada di pikiran dia, dan apa yang sebenernya ingin dia capai dari hubungan kami ini.

Dia itu, penuh dengan teka-teki. Bahkan, waktu setengah dekade nggak cukup buat gue untuk memecahkan teka-teki di dalam kepalanya.

Gue nggak pernah sekalipun membenci Danisha ketika lagi-lagi dia mengulangi kesalahan yang sama. Gue nggak pernah juga marah ketika dia meremehkan yang namanya komitmen dan komunikasi dalam sebuah hubungan.

Gue cuman sekadar kesel, abis itu udah. Rasa sayang gue lebih gede daripada hal-hal remeh, dan tetek bengek permasalahan hubungan kami yang menurut Danisha sepele.

Iya, lagi-lagi gue selalu mengalah karena ego tingginya. Rasionalitasnya. Dan harga dirinya.

Gue tuh, apa ya. Sebenernya, isi kepala gue ini sederhana, tapi Danisha kadang bikin semuanya amburadul dan membuat gue bepikir rumit.

Gue selalu bilang, "Aku cuman minta kamu ngabarin aku, jawab chat aku, angkat telfon aku, atau ngasih tahu kapan boleh dan nggak boleh aku ngehubungin kamu. Apa itu susah?"

Tapi dijawab dengan otak Danisha yang menomorsatukan rasionalitas, "Aku kerja, Ta. Bukan main. Kamu tahu sendiri, aku kalau udah kerja suka lupa waktu, apalagi kalo harus cek hape dan bales chat kamu. Susah. Aku nggak bisa fokus. Nanti, ketika aku udah punya waktu, aku bakal hubungin kamu, kok. Kamu cuman harus nunggu. Nggak sulit, kan?"

Dan semua perdebatan itu akan kembali ke nol, terlupakan. Gue yang lagi-lagi mengalah, dan berpikir, 'oh, iya. Bener juga apa kata Danyi.'

Selalu. Selalu kayak gitu.

Padahal, gue juga kerja, kok. Bukan main. Gue bahkan lebih banyak turun ke lapangan karena harus ngewawancarain narasumber, liputan, dan nulis artikel.

Kadang gue juga harus manggung, latihan band, dan bikin lagu baru buat kepentingan produksi.

Tapi, di tengah semua kesibukan gue itu, gue selalu inget Danisha. Gue selalu pengin tahu gimana kabarnya, dia lagi apa, udah makan apa belum, capek nggak ya, dan hal lain yang menyangkut tentang dia.

Jejak KasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang