Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Hancur.
Ada yang hancur dan meledak-ledak dalam diriku, berubah menjadi kepingan-kepingan kecil yang berserakan.
Apa katanya? Aku tidak salah dengar, kan?
"Sha, kita udahan aja, ya?"
Sebuah permintaan mengakhiri yang baru aku dengar dari mulut Tirta selama lebih dari lima tahun kami menjalin hubungan.
Tidak mungkin. Aku tidak mungkin salah dengar, mengingat Tirta bukan orang yang mudah mengakhiri sesuatu. Bukan orang yang dengan mudah pula menyerah.
Dia adalah lelaki paling pekerja keras yang pernah aku kenal selama hidupku.
Dia yang selalu berusaha mempertahankan hubungan ini, dia pula yang selalu bersabar meski entah berapa kali aku membuatnya kecewa.
Aku kira kesabaran itu tidak ada ujungnya, nyatanya manusia juga punya limit untuk menahan dirinya ketika mereka terlampau kecewa, atau mungkin lelah karena terus tersakiti.
Ah, ternyata begini, ya. Tirta sudah tidak sanggup lagi dengan orang sepertiku, padahal selama ini aku selalu berpikir bahwa ujung dari hubungan kami adalah tukar cincin dan pelaminan. Nyatanya, meski hampir ke sana, kami—tidak, Tirta sudah tidak sanggup lagi berjuang bersamaku.
Oh, atau mungkin, Tirta mengira dirinya saja yang berjuang dalam hubungan ini?
Aku tidak pernah sekalipun melihat wajah Tirta semenyedihkan hari ini. Netra yang selalu bersinar penuh ketulusan itu tampak sedikit gelap, dan bodohnya aku tidak mencurigai apapun. Tanpa tahu malu, aku meminta pelukannya, merindukan rengkuhan itu sampai hampir gila, hingga melupakan fakta bahwa jelas-jelas warna suasana di antara kami sudah tidak seperti sedia kala.
Aku benci kehilangan ketenangan.
Sedari kecil, aku selalu dilatih untuk tetap tenang menghadapi segala kondisi, meskipun jauh dalam diriku, aku terguncang hebat.
Entah karena aku anak perempuan pertama, Papi selalu mengajarkanku untuk tampak kuat, elegan, tenang dan tidak terkalahkan. Aku dilatih untuk mandiri, untuk percaya diri, untuk tidak mendengarkan apa kata orang di sekitarku.
Apa yang benar menurutku, adalah benar adanya. Selama itu tidak menyalahi aturan atau irasional.
Tapi, mengenal Tirta membuatku perlahan lebih manusiawi, tidak lagi seperti robot si maha sempurna. Yang tidak pernah salah dan tidak punya cacat.
Tirta membuatku belajar tentang maaf dan terima kasih. Membuatku belajar untuk selalu menghormati opini orang lain. Dia mengajarkanku tentang isi dunia yang belum aku ketahui meski kala itu aku sudah cukup dewasa untuk tahu seisi dunia.
Bertahun-tahun bersama Tirta, secara tak langsung dia seakan memanusiakan manusia tidak manusiawi sepertiku.
Sebelum bertemu Tirta, aku selalu bertanya-tanya mengapa aku tidak pernah punya teman yang bisa bertahan lama denganku. Mereka selalu pergi, dan hilang kontak setelah lulus.