1996.
Ayah (Namakamu) begitu senang karena mendapat dukungan dan bantuan dari ibunya. Hari itu, dia pergi tanpa sempat berpas-pasan dengan Yesaya yang datang ke kedai.
Ayah (Namakamu) berlarian mengejar ketertinggalan. Dia menatap bus yang masih berhenti di halte. Lampu merah sebentar lagi akan berganti menjadi lampu kuning dan hijau. Mobil-mobil akan segera melintas, namun dia memiliki presentasi penting untuk bisnisnya hari ini sehingga dia tidak punya keputusan lain selain berlari kencang dan menyebrangi jalan raya.
TINNNNNNNNNNNNNN!!!!!
Semuanya ... terjadi begitu cepat.
Tubuh Ayah (Namakamu) berguling ke aspal sesaat setelah sebuah mobil menabraknya.
Keramaian pun tercipta dalam hitungan detik.
Ayah (Namakamu) tersenyum dalam rasa sakit. Mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit, Ayah (Namakamu) berhasil mendapatkan busnya.
Presentasinya hari ini berjalan agak lamban karena tangan Ayah (Namakamu) terus menerus bergetar.
"Tidak usah dilanjutkan. Kami sudah tahu maksud dari bisnis Anda."
"Ya. Tapi tetap saja ...."
"Apa tujuan Anda membangun bisnis ini?"
"Ini untuk memudahkan--"
"Berapa keuntungan yang akan kami dapat kalau kami berinvestasi?"
"Saya tidak mengutamakan keuntungan. Saya mengutamakan kenyamanan bagi pengguna."
"Jadi bisnis Anda ini hanya akan menemukan dua kemungkinan? Pertama, mati dalam kehausan atau--"
Ayah (Namakamu) memaklumi. "Mati dalam kelapar--"
"Bertahan."
"Ya?"
"Jangan sampai kita meminum air laut sebelum hujan turun. Saya suka dengan gagasan Anda. Anda tidak khawatir pada keuntungan. Anda menyiapkan semuanya dengan matang. Saya akan menjadi orang pertama yang berinvestasi."
"Ah, terima kasih. Terima kasih banyak." Ayah (Namakamu) membungkuk berulang kali.
"Hidung Anda?!"
Ayah (Namakamu) memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah. "Tidak apa-apa. Saya, saya hanya ... sangat senang."
Hari itu, Ayah (Namakamu) mengenal Bu Madona. Bu Madona kerap menaiki lift yang sama dengan Ayah (Namakamu). Mengobrol dengan Bu Madona ternyata tidak segugup saat pertama kali Ayah (Namakamu) bertemu dengannya. Bu Madona bertanya pada Ayah (Namakamu), bukankah berbisnis itu hal yang mudah? Dan Ayah (Namakamu) menjawab sambil tersenyum. Tentu saja berbisnis adalah hal yang susah. Susah sekali. Lalu, kenapa Ayah (Namakamu) tetap bersikukuh ada di bidang ini? Hal itu dia lakukan karena dia ingin membuat dunia baru dan membahagiakan orang-orang terdekatnya.
"Seandainya bidang ini empuk seperti pasir di bawah ayunan. Bukan keras dan menakutkan seperti jalan beraspal ... pasti, ada banyak orang yang berani untuk memulai bisnis."
"Maksud Anda?"
"Dulu, istri saya sering memarahi anak perempuan saya karena selalu terluka akibat terjatuh dari ayunan. Kemudian Istri saya melarang anak perempuan saya untuk bermain. Namun, anak saya memohon agar dia tetap bisa bermain." Ayah (Namakamu) tertawa kecil. "Akhirnya saya membawa banyak pasir dan menaruh pasir tersebut di bawah ayunan. Maka dari itu, setiap kali anak perempuan saya jatuh ... dia tidak takut untuk terluka. Dia akan bangkit, dan kembali bermain dengan nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Start Up [IqNam Series]
RomansaIni cerita tentang (Namakamu) dan cinta platonik masa kecilnya. Semesta begitu baik hati telah mempertemukan mereka kembali di usia dewasa. Namun, saat ada satu nama yang dipinjam hanya untuk mengcover kesedihan (Namakamu), dengan kebahagiaan sesaat...