Wanita itu memandang lama bangunan sederhana di hadapannya. Ia ragu untuk tetap melangkah, atau memilih berbalik, masuk ke dalam mobil, dan pergi. Jujur, ia takut mendengar fakta yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan usai kejadian beberapa hari lalu. Tapi, berbalik bukan pilihan yang tepat untuk menghapus rasa penasarannya. Akhirnya, dengan langkah tegas, wanita itu melangkah menuju teras, menatap penuh senyum lebar ke arah kumpulan anak yang duduk berdampingan siap berangkat sekolah.
Secara tiba-tiba, pikirannya ditarik paksa pada ingatan masa lalu. Di mana ia pernah merasakan puncak kebahagiaannya saat memiliki keluarga lengkap—suami yang mencintainya dan putri yang cantik nan menggemaskan. Sayang, ia belum diberi kesempatan untuk mengantarkan putrinya pergi ke sekolah karena kecelakaan itu lebih dahulu merenggut dua sumber kebahagiaannya. Bertahun-tahun, ia hanya bisa menggumamkan kata yang tidak jelas akan menjadi kenyataan atau tidak—andai.
Andai dulu ia tahu pesawat yang ditumpangi suami serta anaknya akan mengalami kecelakaan, mungkin ia akan menahan dua orang tersayangnya itu. Maka, sampai saat ini mereka pasti bisa berkumpul bersama menjadi keluarga yang hangat.
"Bu Trisha?"
Wanita itu tersentak dari lamunannya. Kemudian menoleh dan memberi senyum tipis pada Astrid—pemilik yayasan panti asuhan.
"Silahkan masuk, Bu." Astrid mengarahkan Trisha untuk duduk di kursi ruang tamu. Tanpa Trisha sadari, anak-anak sudah berangkat sekolah. Astaga apa selama itu ia melamun? "Mohon maaf, ada perlu apa Bu Trisha ke mari pagi-pagi?"
Trisha tampak meneguk ludahnya kasar.
"Saya ingin memberi untuk bulan ini, Bu." Seperti yang pernah Trisha bicarakan dengan Nara, Trisha benar-benar menjadi donatur untuk panti. Ia merogoh isi tasnya mengambil satu buah amplop sedikit tebal yang langsung ia serahkan pada Astrid. Amplop itu diterima baik, lalu Astrid tersenyum seraya menuturkan kata terima kasih.
"Bu Astrid?"
"Ya?" jawab Astrid seraya mengerutkan kening saat melihat Trisha terlihat ragu mengatakan sesuatu.
"Saya ingin menanyakan tentang suatu hal."
"Silahkan."
"Tentang Nara." Terlihat perubahan raut wajah Astrid secara mendadak. Namun, wanita itu cerdas menyembunyikannya hingga sekarang bisa menampilkan senyuman lebar. "Bagaimana Nara bisa sampai di panti ini?"
Astrid memilih tidak langsung menjawab, ia mencoba mengingat kejadian yang sudah terjadi belasan tahun lalu itu. Sedikit membuka luka lamanya ketika melihat Nara untuk yang pertama kalinya. Kondisinya begitu memprihatinkan.
"Nara datang dibawa oleh seorang wanita. Ketika dia masih berusia dua tahunan, ia penuh luka dan perban di mana-mana."
"Luka?"
"Ya, wanita itu bilang, Nara korban kecelakaan. Orang tuanya menjadi korban, hanya Nara yang selamat walaupun penuh luka dan sebelumnya harus dirawat cukup lama di rumah sakit," jelas Astrid membuat Trisha semakin penasaran. Trisha merenung sejenak, lalu kembali menatap Astrid.
"Wanita itu siapanya Nara?"
"Beliau bilang, pengurus rumah sakit. Karena Nara sudah tidak memiliki keluarga, beliau terpaksa membawa Nara ke sini." Astrid menghela nafasnya panjang, menceritakan hal ini sebenarnya membuat hatinya sesak. Begitupun Trisha yang kembali merenung sembari memijat pelipisnya pelan. Membayangkan Nara yang sejak kecil harus kehilangan kedua orang tuanya, keluarga, dan tubuh penuh luka.
Dan akhirnya, Trisha menyerah mencari informasi tentang Nara. Fakta tentang betapa malangnya nasib gadis itu sudah berhasil membuat dirinya sesak.
Di lain tempat, Nara yang fokus menatap kedua sepatunya mengeryit bingung saat mencium bau yang sudah tidak begitu asing lagi di indera penciumannya. Ia mendongak, lalu tersenyum lebar saat menemukan satu cup matcha yang Altair berikan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen Fiction"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...