Chapter 36 • Last but not Least

17.5K 754 44
                                    

-Alia-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Alia-

Aku berpikir tentang betapa tidak sabarnya aku untuk kembali ke panggung. Terakhir kali aku memerankan Giselle di pertunjukan tahunan BAJ, sepertinya seminggu sebelum aku berangkat ke Boston untuk kuliah S-2. Kini, aku mendapatkan peran itu lagi.

Butuh waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan gerakan-gerakan lagi, apalagi sudah lama aku tidak perform. Lagu Giselle—Andante sudah mulai diputar. Aku dan para penari lainnya sedang latihan di teater Ballet Academy Jakarta yang baru diresmikan sekitar setahun yang lalu.

Pertunjukannya besok, dan mad scene Giselle ini adalah adegan yang membuatku stres. Tidak seperti Nutracker atau Swan Lake, di pertunjukan Giselle, kami sebagai penari—khususnya penari utama, harus berperan layaknya aktor dan aktris sungguhan.

Yang kubayangkan saat memerankan adegan Giselle yang menjadi gila adalah bagaimana bila aku ditinggal Ayah, Daffa dan Archie dalam waktu yang bersamaan, mungkin aku akan gila sampai mati seperti Giselle.

"Ekspresi, Alia. Ekspresi! Show us that you mad and sad!" teriak Gerry, koreografer dan pelatih BAJ. Gerry memang agak galak, lebih galak dari Julie waktu melatihku dulu.

Aku berusaha menampilkan ekspresi semeyakinkan mungkin, hingga akhirnya musik mad scene selesai. Kami break selama lima belas menit sebelum masuk ke adegan the willis—adegan terakhir. Selain adegan gila yang membuatku stres, adegan terakhir adalah adegan yang membuatku lelah bukan main. Di adegan itu membutuhkan banyak tenaga karena aku harus melakukan banyak lompatan.

Sebelum kembali berlatih adegan terakhir, aku melepas pita yang membelit kakiku. Melepas pointe shoes untuk menggantinya dengan yang baru. Waktu lima belas menit yang kugunakan untuk beristirahat dan berbincang dengan penari lainnya berakhir, aku dan penari lainnya harus kembali berlatih. Saat memutar-mutar pergelangan kakiku sambil melenturkan kedua tangan, kusapu pandanganku ke deretan kursi penonton, dari cahaya yang tidak begitu terang karena lampu di langit-langit sekeliling kursi tidak dinyalakan, kedua mataku menangkap sosok Daffa.

Kenapa dia bisa ada di sini?

Dia melihatku, kedua tangannya melambai sambil mengulas senyum. Aku mengangguk melambaikan tangan sebentar. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu, entah apa yang dia katakan, tapi kubalas juga dengan gerakan bibir yang mengatakan I love you tanpa suara padanya.

**

Di tempat ini—teater BAJ penuh dengan banyak penonton. Riuh tepuk tangan sebelum tirai panggung dibuka dan membayangkan sorot lampu yang terfokus padaku sedikit membuat perutku melilit. Aku mengintip dari balik tirai untuk mencari keberadaan keluargaku. Senyuman lega merekah di bibirku begitu melihat Ayah, Daffa dan Archie yang duduk berjejer, di belakang kursi yang mereka duduki ada Papa dan Keenan. Tapi aku lebih memfokuskan pandanganku ke my pumpkin, Archie sangat tampan dengan tuxedo yang melekat di tubuhnya meski kemarin waktu mencobanya dia sempat menangis dan melempar pakaian itu sambil berkata 'panas, gelah dan tak cuka'.

The Summer Lives On [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang