Chapter 2

198 5 0
                                    

Alangkah terkejutnya saat aku saat tiba di sana ketika aku melihat sepasang suami istri paruh baya yang sedang memarahi atau harus ku katakan menganiaya anaknya.

Pria tua itu terus menyebutnya anak tak berguna, tak layak hidup, dan beberapa kali menghina istrinya dengan berkata, “Kau lihat anakmu! Dia begini karena lahir dari rahim tukang selingkuh sepertimu!” Beberapa kali pula wanita tua itu mencoba melindungi anaknya. Lebih terkejutnya lagi aku ketika melihat bahwa anaknya adalah orang yang semalam bersamaku. Wajahnya basah dengan beberapa tetes air mata, tatapannya kosong. Ia duduk di lantai dengan kaki terbuka dan tanganya mengepal di atas paha.

Aku bergegas menghampiri dan menangkis pria tua itu saat akan memukul anaknya dengan piring keramik besar. Mereka semua terkejut, lalu aku berkata, “Saya bisa melaporkan anda dengan tuduhan penganiayaan jika anda tidak berhenti dan menurunkan piring ini.” Namun, bukannya berhenti, pria itu malah berkata, “Kau pikir aku akan takut dengan ancaman sampahmu? Silakan laporkan saja, tapi, sepertinya kau akan menemui ajalmu dulu.” Aku sudah pasrah, jika memang ini takdirku, maka aku siap.

Aku memejamkan mataku, lalu aku mendengar suara piring pecah. Aku terheran karena badanku tak merasakan sakit. Ketika ku buka mataku, pria tua itu sudah ada di lantai dan pecahan piring berserakan. Ada beberapa bercak darah juga, karena ternyata ketika dia didorong anaknya, pria tua itu melempar piringnya dan mengenai tangan anaknya. Tak lama, datang beberapa petugas keamanan menghampiri kami dan bertanya banyak padaku sebagai saksi mata.

Setelah semuanya selesai, wanita yang tadi terlibat perselisihan deangan suaminya mnghampiriku dan bertanya, “Anak muda, apakah kau mengenal Nakoa?” Ternyata namanya Nakoa. Aku lupa menanyakan namanya kemarin. “Ya ... bisa dibilang begitu,” jawabku agak ragu.

“Baguslah kalau begitu,” ucapnya sambil memegang tanganku. Ia terlihat bahagia, matanya penuh harapan. “Ini semua salah saya, tidak seharusnya saya melibatkan dia dalam masalah keluarga ini. Nakoa dari dulu sudah menanggung beban saya dan ayahnya. Saya harap untuk kedepan, kamu bisa menjaganya.” Tanpa ragu, aku pun menjawab, “Akan saya usahakan.”

Wanita itu lalu pergi bersama seorang lelaki paruh baya lain yang bukan ayahnya Nakoa. Sejujurnya, aku pun agak bingung dengan masalah yang sebenarnya terjadi. Namun, apa peduliku, aku hanyalah orang luar. Aku pun pergi mencari Nakoa. Tepat seperti dugaanku, dia ada di tempat kemarin, berdiri menatap lautan yang kali ini biru dan berombak seakan sedang marah.

Aku menghampirinya dan berkata, “Namamu … Nakoa? Aku Asher. Maaf tak memperkenalkan secara sopan.”

“Tak usah pedulikan. Kau tak apa? Aku yang harusnya minta maaf karena melibatkanmu. Tolong juga lupakan hal yang terjadi. Anggaplah bertemu denganku sebuah kesialan. Untuk kedepan-“

“Untuk kedepan kalau ada apa-apa, tolong beri tahu. Kau tadi meminta maaf, akan ku maafkan kalau kau tidak mendorongku lebih jauh darimu,” jawabku membuat kami berdua terdiam. Keheningan cukup lama menyelimuti suasana. “Hari mulai panas. Kembalilah dulu, nanti malam kita bicara lagi,” ucapnya memecah keheningan dan berjalan pergi bersama angin.

Dia dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang