Chapter 3

150 4 0
                                    

Aku pergi menemui Karan, sepupu Nakoa yang juga merupakan temanku. Aku bertanya kepadanya mengenai Nakoa. Ia tidak berbicara banyak dan hanya memberi tahuku bahwa kedua orang tua Nakoa tidak memiliki hubungan yang baik. Dia juga memberi tahuku bahwa Nakoa adalah seorang peselancar dan sering kali mencoba menenggelamkan dirinya ke lautan. Tak heran Nakoa tampak sangat menikmati lautan lepas.

Sekali lagi, aku melihat Nakoa menatap kosong ke arah lautan. Rambutnya yang digerai tampak santun bercengkrama dengan angin. Aku berniat untuk tidak menghampirinya dan hanya mengagumi tak jauh darinya. Namun, ia ternyata menyadari kehadiranku dan menoleh ke arahku sejenak. Untuk pertama kalinya mataku bertemu dengan mata birunya secara langsung.

“Angin ini ramah … sayang tak bisa ku ajak bicara. Penawaranmu yang dulu, apa sudah terlambat untuk ku ambil?” tanyanya kepadaku. Sontak aku langsung menghampirinya sambil tersenyum tipis. “Orang bilang, lautan adalah tempat terakhir jiwa-jiwa yang sudah meninggalkan raganya sebelum kembali ke tempatnya berasal. Mungkin itu alasan mengapa lautan terlihat begitu bebas,” ucapnya kembali melihat ke arah lautan. “Kau suka lautan?” tanyaku sambil melihat wajahnya dari samping.

Ia menoleh sejenak ke arahku lalu kembali melihat lautan dan berkata, “Dia tidak memberiku apa yang diberikan dunia fana ini. Tentu saja aku menyukainya, bahkan aku ingin segera kembali kesana.” Sambil menunjuk ke arah lautan. “Memang apa yang diberi dunia ini dan lautan untukmu sehingga kau begitu menyukainya?” tanyaku semakin pernasaran dengannya dan tak ingin ia berhenti bicara.

“Pengecewaan. Hanya itu yang dunia beri … aku harus berjuang dan dia hanya memberiku pengecewaan. Jika harus jujur, ini terlalu berat bagiku.”

“Lalu lautan?”

“Lautan … ia tak memberiku apa-apa. Tapi, ia menerimaku setiap aku ditolak dunia. Ia memberiku semacam kenyamanan yang tak akan ku dapatkan dimana pun. Ia tak memberiku apa-apa, namun ia diam disana disaat aku ingin menangis, disaat aku ingin tertawa, disaat aku ingin berteriak sampai suaraku habis,” jawabnya membuatku terdiam sejenak.

Dia pun terdiam dan tak lama turun air mata dari mata biru bulannya yang indah. Ku seka air matanya dengan lengan panjang kemejaku dan ku katakan padanya, “Sudah, tak apa. Bersabarlah sedikit, nanti akan membaik. Dunia akan membaik tak lama lagi. Sedikit lagi, tahanlah.”aku mencoba menenangkannya sedikit lalu memeluknya. Ia menangis di bahuku sambil memelukku erat seakan memberitahuku untuk tetap disini menemaninya yang sendiri.

“Aku dulu seorang peselancar, tidak … sampai sekarang pun sebenarnya masih. Namun, aku berhenti karena ayahku tak mengizinkanku untuk berselancar lagi. Sesekali aku kembali berselancar ketika ayahku dinas ke luar kota. Aku rindu ombak besar yang menemaniku setiap saat. Aku juga rindu matahari yang selalu membakar kulitku sampai setengah hangus,” ia terkekeh saat mengucapkan kalimat terakhir. “Ku dengar kau sering kali  mencoba menenggelamkan diri ke lautan. Bernarkah?” tanyaku memberhentikan tawanya.

Aku sejenak berpikir apakah aku salah ucap, namun ia menjawab, “Aku begitu mencintai lautan, itulah mengapa aku mencoba untuk meniggalkan dunia ini sesegera mungkin. Namun sayang, lautan belum mencintaiku jadi aku selalu gagal.” Ucapanya membuatku tertegun. “Sebenci itukah kau kepada dunia ini?” tanyaku lagi.

“Di kehidupan ini, apa yang membuatmu ingin terus hidup? Apa yang membuatmu merasa seakan-akan kau hidup?” Tak lama, ia berkata lagi, “biar ku beri tahu. Kau… tidak, semua orang memiliki alasan untuknya merasa hidup dan terus hidup. Jika kau tak memilikinya, bukankah lebih bagus untuk tidak memiliki kehidupan?” Lalu terkekeh. Aku ikut tertawa mendengarnya berkata begitu tanpa mencermati perkataannya.

Tak disadari, hari pun sudah kembali malam dan besok kami sudah harus kembali. Ku harap aku bisa bertemu lagi dengannya setelah ini. Di malam terakhir ini, ada pesta dansa yang diadakan sebagai puncak acara. Aku dan Nakoa menari bersama layaknya pasangan yang sudah lama sekali menikah. Semua mata seakan tertuju pada kami. Sesekali pula aku mendengar para gadis disana mengatakan bahwa mereka iri pada kami. Lagu yang diputar seakan mendukung kami di lantai dansa saat itu. Nakoa berbisik padaku, “Setelah ini, ku harap kita tetap begini,” dan ku jawab, “Tentu. Tentu saja kita akan tetap begini.” Lalu kami terus berdansa sampai tengah malam.

Dia dan LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang