Keesokan harinya, kami bercanda bersama, sarapan bersama, bahkan kami berlari-larian layaknya anak kecil mengelilingi kapal. Aku tak pernah merasa sebahagia ini, begitu pun Nakoa. Kami bercerita banyak hal dan lagi-lagi, tanpa disadari waktu kami di kapal itu sudah berakhir. Kami sudah sampai di dermaga dan sudah harus berpisah.
“Bagaimana kalau kau pergi ke pantai ini hari minggu tanggal 14 nanti? Aku berencana untuk berselancar, mungkin untuk yang terakhir kalinya kalau lautan sudah mencintaiku. Jadi, ku harap kau bisa melihatku nanti,” ucapnya sambil tertawa. “Tentu, aku akan datang. Aku akan datang sangat pagi untuk memberi tahu lautan agar nanti saja mencintaimu. Aku masih ingin melihatmu berselancar selama mungkin.” Kami berdua lalu tertawa bersama dan berpisah.
Hari ini, tepat hari Minggu, 14 Februari, hari kasih sayang yang ditunggu orang-orang, aku akan melihat Nakoa berselancar untuk yang pertama kali. Hari ini akan menjadi hari yang sangat bermakna bagiku. Aku membawa buket bunga 9 mawar merah dan sebuah kalung perak dengan liontin papan selancar, dibungkus rapi dengan sebuah kotak yang berwarna biru hampir sewarna dengan mata birunya Nakoa. Aku datang pagi sekali seperti yang ku katakan pada Nakoa. Tapi, ternyata malah Nakoa yang duluan datang.
Seperti biasa, ia menatap lautan lagi, namun kali ini dengan tatapan lebih bermakna, seolah ingin mengatakan perpisahan. “Ah mungkin hanya perasaanku saja,” pikirku dalam hati. Aku menyapanya, ia langsung menoleh ke arahku dengan mata biru yang berbinar. “Sudah lamakah?” tanyaku padanya “Tidak, tak apa,” jawabnya. Aku memberikan buket dan kalung yang tadi kubawa. Ia terlihat sangat bahagia dan berkata, “That’s sweet! Thanks, Asher.”
“My pleasure,” jawabku sambil membungkukkan badan. Ia membuka kotak kalungnya, bisa ku bilang dia terlihat terkagum dengan kalungnya. “Suka?” tanyaku menggodanya “Sangat, thanks a lot! Bisa tolong pakaikan?” katanya sambil menyodorkan kalungnya ke arahku. Aku memasangkan kalung perak yang ku beli dengan perasaan ragu ke lehernya. Kalungnya terlihat 100% lebih indah di lehernya. “I really really like it!” katanya sambil melihat kalungnya terus.
“Ayo sini!” ajaknya menarik tanganku ke pinggir pantai. Ia mengambil sebuah papan selancar berwarna biru dan berkata, “Lihat ya!” Ia lalu menaiki papan seluncurnya dan berselancar dengan profesional. Aku sungguh terkagum melihatnya. Dia begitu menarik saat berselancar dengan rambut ash blondenya yang beterbangan. Aku menyoraknya dari pinggir pantai, sesekali ia melambaikan tangannya ke arahku.
Tak pernah ku sangka itu adalah kali pertama dan terakhir aku melihatnya berselancar di lautan bebas. Setelah aku mengantarnya pulang dengan harapan akan kembali mengajaknya bertemu minggu depan, ia kembali ke lautan dan berselancar. Lautan ternyata sudah mencintainya, percobaannya selama ini untuk kembali ke lautan kali ini berhasil. Pantas ia menolak ketika aku mengajaknya bertemu. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku sedih? Haruskah aku marah? Ini pilihannya, bukankah aku harus menghargainya? Tetapi, sulit untuk merelakannya kepada lautan.
Namun, apa yang bisa ku lakukan? Lautan lebih mencintainya. Ia pun sudah mencintai lautan sejak dulu. Aku teringat dengan surat yang ia beri saat mengantarnya pulang malam itu. Ia menyuruhku membukanya ketika lautan sudah mencintainya. Ia juga sempat meminta maaf karena hanya bisa memberiku ini. Setelah ku baca, akhirnya aku mengerti kenapa ia begitu membenci dunia.
Sebelum berselancar, ia dulu adalah seorang penari ballet yang pertunjukkan besarnya gagal total. Karena itulah ayahnya yang membiayai pertunjukkan itu harus bangkrut dan orang tuanya bercerai di umurnya yang ke 17. Ibunya menikah lagi dengan pamannya, namun keluarga besarnya tidak tahu.
Itulah mengapa orang tuanya masih terlihat bersama. Seluruh keluarganya menganggapnya kegagalan, bahkan ayahnya sendiri sering melakukan kekerasan padanya, ibunya pun tidak mempedulikannya lagi semenjak menikah dengan pamannya. Ia tertekan dan sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa, tetapi, semua orang juga menganggapnya gila, lalu mengucilkannya.
Aku juga baru mengetahui bahwa 14 Februari adalah hari ulang tahunnya yang ke-20. Aku menyesal tidak tahu lebih awal, tidak mengenalnya lebih awal. Dia selama ini sendirian menghadapi kejamnya dunia dan hidup dalam rasa takut. Tak ada yang menemaninya, ia kesepian, hanya lautanlah tempatnya mengadu.
Di akhir suratnya ia menulis:
“… terakhir Asher, ketika kau membuka ini, berarti lautan telah mencintaiku. Dia sudah mencintaiku, setelah selama ini. Kau harus berbahagia untukku, ya Asher? Aku takkan kuat melihatmu tak bahagia. Kau mau tau? Setelah kau melihatku berselancar, ku harap aku bisa mengatakan aku bangga pada diriku. Maaf aku telah mengecewakanmu. Setelah bertemu denganmu, ku harap semua suara di kepalaku, semua hal yang membuatku takut, bisa hilang tanpa kembali ke lautan. Tapi, ku rasa aku tidak sekuat itu. Maaf ... Asher …. ”
Aku tak menangis sedih saat membacanya. Aku lebih merasa terharu karena akhirnya dia telah mendapatkan apa yang dia mau. “Jiwamu kini telah kembali ke lautan, Nakoa … aku harap kau menemukan apa yang engkau cari. Semoga ia terus tidak memberimu apa yang dunia berikan. Berbahagialah jiwamu, Nakoa. Di kehidupan selanjutnya mari tetap bertemu seperti ini, tapi, lebih awal sehingga ketika lautan mencintaimu, aku sudah lebih siap,” ratapku di pinggir lautan tempatnya berselancar waktu itu. Nakoa, namanya berarti pejuang dan ya … ia memang seorang pejuang. Misinya di dunia ini sudah selesai, aku harus berbahagia untuknya, ya aku harus.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dan Lautan
Historia CortaSebuah cerita tentang dia yang mencintai lautan dan telah kembali ke lautan. *ini awalnya buat lomba cerpen, dibagikan disini karena sayang.