The last flower (Dongmark)

326 22 4
                                    

Pair : (Donghyuck top, Mark bott)
AU!
Donghyuck; Dariga
Mark; Mahendra

"Dar, lo habis ini mau kemana?" tanya lelaki pendek—Reggie, pada lelaki berkulit tan, Dariga namanya.

"Mau ke toko bunga." Jawaban seadanya keluar dari mulut Dariga. Tangannya sibuk memasukkan barang-barang seperti laptop, buku catatan, dan yang lainnya. Bersiap sebelum beranjak dari sebuah kafe yang menyediakan Wi-Fi bagi para pengunjung.

Ya, mereka berdua memang habis menumpang Wi-Fi karena di kostan mereka mengalami pemadaman listrik.

"Dar," panggil Reggie. Tetapi Dariga acuh, ia justru menepuk pundak Reggie—tanda pamit lebih dulu. Dan lelaki itu keluar dengan menggendong tas punggung hitam, mendekati sepeda motornya dan berlalu begitu saja.

Meninggalkan Reggie yang menatap kepergian lelaki itu dalam diam.

"Dariga, Dariga..." Reggie menggeleng sembari menghela napas.

.

Sebuah sepeda motor terparkir rapih di depan toko bunga langganannya sejak jaman orok. Tempat yang telah menjadi langganan semenjak jaman ayahnya masih pdkt dengan sang ibunda.

Benar kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lihat sekarang, Dariga menuruni kebiasaan sang ayah, membelikan kekasih sebuah bunga. Apapun itu.

Sang kekasih—Mahendra, tidak pernah masalah dengan kebiasaan Dariga. Karena ia tahu, semua bunga yang diberikan oleh Dariga mempunyai arti masing-masing.

Ah, Dariga jadi ingat pertama kali ia memberikan bunga pada Mahendra. Saat itu ia dan Mahendra masih menginjak taman kanak-kanak. Ya, walaupun Mahendra lebih tua darinya satu tahun, tapi Dariga tak henti-hentinya mendekati Mahendra karena anak itu terkenal sangat penyendiri.

Dan, mungkin semesta sedang mempermainkan takdir. Dariga dan Mahendra bertemu lagi dan lagi. Alias mereka berdua selalu satu sekolah, bahkan saat menginjak bangku kuliah, mereka bertemu lagi. Namun, untung bagi Mahendra, ia tidak satu fakultas dengan anak yang kelebihan gula itu.

Oh, Dariga juga ingat saat ia mengajak  kencan Mahendra untuk pertama kali. Ia mengajak lelaki itu menuju destinasi padang rumput. Awalnya Mahendra bingung, tetapi Dariga—dengan caranya sendiri. Membuat tempat yang menurut Mahendra biasa saja, berubah menjadi tempat yang memiliki arti serta kenangan tersendiri bagi Mahendra.

Dariga memasuki toko tersebut. Melihat-lihat sebentar pada bunga yang terlihat segar—baru saja dipetik dari kebun.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya ibu-ibu berambut hitam sepundak.

"Oh! Iya, Bi. Ada bunga yang biasa saya beli?" tanya Dariga setelah membalikkan badan dan tersenyum ramah pada ibu-ibu dihadapannya itu.

"Ada... Mau dibikin buket seperti biasa juga?" balas sang ibu-ibu.

Dariga mengangguk cepat, lalu tersenyum lebar, "Yang warna biru kalau ada, Bi."

"Ada, kok, tenang... Sebentar, ya. Bibi kemaskan dulu."

"Siap, Bi."

.

Setelah menunggu kurang lebih selama 10 menit, ibu-ibu itu muncul serta membawa satu buket bunga pesanan Dariga.

Dariga yang sedang duduk di kursi tunggu langsung bangkit dan menerima bunga tersebut. Tangannya hendak merogoh kantong celana, namun ditahan.

"Sudah, kamu bawa aja. Buat pacar kamu, 'kan? Bibi titip salam aja sebagai bayarannya."

"Duh... Bi, tapi saya nggak enak."

"Nggak apa-apa... Sebagai tanda terima kasih juga udah mau setia sama ini toko dari jaman bapak kamu." Ibu-ibu itu terkekeh.

Dariga menggaruk tengkuknya. Lalu, tersenyum, "Terima kasih banyak, Bi. Bibi emang yang terbaik!"

"Dariga izin pamit dulu, ya, Bi. Makasih banyak bunganya, lain kali jangan lagi. Dariga nggak enak."

"Hahaha... Udah-udah. Titip salam, ya, jangan lupa."

"Siapp."

Setelah berpamitan, Dariga membawa bunga tersebut dengan hati-hati—takut rusak. Menuju tempat kediaman kekasih yang paling tiada duanya itu.

.

Dariga memarkirkan motornya dengan rapih. Berkaca dahulu sebelum bertemu dengan kesayangannya. Mengecek apakah kegantengannya masih ada, ataukah sudah berkurang. Malu nanti jika benar ternyata ia tampak kurang tampan di hadapan Mahendra. Bisa-bisa kena ejekan dia.

Sesudah dirasa cukup, Dariga—beserta satu buket bunga berwarna biru. Menapaki jalan setapak yang berkelok-kelok. Terasa agak licin karena semalam diguyur hujan. Tapi, itu tidak mengurangi semangat Dariga bertemu Mahendra.

Kini, sampailah pada kediaman Mahendra. Dariga berjongkok, mengusap batu yang telah menjadi tanda bahwa kekasihnya berbaring di sana.

"Hai, Mahen! Cintaku, sayangku... Bagaimana di sana? Udah sehat, ya? Nggak sakit lagi, kan?" cerocos Dariga dengan semangat.

"Oh iya, sayangnya Dariga, aku bawa sesuatu buat kamu." Dariga meletakkan satu buket bunga tadi di atas nisan Mahendra.

"Satu buket bunga sweet pea. Warna biru. Kesukaannya kamu."

"Semoga kamu nggak bosen, ya, aku beliin itu terus. Soalnya... Semenjak kamu pergi, cuma bunga itu yang bisa wakilin perasaan aku. Aku harap kamu mengerti, ya?" Dariga mengusap-usap nisan itu sembari menatap dalam deretan nama serta tanggal kematian kekasihnya.

"Reggie tadi kayaknya tahu, tapi aku langsung cabut. Soalnya kalau aku dengerin dia, bisa-bisa aku nggak ketemu kamu." Dariga terkekeh.

"Aku udah ikhlas, kok. Kamu nggak perlu khawatir." Dariga melanjutkan, lalu menghela napas.

"Mahen, kangen... Pengen gombalin kamu lagi..." rengek Dariga.

"Masa aku gombalin kuburan, kan, nggak lucu, Sayang..."

Jika saja ada orang kebetulan lewat dan melihat tingkah Dariga yang sedang seperti ini, bisa saja ia akan disangka gila.

Dariga melirik jam tangannya, sudah waktunya ia pulang, ada pekerjaan yang sudah menunggu untuk dikerjakan.

Dengan berat hati, Dariga menatap nisan itu, lantas tersenyum sendu.

"Untuk sekedar tahu aja, aku masih berharap sama Tuhan kalau kita disatukan lagi. Yah... Walaupun kayaknya nggak mungkin juga." Dariga tertawa sinis.

"Aku pulang, ya? Semoga suka sama bunganya."

Dariga menunduk, mencium nisan tersebut. Lantas mengusapnya dengan lembut.

Ia kemudian beranjak dari sana, dan pergi meninggalkan tempat yang telah menjadi tujuan akhir dari manusia.

End.

Catatan/?
Ngefeel gk sih? Saya merasa agak kurang sebenernya...😂
Oh ya, bunga sweet pea itu kayak foto di chapter ini. Buat yg mau tau arti dari bunga sweet pea; bunga yang melambangkan pertemuan, perpisahan, keikhlasan serta kehilangan. Persis kayak dirasain sma Dariga.
Dan, yah, knp gk sad" amat... Soalnya itu wakilin yg udh ditinggal agak lama, jdi mrk udh sedikit-sedikit ikhlas, gk sedih lgi intinya. Yh, smg ngerti lah ya...
See u!

Kumpulan Oneshoot RandomWhere stories live. Discover now