Sinyo Beskap Coklat

23 3 1
                                    

Ruangan nampak redup, sesekali cahaya bergerak lewat percik api dalam lampu minyak yang menari kena terpa angin.

Sunyi, meskipun berpasang-pasang mata berkedutan menahan kantuk, karena malam semakin meninggi. Tidak ada suara lain selain deru napas, dan lolongan anjing yang sesekali terdengar.

"Apa kau yakin, tidak apa-apa seperti itu?" akhirnya kesunyian sedikit pecah saat Fahad berbisik pada sosok tua yang tengah duduk di sofa terdekat.

Suasan dingin Bandung, membuat orang-orang yang duduk di teras menggigil. Ditanya begitu, sosok tua tersebut melepaskan kekehan miring, yang cukup mengerikan. Kekehan yang sontak membuat beberapa anak disana teralihkan fokusnya.

"Biar. Sudah tradisi di sini," balas sosok tua itu. Segera diambilnya cangkir kopi Malaka yang masih mengepul uapnya, untuk diseruput tanpa ditiup olehnya sedikitpun. Sosok tua itu adalah Hayadi, penjaga panti asuhan Zwartpaad.

Tidak banyak orang tahu, soal panti asuhan yang dikelola oleh Eugene Verschoor. Seorang mantan letnan kelahiran Friesland yang telah lama pensiun. Panti asuhan Zwartpaad bukanlah panti asuhan biasa. Panti yang berdiri pada tahun 1900an ini, hanya mengumpulkan anak-anak buangan yang dinilai memiliki bakat, baik kecerdasan seni maupun akademik.

Fahad menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dia adalah juru masak baru di panti. Kendati dirinya masih belum bisa menerima apa yang dilihat oleh kepalanya sendiri. Sebab dihadapannya ada sebuah meja degan dua buah kursi yang berhadapan.

Di sekeliling meja, terdapat anak-anak yang bergerombol dari kanak-kanak sampai remaja. Mereka semua kira-kira berusia 9 sampai 17 tahunan. Mereka sedang menonton dua orang yang tengah sengit, duduk di atas kursi rotan itu meskipun tampak tenang, terasa.

Api kecil menyulut lewat kedua mata mereka, di samping kiri, nampak dua orang anak perempuan yang membantu. Erna, anak perempuan dengan kain batik berjongkok sembari memegangi catatan, sementara Elisabeth si cantik berparas Indo, memegang gelas seng yang digunakan untuk mengocok dadu di tangannya.

"Tapi pak..." Fahad kembali menoleh ke arah Hayadi, yang kelihatannya sudah siap dibombandir pertanyaan. "Bukankah ini..."

"Ronde tiga, skor 2-2... saya akan pakai tiga dadu. Silakan pasang nomor kalian!" suara Elisabeth lantang terdengar, dia menambah satu, kemudian mengocok sisanya.

Fahad berdeham merasa tak nyaman, dengan tekanan dari arah gerombolan anak itu. Ini tidak sehat, pikirnya. "Bukankah...ini judi?" tanya Fahad dengan tenggorokannya yang kering.

Hayadi tertawa nyaring sambil mengangguk, dia mengangkat kedua bahunya. "Memang betul, ini judi. Taruhannya cukup mengerikan pula." jawab Hayadi santai.

"Memang, apa tahurannya?" tanya Fahad penasaran, dirinya sedari tadi memanglah di dapur.

Dia baru datang di ronde dua sambil membawakan poci seng besar berisi teh panas, dua pot kecil susu krim, dan beberapa nampan gelas untuk menyuguhi anak-anak.

"Gelar dokter, mang" suara mungil yang manis menjawab Fahad mendahului Hayadi yang baru membuka mulut. Fahad menoleh, terkaget dengan sosok mungil berbalut kaus putih dan celana kain hitam. Salah satu anak asuh panti Zwartpaad itu tersenyum sambil menyodorkan gelas kosongnya. Dia minta tambah teh lagi, melihat itu Fahad tergopoh dan membantu anak kecil itu menuangkan teh, "Ah, maksudnya bagaimana ya dek?" kembali, diliputi kalut dan rasa penasaran Fahad berkicau.

Anak itu menunjuk salah satu pemuda yang duduk di kursi, dia mengenakan beskap berwarna coklat dan kain batik dengan sepasang sepatu kulit hitam yang menyembul dari sela kainnya, rambutnya agak gondrong, namun rapi disemir kebelakang. Wajahnya nampak tegas meskipun rautnya lembut. Wajah serupa daun sirih dan kedua alis tebal itu meninggalkan kesan cantik, tanpa melepaskan hawa maskulin dari sepasang mata hitamnya yang tajam. Jangan lupakan senyum kecil, yang cukup sinis di wajahnya. Jemari panjang pemuda itu bergerak-gerak, kuku jempolnya seolah menjadikan garis buku jari, di telapak tangannya sebagai alat hitung. "Itu Henkjan," jawab anak lelaki itu.

Henkjan En De Theorie Van JaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang