Makan malam

4 0 0
                                    

"Nyo, Sinyo," ketukan pintu itu membangunkan Henkjan yang hampir dalam terlelap hingga ke daratan mimpi.

Henkjan cuma mampu mengerjapkan matanya beberapa kali sambil mengerang malas, tubuh pegalnya masih betah berleha-leha di atas sprei linen yang dingin itu.

"Ya, sebentar," sahut Henkjan dari dalam. Rupanya hari sudah betul-betul gelap di luar sana, dirinya bangkit dan berjalan mendekati jendela. Suasana nampak sunyi dan gelap, dia berjalan ke arah lemari dan mulai berganti pakaian dengan kemeja yang dipinjamkan Tiemersma.

Agak sedikit kebesaran, tapi tidak masalah. Daripada tidak ada. Setelah bergantinpakaian, dirinya beranjak mendekati pintu dan membukanya. Terlihat, seorang bedinde dengan kain batik gelap sedikit membungkuk didepannya.

Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong yang cukup terang dengan lampu gantung yang indah.

'Nikmatnya' begitu pikir Henkjan sambil meneliti ke tiap sudut ruangan, listrik sudah membanjiri Batavia berkat didirikannya NIEM di tepi sungai Ciliwung yang indah. Tidak perlu bergelung dengan lampu minyak untuk membaca buku di malam hari.

Bandung sendiri sebetulnya sudah memiliki sumber listrik, namun berkapasiti kecil. Karena itu, tahun ini pembangkit listrik itu dibongkar untuk membuat pembangkit listrik baru yang berkapasiti lebih besar. Karena itulah terkadang musti berurusan dengan kegelapan yang sangat kental.

Wangi masakan membumbung tinggi, lewat aromanya Henkjan bisa sedikit menebak bumbu apa saja yang berdansa di atas kuali. Kemungkinan, para juru masak membuat sesuatu dari tulang sapi, dan sedikit lada hitam. Perut kosongnya mulai meraung tipis dibalik kemeja begitu dia memasuki area ruang makan. Meja besar itu dipilih dengan cukup buruk, dan Henkjan tengah mengkritiknya dalam hati.

Taplak putih dengan renda itu betul-betul menyita prasangka buruk dalam kepalanya sebab pemikiran mengganggu soal kuah atau minuman yang tumpah dan menimbulkan noda jorok itu membuat Henkjan bergedik geli sendiri. Jijik.

Henkjan melirik kursi kosong disamping madam Jane yang sepertinya memang disiapkan untuknya, lirikan tak berminat dijatuhkannya pada dudukan lilin kosong diatas meja.

'Buat apa sih, tidak ada gunanya tapi di pajang?' ucapnya dalam hati sambil melangkah ke kursi yang kosong itu. Malam ini madam Jane menggunakan sarung tangan yang berbeda lagi rupanya, sekarang warna krem dengan bordiran bunga lili.

Satu mangkuk sup konro, nasi dan sambal, tidaj lupa air putih. Kepulan asap itu seolah-olah merayu hidung Henkjan, membawa pemuda itu meneguk air liur.

"Nyonya Ayuningtyas mana?" pertanyaan tipis keluar dari mulut Henkjan, mendahului madam Jane yang hendak membuka obrolan.

Sebagai ganti karena sudah dipotong, madam Jane lebih memilih mengulurkan tangan dan mengambil sedikit merica dari wadah kaca didepannya, dengan ringan ia menjawab "Dia menginap di Hotel, tidak disini" jawab madam Jane.

Dari nadanya, Henkjan bisa merasakan masam pekat. Sepertinya jangan ditanya, cukup diingat untuk dipikirkan dengan ingatannya kelak sebelum tidur. Henkjan cuma mengangguk tak peduli, diliriknya Kristofer yang mengaduk-ngaduk kentang tumbuk tanpa minat.

"Henkjan," panggil meneer Dickerhoff sambil menoleh, rupa-rupanya dia hendak memecah canggung yang terlanjur terbit meskipun malam masih semuda ini. "Sudah kenalan dengan Kristofer? selama perjalanan apa kalian akrab?" tanya meneer Dickerhoff ramah.

'Iya meneer, putra menyebalkan anda sangat rewel dan rakus, dia bahkan mencuri bekal saya dan terus mengejan macam setan' itu yang diteriakan Henkjan dalam pikirannya, meskipun yang ia suguhkan hanyalah senyum. Kaki kiri Henkjan bergerak-gerak tak nyaman berkat pecahnya fokus dalam otak. Gatal ingin menulis-nulis, namun keinginan itu ditahannya.

Henkjan En De Theorie Van JaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang