Telingaku berdenging sebab runtutan pertanyaan yang dilontarkan oleh Johee. Tanganku menggenggam setir, geram.
"Diamlah sebentar. Aku tidak bisa konsentrasi menyetir kalau kau cerewet terus."
"Makanya, jawab dulu pertanyaanku. Om mau mengajakku kemana?" Kepalanya ditolehkan kearahku dan matanya menyipit curiga.
"Kau akan lihat sendiri nanti." Aku tak lagi menanggapi rengekannya yang memekikkan telinga.
Tak butuh waktu lama untuk menemukan butik yang kucari-cari.
Bangunannya yang mencolok dengan ornamen emas menghiasi atap-atap bangunannya, manekin bergaun mewah terpampang didepannya, membuatku langsung tahu bahwa itulah tempat tujuanku hari ini.
Selesai memarkirkan mobil yang kukendarai tadi, aku langsung menyuruh Johee yang kebingungan untuk turun.
"Kenapa kita kesini?" Tanyanya ragu. Wajahnya bahkan sudah pucat dengan tangannya yang meremas ujung jas yang kupakai.
"Tentu saja untuk membelikanmu pakaian." Tanganku langsung meraih tangannya yang meremas kuat-kuat jas milikku yang bahkan sudah kusut akibat remasannya.
"Hmm." Kali ini dia tidak mencicit saat aku menggenggam tangannya seperti waktu itu. Entah kenapa aku kecewa.
Aku menuntunnya masuk. Tubuhnya yang kecil bersembunyi dibalik tubuhku yang harus kuakui lebih kekar darinya.
"Can i help you, sir?" Seorang waitress menghampiri kami berdua.
Johee sontak ingin melepaskan genggaman tangan kami, tapi aku menolak dengan tetap meremas tangan mungilnya.
"Bring me two matching tuxedos, please." Balasku dalam bahasa Inggris.
Pelayan itu tak segera melayani permintaanku dan hanya terdiam sambil mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Pardon?" Ia menatap kami aneh. Aku memutar bola mataku malas.
"Should i repeat my words twice?" Kecamku cukup untuk membuat pelayan itu menundukkan kepalanya sambil meminta maaf sebelum pergi menyiapkan permintaanku.
Johee menatapku gusar. Ia tidak senang dengan perilakuku barusan. Dasar bocah naif.
"Duduklah disana." Telunjukku mengarah ke sofa empuk yang memang disediakan oleh butik.
"Tidak mau. Aku tidak mau sendirian disana." Balas Johee yang malah membenamkan kepalanya di dada bidangku.
"Hmm. Yasudah." Aku pun terpaksa duduk di sofa bersama Johee yang diam manis di sebelahku.
"Om." Panggil Johee.
"Hm?"
"Sebenarnya buat apa kau memesan dua pasang tuxedo di butik mewah ini? Katanya hanya mencarikan pakaian untukku?"
Aku mengeluarkan dua tiket yang sebenarnya ingin kutunjukkan padanya saat di hotel tadi pagi.
Tiket itu bertuliskan acara banquet yang digelar di sebuah ballroom yang sangat terkenal di Amsterdam.
Biasanya acara ini didatangi oleh bangsawan setempat dan kebetulan aku diundang oleh rekan kerjaku yang tinggal disini.
"Untuk acara ini. Sebenarnya aku sudah menyiapkan gaun untuk tunanganku, tapi dia kabur. Jadi aku memesan dua pasang tuxedo untuk kita pakai saat di acara ini."
"Hmm." Dia mengangguk paham. Dan itu mengakhiri percakapan kami yang sedang menunggu pesananku datang.
Namun nyatanya, pesananku tidak kunjung datang. Harus kumaklumi karena butik ini cukup ramai dan mereka harus meladeni semua pelanggan satu persatu.
"Dear, is this dress looking good in me?" Suara lengkingan perempuan itu menyita perhatianku.
Kekasihnya hanya mengangguk senang sambil menjawab, "You look so beautiful in that dress, honey."
"Aw, so sweet." Cuit sang wanita.
Kuperhatikan percakapan mereka lama sekali. Sampai aku tidak menyadari Johee yang memperhatikan gerak-gerik ku.
"Om sebenarnya ingin datang ke acara itu dengan orang yang memakai dress, 'kan? Bukannya orang yang malah memakai tuxedo sama sepertimu." Gumam Johee pelan walaupun aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Kepalanya ia sandarkan di bahuku. Tatapannya lemah dan bibirnya tak lagi bergeming seperti sebelumnya.
"..." Aku tidak dapat mengeluarkan suaraku sama sekali.
Aku bukanlah tipe orang yang romantis ataupun tipe orang yang peduli pada perasaan orang lain.
Aku itu laki-laki. Begitu pula Johee. Aku tahu konsekuensi menyukai sesama jenis. Begitu pula Johee. Aku acuh pada tanggapan mereka yang menatap kami aneh. Tapi, Johee tidak begitu.
"Johee." Panggilku yang hanya dijawab dengan 'hm' miliknya.
Aku mendengus kan napasku sebelum berkata kembali.
"Bagaimana kalau aku mau?"
Ucapanku sukses menyita perhatiannya. Ia mendongakkan wajahnya hingga mata kami bertemu.
"Om bilang apa?" Matanya membinar lucu.
Tangan kananku meraih wajahnya dan mengusapnya pelan, "Bagaimana kalau aku mau mengajakmu kesana walaupun kita sesama pria?"
Kali ini giliran Johee yang terkejut. Bahkan bibirnya tak lagi terkatup dan bergetar hebat.
Kudekatkan bibirku ke telinganya untuk membisikkan sesuatu, "Aku hanya ingin bersamamu. Jadi kau tidak perlu khawatir."
Blush!
Wajahnya merah sempurna dari pucuk kepala hingga ke leher jenjangnya. Tangannya terkepal imut didepan dada.
Mataku membulat melihat pemandangan ini. Kubalikkan badanku agar tidak terjadi hal yang 'tidak diinginkan'.
Sialan.
.
.
.To be continued ✨✨✨
Finally, author bisa up chapter ini walaupun radak cringe. Anyway janlup vote, share, dan follow yakks.
Babai~
KAMU SEDANG MEMBACA
100 days in Europe
عاطفيةKisah ini hanya menceritakan seorang CEO yang baru saja putus cinta setelah ditinggalkan oleh tunangannya bertemu dengan anak SMA tak tahu diri di salah satu gerbong kereta yang akan membawa mereka kepada perjalanan yang penuh dengan keajaiban. War...