Angin berhembus kencang menerbangkan daun dan pepohonan. Sesekali cahaya kilat nampak terlihat di cakrawala.
Malam ini, bulan dan bintang tak terlihat seperti biasanya. Hanya ada awan mendung serta langit yang lebih gelap dibandingkan biasanya.
Tirai jendela kamar berkibar membuat seorang perempuan yang baru keluar dari kamar mandi mengerutkan kening. Padahal, seingatnya dia sudah menutup jendela kamarnya lantas kenapa bisa terbuka begitu saja?
Perempuan itu—Hera melangkahkan kakinya ke arah balkon. Dia melongokkan kepalanya untuk menatap ke arah sekitar.
"Kayaknya bakalan ada badai. Mana sepi banget," gumam Hera.
Dengan cepat dia menutup kembali jendela tak lupa menguncinya.
TOK TOK TOK!
"Nak, kamu di dalam?"
"Aku di dalam, Ma! Masuk aja pintunya nggak Hera kunci kok," sahut Hera.
Ceklek
Pintu itu perlahan-lahan terbuka menampakkan seorang wanita paruh baya yang masih saja terlihat cantik diusinya yang memasuki akhir kepala tiga.
"Kamu udah makan, Ra?" tanya Eve—Mama Hera.
"Udah, Ma."
"Kayaknya mau hujan lebat deh. Ponsel kamu udah di matiin 'kan? Jangan main ponsel kalau ada petir," peringat Eve.
"Iya-iyaa, Ma, udah aku matiin sekaligus aku mode pesawat biar bisa terbang sekalian," canda Hera.
"Ck, kamu ini. Mama kan cuma ngingetin soalnya kamu kalau dibilangin ngeyel mulu. Emang kamu mau kek Pak Dedi yang kesamber petir gara-gara main ponsel pas lagi hujan lebat?" omel Eve.
"Nggak, Ma. Ya tuhan." Hera memejamkan matanya merasa sebal. Sungguh, ibunya ini benar-benar sangat cerewet! Dia itu sudah besar, sudah tujuh belas tahun. Bukan anak kecil yang harus dinasehati dulu ini itu.
Ah, mungkin ini adalah faktor dirinya yang anak tunggal. Karena hal itulah orang tuanya yang protektif kepadanya. Apalagi, ditambah dengan dia yang memiliki penyakit bawaan sejak kecil.
"Mana Papa lagi ada acara kumpul-kumpul RT. Moga aja Papa inget pulang hujan lebat begini," ucap Eve. "Kalau gitu Mama ke bawah dulu, nunggu Papa. Nanti kalau hujannya tambah lebat kamu nyusul aja, ya. Mama khawatir kalau kamu sendirian di sini."
"Oke, Ma. Nanti aku nyusul deh ke bawah," ujar Hera.
Setelah itu, Eve segera beranjak keluar dari kamar putrinya, meninggalkan Hera yang sudah bersiap-siap ingin tidur.
"Aduh, serem banget hujannya," gumam Hera sambil menarik selimut sampai batas dadanya.
Maniknya menatap ke arah jendela yang menampilkan cahaya kilat. Dan, suaranya saling bersahut-sahutan, keras sekali.
"Ya tuhan, mana dada gue sakit banget. Harusnya tadi bilang sama Mama, ya," bisik Hera lirih. Dia dengan susah payah menarik nafasnya.
JEDERRR!!!
"YA TUHANNNN!!!!" jerit Hera bersamaan dengan suara petir yang terdengar sangat keras.
Jantung Hera berdegup kencang, dia benar-benar sangat takut sekarang. Nafasnya mulai terengah-engah dengan keringat dingin yang mulai muncul di pelipisnya.
Tangannya terulur ke arah nakas yang tepat berada di samping ranjang, mencari-cari keberadaan inhaler yang senantiasa berada didekatnya. Namun, setelah beberapa menit mencari benda itu tak dapat dia temukan.
"Hosh ... hosh. M-ma ... Mama," panggil Hera lirih.
Karena tak mendapatkan sahutan dari sang ibu, Hera mencoba bangkit dari ranjangnya. Dengan kaki yang gemetaran Hera melangkah ke arah meja rias.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloom Bloom Heart
FantasyMenderita penyakit bawaan sejak kecil tak pernah membuat seorang Hera pantang semangat. Dia selalu ceria dan berusaha mewujudkan apapun keinginannya. Namun, ternyata penyakitnya harus membuat dia menyerah. Saat dia mengira dia sudah berada di surga...