"Tuan Muda ingin sarapan apa hari ini?" tanya Bibi Neni—salah satu pelayan yang sudah bekerja cukup lama di keluarga Prawiranegara. Erlangga tak tahu sejak kapan, seingatnya ada beberapa kenangan yang terselip diingatannya saat kecil ada Bi Neni.
"Aku hanya ingin french toast, Bi. Siapkan saja itu untukku. Oh iya, aku juga ingin susu almond," pinta Erlangga.
"Baik akan Bibi siapkan. Tuan muda silahkan tunggu sebentar," ujar Bi Neni.
Erlangga menyampirkan ransel yang sedari tadi dia gendong ke kursi. Tangan-nya dia gunakan untuk menarik kursi yang terletak di meja makan besar yang cukup untuk lebih dari 6 orang. Namun, kenyataannya sejak ayah dan bundanya sering bertengkar yang diakhiri dengan kepergian bundanya—Erlangga selalu sarapan dan duduk di meja besar ini sendirian.
Diam-diam dia berdecih sinis, untuk apa semua kemewahan ini dia dapatkan jika tak secuil pun kebahagian yang dia terima? Bahkan hal seremeh kasih sayang pun, Erlangga harus mengemis-ngemis.
"Ini Tuan Muda." Bi Neni mengangsurkan sepiring french toast yang diberi toping blueberry dan potongan strawberry di atasnya. Tak lupa dengan segelas susu almond pesanannya.
"Terima kasih, Bi."
"Sama-sama, Tuan Muda. Sudah kewajiban saya menyiapkan ini semua," balas Bi Neni.
Erlangga mengambil pisau dan garpu. Memotong roti itu dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Om Ray belum datang ke sini?" tanya Erlangga seiring dengan kunyahannya.
"Pak Ray sudah datang sejak beberapa menit yang lalu, Tuan Muda. Mungkin sekarang beliau sedang berada di ruang kerja Tuan Besar. Namun, tadi saat saya bertemu dengan Pak Ray beliau menitipkan pesan kepada saya kalau anda dilarang berangkat terlebih dahulu. Anda harus berangkat dengan Nona Dara," ucap Bi Neni.
Erlangga menaruh pisau dan garpu di atas piring. Suasana hatinya tiba-tiba saja memburuk, membuat dia menjadi malas untuk melanjutkan makannya lagi.
Tangan-nya menggapai segelas susu almond dan meneguknya hingga tandas."Aku ingin menemui Om Ray terlebih dahulu. Sekali lagi terima kasih untuk sarapannya, Bibi," kata Erlangga.
Lalu, tanpa menunggu balasan dari Bi Neni, bocah laki-laki itu langsung beranjak menuju ke ruang kerja sang ayah. Seperti dugaan, Om Ray memang sedang berada di sana. Kemeja berwarna merah maroon dia lipat hingga sebatas siku. Rambutnya hitam klimis dengan kacamata yang selalu menghiasi manik matanya.
"Om," panggil Erlangga.
"Oh, selamat pagi, Tuan Muda. Bagaimana tidur anda?" sapa Om Ray.
"Aku tak menginginkan basa-basi mu, Om Ray," peringat Erlangga. Matanya memicing tajam.
"Oho, baiklah. Ada apa Tuan Muda mencari saya? Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya Om Ray.
Erlangga mendengus, dia berjalan beberapa langkah agar lebih dekat ke arah tangan kanan Ayahnya. "Apa benar apa yang dikatakan Bi Neni, jika aku dilarang berangkat ke sekolah jika aku tak bersama anak selingkuhan ayah?" tanyanya.
Ah, Om Ray paham apa yang sedari tadi mengganjal di hati bocah laki-laki ini.
"Benar, Tuan Muda. Ayah anda kemarin memberikan pesan seperti itu kepada saya. Selain itu, hari ini adalah hari pertama Nona Dara bersekolah, jadi—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bloom Bloom Heart
FantasyMenderita penyakit bawaan sejak kecil tak pernah membuat seorang Hera pantang semangat. Dia selalu ceria dan berusaha mewujudkan apapun keinginannya. Namun, ternyata penyakitnya harus membuat dia menyerah. Saat dia mengira dia sudah berada di surga...