Prolog

412 28 13
                                    

Mobil Terios putih memasuki pekarangan rumah minimalis bernuansa putih dan hitam setelah seorang satpam membukakan pagar untuk pengendara mobil tersebut.

Setelah terparkir cukup rapi, Sang Pengendara mobil itu keluar dengan menenteng ponsel dan tablet di tangan kirinya.

"Pak Samin, minta tolong nanti kalo hujan, mobilnya ditutup jas hujan."

"Siap, Mas." jawab seorang Satpam bernama Samin.

Langkah tegap Sang pemilik mobil Terios putih itu memasuki rumah minimalis dengan gerakan lambat. Mengendap layaknya pencuri yang menginginkan harta mewah di dalamnya, namun dia bukan pencuri, sebab langkahnya menuju kearah dapur yang terdapat seorang perempuan yang tengah menggoreng sesuatu, perempuan itu terlihat sedikit berbeda dengan berbalut jubah hijau pupus dengan poles riasan hingga kerutan di wajahnya sedikut tertutup.

"Pagi, Ma!"

"Astaghfirullah!" Mata perempuan berbalut jubah hijau itu tertutup rapat sembari menahan rasa terkejutnya. Tangannya naik menyentuh dada untuk merasakan jantungnya yang bekerja lebih cepat.

"Wa'alaikumsalam, Aldan. Mama itu heran kamu itu anak siapa sih? masuk rumah bukannya salam, asal masuk aja. Mama gak pernah tuh ngajarin kamu masuk rumah gak pake salam." Omel Perempuan berjubah hijau yang merupakan Ibu dari seorang pengemudi Terios putih, Aldan.

"Kok rapi banget? Aldan mau dapet ayah baru?" tanya Aldan santai sambil menuangkan air putih kedalam gelas. Mendengar pertanyaan nyeleneh dari Sang Putra membuat Ibu dari 2 anak itu melotot tajam ke arah anak pertamanya.

Aldan tak menghiraukan tatapan tajam itu dan melanjutkan kegiatannya menegak segelas air yang dia tuang. Tatapan itu kini semakin tajam, Aldan menghentikan kegiatannya tiba-tiba karena rasanya air yang meluncur di mulutnya sulit mengalir ke arah kerongkongan.

"Iya, iya ampun, Nyonya Gandi." ucap Aldan setelah berhasil menelan air putih di mulutnya dengan kesusahan.

"Bentar lagi ada arisan bulanan, jam 9 Ibu-ibu udah datang, Mama gak mau kamu muncul di depan Ibu-ibu arisan dan bakal di cecar soal jodoh."

"Siap, Nyonya Gandi. " ucap Aldan sambil menunjukkan posisi duduk siap kemudian mencomot sebuah paha ayam yang baru saja di goreng.

Melihat tingkah Sang Putra pertama pecinta paha ayam itu merasa bersedih hatinya. Sudah dapat di pastikan bahwa putranya itu jarang mengkonsumsi paha ayam karena tidak bisa mengolahnya sendiri. Jika sudah seperti ini, Ibunya hanya bisa berandai-andai jika putranya bisa ditemani perempuan cantik di sampingnya setiap saat.

"Kamu itu cari pasangan, Aldan. Kalo setiap weekend kesini, kapan dapat jodohnya?" ucap Ibu Santika, Ibu Aldan. Aldan yang di ajak bicara hanya melirik sejenak kemudian mengubah tempo mengunyah menjadi lebih lambat. Hilang sudah napsu makannya.

Aldan meletakkan sepotong paha ayam yang baru berkurang sedikit itu di atas piring di hadapannya. Kini tubuh dan matanya mengarah sepenuhnya kepada Sang Ibu.

"Aldan kesini mau ngapelin pacar pertama sama pacar kedua." ucap Aldan serius. Raut wajah Si Lawan bicara berubah berbinar.

"Dua?" tanya Si Lawan bicara dan di angguki oleh Aldan.

"Siapa?" tanyanya lagi antusias.

"Mama sama Nira." jawab Aldan dengan santai. Santika yang kesal dengan jawaban Aldan akhirnya meraup wajah Sang Putra dengan kesal.

"Itu bukan pacar, Mas." ucap Santika dengan kesal, sedangkan Aldan tertawa puas.

Tok..tok..tok..

Suara ketukan pintu hentikan tawa Aldan. Mendadak raut wajah Aldan berubah menjadi tegang, sudah di pastikan musuh yang paling sulit di taklukan telah tiba, siapa lagi kalau bukan 'Ibu-ibu arisan'.

KHITBAH KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang