Bab 1 : Serangan Malam

43 5 2
                                    

Dimana bintang-bintang telah menghiasi langit malam, dan para makhluk diurnal yang sedang tertidur lelap. Disanalah, di salah satu teras rumah pohon Desa Vinyanmar. Berdiri seorang pria kurus; bertelinga lancip dan rambutnya yang pirang terang dipotong pendek, yang dengan gelisah sedang mengetuk pintu dari rumah pohon itu.

Ditengah sunyinya malam, suara ketukan pintu terasa sangat menggelegar. Menskipun begitu sang pemilik rumah tak kunjung muncul membuat si lelaki tersebut merasa kesal dan gemas.
"Akkh bagaimana ini"
"Celeste, Celeste!!" teriak pria itu sembari terus mengetuk pintu.

Brakk

Pintu itu terbuka dengan sedikit kasar. Menampilkan seorang wanita cantik, rambut panjang bergelombang dengan warna rambut yang sama dengan pria yang ada di depannya itu, terlihat berantakan. Wanita tersebut merasa sedikit kesal tidurnya terganggu, namun kekesalannya itu berubah menjadi heran dan terkejut melihat raut pria yang didepannya sangat panik.

"Damdir?!", ucap Celeste,"Masuk."
Wanita tersebut melangkah ke samping, memberi ruang untuk mempersilahkan tamu yang tak diundangnya untuk masuk ke dalam rumah.

"Nétha (sister), Kita diserang!!" kata Damdir yang masih berdiri di tempatnya.

"Man (apa)?!" ucap Celeste yang terkejut atas pernyataan Damdir

"Penyihir putih. Dia menyerang pos perbatasan hutan. Bersiaplah !!" Kata Damdir dengan panik sembari menerobos masuk kedalam rumah.

"Ego (Sh*t)!" Caleste merutuki keadaan sembari berlari dengan tergesa-gesa menuju kamarnya untuk berganti pakaian.

"Aku akan membangunkan Ana!" ucap Damdir yang sedikit berteriak agar Celeste dapat mendengarnya. Kemudian Damdir bergegas menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamar keponakan satu-satunya, Aeliana, berada.

Damdir menerobos masuk pintu kamar Aeliana yang untungnya tidak terkunci. Lalu dengan tergesa-gesa dia menghampiri anak perempuan berambut coklat yang sedang asik tertidur itu. Damdir menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat Aeliana yang sangat berantakan ketika sedang tertidur.

"Á cuita (bangun). Ana", meskipun sedang panik Damdir berusaha membangunkan Aeliana setenang mungkin.

Aeliana tersadar dan membuka matanya perlahan ketika beberapa kali merasa bahunya ditepuk oleh seseorang. Matanya langsung menangkap gambar siluet seorang pria yang membangunkannya itu. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali karena netranya perlu penyesuaian di dalam konsidi kamarnya yang minim pencahayaan karena hanya mendapatkan penerangan dari pintu kamar yang terbuka.

"Ayo, kita harus bersiap", ucap Damdir

Aeliana sangat mengenali pemilik suara tenor itu. "Paman?".

Cling Cling Srak Cling

Sedetik kemudian, mulai terdengar dentingan logam beradu. Dengan cepat Damdir menghampiri jendela yang ada di kamar, menyibakan sedikit gorden biru yang menutupi jendela itu agar dapat mengintip keadaan di luar. Tubuh Damdir seketika menegang dan warna mukanya memucat saat melihat keadaan diluar yang kacau.

Damdir melihat para kaum adfil beserta pasukan penyihir putih sedang beradu pedang di depan pintu masuk desa. Para penduduk berhamburan menuruni rumah pohonnya. Wanita dan anak-anak berusaha kabur mencari tempat yang aman. Para pria dan wanita ada yang berlari ke garda depan, membantu para elven lainnya menghadang pasukan penyihir putih.

Damdir melihat Vander, sang kepala desa, sedang kewalahan bertarung dengan dua Goblin yang mengepungnya. Damdir menutup kembali jendela itu dengan tangan yang gemetar.

"Sy telir (mereka datang)" bisik Damdir.

Aeliana menyadari pamannya yang lengkap menggunakan baju zirah kaum elven yang berlapis kulit berwarna coklat. Dan juga pedang yang bertengger di punggungnya. Ditambah suara ribut yang tiba-tiba datang menggantikan sunyinya malam. Ada apa ini?, batin Aeliana.

The Last PeverellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang