Bab 2 : Little Girl

30 6 4
                                    

Meskipun ada Aeliana yang sekarang sedang bertengger di punggungnya, itu tidak menghalangi langkah kaki Damdir untuk terus bergerak secepat yang ia bisa. Melompat dari satu batang pohon ke batang pohon lainnya. Langkah Damdir terus membawa mereka ke atas, ke dahan pohon tertinggi. Berusaha bersembunyi di tengah lebatnya dedaunan, dengan harapan para pasukan Jadis, si penyihir putih, tidak akan menyadari kepergian mereka.

Sementara itu, Aeliana sedang menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Damdir. Memejamkan matanya agar tidak tergoda untuk terus melihat kekejaman yang sedang berlangsung dibawah sana. Meskipun matanya sudah terpejam, bayang-bayang kejadian yang baru saja dilihatnya terus terulang: sesosok Minotaur besar yang berhasil menebas leher dari seorang Elven dewasa.

Tentu Aeliana mengenali sosok Elven yang malang itu, Gilvas namanya. Dia beberapa kali melihatnya berdiri dibelakang Vander. Mendampingi sang kepala desa dalam pertemuan penting yang diadakan di alun-alun Vinyanmar. Dan dia juga beberapa kali melihatnya berjalan kesana kemari sembari membawa setumpuk perkamen ataupun buku-buku yang tebal.

Aeliana merasa mual ketika kilas balik kejadian itu terus terulang di pikirannya. Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat. Namun dia mengingatnya secara detail.  Bagaimana pedang berukuran besar milik sang Minotaur membentur dan mengiris bagian depan leher Gilvas, hingga dimana urat nadi berada. Dan dikarenakan suasana malam yang minim pencahayaan, kulit leher yang teriris itu seketika menyemburkan darah segar berwarna merah gelap- hampir hitam.

Perasaan yang tidak mengenakan itu menguasai diri Aeliana. Dia bahkan terlalu syok untuk dapat menangis sekarang. Dia mengeratkan pelukannya di leher Damdir, seolah menyalurkan perasaannya yang bahkan sulit untuk dia jabarkan.

"Bertahanlah" ucap Damdir yang memahami perasaan yang sedang dirasakan oleh keponakannya itu.

Damdir secepat mungkin membawa Aeliana menjauhi Vinyanmar. Terus bergerak, semakin lama semakin jauh kaki Damdir membawa mereka masuk ke wilayah paling dalam dari hutan Shuddering. Hingga akhirnya mereka sampai dimana pohon-pohon tumbuh dengan ukuran dua kali lipat lebih besar dari pohon yang tumbuh di Vinyanmar. Di saat itulah Damdir memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Sampai kapan kita berlari?" tanya Aeliana sembari menghampiri pamannya yang tengah duduk di salah satu dahan tertinggi dari pohon raksasa itu.

"Hingga keadaan aman. Yeaah, mungkin kita harus sering berpindah-pindah sekarang" kata Damdir sembari meneguk air dari qirbah* miliknya.
Berpindah-pindah?, batin Aeliana.

"Kita tidak akan kembali?, bagaimana dengan amme?!" ucap Aeliana sembari duduk disamping Damdir. Rasa khawatir sontak memenuhi dirinya. Damdir menatap mata Aeliana yang sudah berlinang itu. Tangannya yang sedang bebas mengusap lembut bahu Aeliana untuk menenangkannya.

"Hei hei, Amme-mu, dia seorang Elven yang tangguh, bahkan Valar* mengakui itu, kau tahu?. Jadi, jangan terlalu khawatir venci (gadis kecil)." Kata Damdir dengan nada yang sedikit mengejek di akhir perkataannya.

"Aku bukan... Ku mohon, aku ini sudah dua puluh tahun Damdir!!" ucap Aeliana yang tidak terima dengan panggilan yang diberikan oleh pamannya yang menyebalkan itu. Damdir menyodorkan qirbahnya kepada Aeliana, yang langsung diambil dengan sedikit kasar oleh tangan kecil dari keponakannya itu.

"Kau bukan manusia, tidak sepenuhnya. Untuk Elven kau itu venci, yaa... Venci. Disamping itu jika dilihat dari tubuhmu....." Ucap Damdir, tidak menyelesaikan kalimatnya. Matanya mengamati Aeliana dari atas kepala hingga kebawah, dengan sorot mata yang malas.

Aeliana menatap pamannya itu dengan kesal lalu berkata, "Man (apa)?!"
"Bagi manusia kau hanya anak berumur sebelas tahun." Ucap Damdir melanjutkan perkataannya barusan. Dia tertawa saat melihat wajah keponakannya itu yang semakin ditekuk.

"Damdir.", ucap Aeliana, "Bagaimana rasanya tinggal di Aman?" lanjut Aeliana, mengalihkan pembicaraan.

"Hmm?." Damdir sedikit heran dengan topik pembicaraan yang disuguhkan oleh gadis kecil yang duduk disampingnya itu. Dia mengalihkan pandangannya ke arah ranting dan dedaunan yang ada di hadapannya. Memerhatikan setiap detail permukaan daun sembari mengingat-ingat kehidupannya di masa lampau.

"Disana sangatlah indah dan juga damai." Ucap Damdir, lalu senyuman yang sarat akan kerinduan muncul di wajahnya. Aeliana ikut tersenyum saat melihat ekspresi pamannya.

"Aku ingin melihatnya, Aman." Ucap Aeliana.

"jika keadaan tidak membaik, kita akan mencari jalan untuk kembali ke Aman. Setelah itu kita bisa tinggal disana selamanya". Ucap Damdir yang senyumannya kini kian melebar.

"Ah, dan aku akan mengenalkanmu ke pada salah satu Valar* yang paling keren." Lanjut Damdir


Catatan Kaki

*Qirbah : Tempat air minum yang terbuat dari kulit (biasanya terbuat dari kulit sapi).

*Valar : Makhluk abadi yang membentuk dan memimpin dunia. Mereka sering disebut sebagai Dewa dan Dewi oleh manusia (contoh seperti Dewa dan Dewi Yunani Kuno).

The Last PeverellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang