5. Red|紅

50 6 0
                                    


With Red by Taylor Swift

Kafe itu tak begitu ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kafe itu tak begitu ramai. Sangat nyaman, ditambah dengan alunan musik yang tidak terlalu nyaring, pun tidak terlalu kecil untuk bisa dinikmati pengunjung.

Kau masih duduk di salah satu meja yang berada di dekat dinding kaca. Buku menu terbuka lebar menunggu kau baca sementara pikiranmu melayang menanyakan mengapa kau kembali ke tempat ini.

Padahal semuanya sudah berakhir lima tahun yang lalu.

Loving him is like driving a new Maserati down a dead-end street

Faster than the wind passionate as sin ending so suddenly

Loving him is like trying to change your mind 

once you're already flying through the free fall

Like the colors in autumn, so bright

Just before they lose it all

Entah hanya perasaanmu saja, atau kau yang benar-benar merasa dirimu begitu melankolis hingga lagu yang terputar di kafe pun terasa merepresentasikan perasaanmu sendiri.

Lima tahun yang lalu pun kalian kemari. Menikmati secangkir kopi dan berbincang tenang dengan hasil, sebuah perpisahan.

Kau tidak ingin mengingat apa yang membuat kalian memutuskan sedemikian rupa. Karena kau pula yang paling tahu, dengan mengingatnya, keinginan untuk memiliki pemuda itu lagi akan terus membuncah hingga membuatmu rongga dadamu terasa sesak.

Losing him was blue like I'd never known

Missing him was dark grey, all alone

Forgetting him was like trying to know somebody you never met

But loving him was red

Perasaanmu pada pemuda itu adalah sebuah renjana. Yang tak hilang dilekang waktu, dan terus mengapung oleh dibayangi penyesalan. Padahal kau sudah memutuskan bahwa mencintainya adalah sebuah kesalahan. Karena pemuda itu tak memberikan cinta dengan porsi yang sama seperti yang telah kau berikan.

Kalau salah satu definisi cinta adalah memberi dan menerima, maka kau ragu kalau Atsumu, pemuda yang kau cintai itu benar-benar menaruh perasaan bernama cinta itu padamu.

Touching him was like

Realizing all you ever wanted was right there in front of you

Memorizing him was as

Easy as knowing all the words to your old favorite song

Fighting with him was like

Trying to solve a crossword and realizing there's no right answer

Regretting him was like

Wishing you never found out that love could be that strong

Kau menutup buku menu secepat mungkin. Bukan waktu tepat untuk bersantai menikmati kopi maupun kudapan di sini, sementara luka dalam hatimu mulai kembali terbuka. Kau harus pergi.

Kau tidak boleh terus terbelenggu memori, karena tidak ada dia pun kau sendiri tak membutuhkannya.

Kau bersiap untuk beranjak sesaat sebelum ponselmu bergetar mengindikasi sebuah panggilan masuk, yang hanya dengan melihat identitas penelponnya saja sudah membuat kedua matamu membulat.

Atsumu?

Apakah ini sebuah kebetulan?

Kau memperbaiki posisi dudukmu senyaman mungkin sebelum mengangkat panggilan itu dengan gusar.

“Heiー”

“Ya?”

“Aku merindukanmu. Sampai kapan kau akan mengujiku seperti ini?”

Rasa sesak itu kembali datang. Kali ini dengan intensitas yang lebih tinggi, hingga kau tidak tahu harus menjawab apa.

“Aku di belakangmu.”

Kalimat itu membuatmu spontan berbalik, hingga kau menemukan sosok yang terakhir kau temui lima tahun yang lalu itu dengan versi lebih tenang dan dewasa.

“Apa kabar?” Sapanya sembari menutup telepon. Senyum tipis terulas pada bibirnya. Membuat rindumu yang tertahan terasa membuncah.

Satu yang kemudian kau sadari.

Bahwa bagaimanapun juga, sebuah hubungan adalah komunikasi dua arah dari dua orang yang berbeda. Seberapa detil seseorang mengenal pasangannya, dan sejeli apapun mereka, tidak menjadi jaminan bahwa ia bisa mengerti apa yang pasangannya pikirkan. Selama ini, kau selalu menunggu hingga pemuda itu mengerti akan apa yang kau inginkan seolah telepati adalah hal yang lazim dalam hubungan kalian berdua. Namun itu salah.

“Mau ngobrol sebentar?” Tawarnya.

Kau mengangguk, mencoba tetap tenang meskipun gemuruh berputar di dadamu. Sementara pria pirang itu bangkit, lalu pindah ke kursi di depanmu.

Remembering him comes in flashbacks

And echoes

Tell myself it's time now

Gotta let go

But moving on from him is impossible

When I still see it all in my head

In burning red

Burning it was red

****

[Antology] a Haikyuu!! Fanfiction |𝙏𝙤𝙠𝙞-𝙤𝙧𝙞|Miya Atsumu x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang