Akibat kehebohan yang terjadi siang itu, Pak Jamal sampai harus turun tangan. Ia meninggalkan pekerjaannya di kantor desa dan bergerak ke lokasi kejadian. Begitu dirinya sampai di rumah Nina, Ranti sedang duduk di ruang tamu sambil merapikan sanggulnya yang dirusak oleh Kakek Adi tadi. Di sampingnya, Nina duduk menemani.
Pak Jamal datang dan mengucap salam kepada beberapa warga yang masih terlihat di sekitar rumah. Pria berkumis tegas itu melepas alas kaki dan langsung masuk ke dalam. “Ranti?” panggilnya terus melangkah menuju pintu.
“Mas,” balas Ranti memanggil dengan lemas.
Pak Jamal menghela nafas saat melihat wajah sang istri yang masih lembab dengan air mata. Tatapannya lesu dan tanpa semangat. Buru-buru ia mendekat dan duduk di sampingnya. Tanpa disuruh, Nina langsung menuang segelas teh tawar ke gelas dan memberikannya kepada Pak Jamal.
“Kamu gak apa-apa? Gimana ceritanya bisa kaya gini?” tanya Pak Jamal yang mulai khawatir.
Ranti menggelengkan kepala pelan. “Gak tau, aku gak tau,” jawabnya sambil menunduk.
“Pak Kades, sebenarnya ada apa ini? Kenapa orang tua itu keliatan marah banget sama Mbak Ranti. Padahal kita lagi santai lho, gak usik dia,” tanya Nina penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, reflek mata Pak Jamal dan Ranti saling menatap satu sama lain. Tatapan mata Ranti seakan mengisyaratkan sesuatu. Seolah sudah tahu, Pak Jamal langsung memalingkan wajah ke arah Nina. “Hmm, begini.” Ia berhenti bicara, sesaat berpikir dan mengingat-ingat kejadian di masa lampau.
“Dia itu kena gangguan jiwa setelah ditinggal mati oleh anaknya.” Pak Jamal memulai cerita. “Namanya Pak Adi atau Kakek Adi kita panggil. Anak laki-lakinya dulunya menyukai Ranti, istri saya. Tapi, Ranti gak menyukainya. Alhasil, ketika Ranti memilih menikah dengan saya, anak Kakek Adi itu depresi bukan main. Sampai akhirnya meninggal gantung diri di pohon waru. Itulah mengapa Kakek Adi begitu dendam dengan Ranti,” tutur Pak Jamal menjelaskan.
Nina mengangguk sambil menatap ke arah lain. “Begitu ya.”
“Iya, Nina. Sampai sekarang dia menyalahkan Ranti atas kematian anaknya. Miris sekali, istri saya harus jadi korban,” ucap Pak Jamal sambil menggelengkan kepala. “Ngomong-ngomong di mana dia? Kakek itu?” tanyanya.
“Dibawa ke rumahnya sama warga,” jawab Nina.
Pak Jamal mengangguk. Ia beralih menatap istrinya, dengan lembut tangannya mengelus punggung Ranti. “Udah, tenangkan dirimu. Jangan pikir macam-macam. Ya,” ucap Pak Jamal menenangkan istrinya. Setelah itu ia berdiri dari posisinya.
“Nina, maaf ngerepotin. Niatnya Ranti yang mau temenin kamu, tapi malah dia yang kena.” Pak Jamal tertawa kecil saat berkata begitu. Nina mengangguk sambil ikut tertawa. “Saya mau pergi liat Kakek Adi. Saya titip Ranti ya,” kata Pak Jamal.
“Baik, Pak,” jawab Nina singkat. Setelah
Pak Jamal segera beranjak pergi. Ia berjalan ke luar dan meninggalkan rumah. Di tengah cuaca terik itu, dirinya melangkah melewati sawah-sawah warga. Menuju ke sebuah rumah anyaman bambu yang kecil dan hampir roboh. Posisinya ada di pinggir sawah. Dan dari kejauhan sudah terlihat beberapa warga tengah berdiri di depan rumah tersebut.“Permisi,” ucap Pak Jamal saat sampai di depan rumah dan berpapasan dengan warga.
“Iya, silahkan, Pak,” balas salah satu warga.
“Kakek ada di dalam?” tanyanya.
“Ada, Pak.”
Setelah itu, Pak Jamal membuka pintu perlahan. Pintu bambu yang sudah reyot di makan rayap, menghasilkan bunyi berdecit saat di buka. Cahaya matahari masuk melalui pintu, sedikit menerangi ruangan dalam yang gelap.
Saat dirinya masuk, ia melihat Kakek Adi sedang duduk di atas tikar bambu. Tangan dan kakinya diikat oleh warga menggunakan tali tambang yang tebal dan kuat. Sehingga orang tua itu tak bisa memberontak.
Mata mereka saling bertemu. Kakek Adi langsung marah dan menatap tajam ke arah tamunya. Sementara Pak Jamal membalas tatapan Kakek itu dengan sebuah ekspresi dingin dan datar. Perlahan Pak Jamal berjalan mendekat, tak lupa ia menutup pintu terlebih dahulu.
“Bajingan! Ngapain kamu ke sini?! Kades jahat, iblis!” bentak Kakek Adi saat menatap Pak Jamal yang berdiri tepat di depannya.
Kakek Adi terus memberontak, mencoba lepas dari tali yang mengikat kuat dirinya. Matanya melotot, wajahnya memerah. Mulutnya siap untuk mengumpat kembali. “Mati saja kamu, Jamal! Kamu pembunuh! Kamu dan istrimu harus dihukum! Aku tahu kebusukan kalian, kalian harus mati! Karena kalian yang telah—“
Bukk!
Pak Jamal tanpa ragu menendang wajah Kakek Adi dengan keras, sehingga kalimatnya terpotong. Kakek Adi pun tersungkur tak berdaya di lantai tanah yang berlapiskan tikar. Nafasnya terengah-engah, luka memar pun tampak di pipinya.
Pak Jamal lalu berjongkok di depan pria tua malang itu. Ia tatap datar Kakek Adi yang tengah kesakitan. “Dengar, aku gak main-main. Kalau kamu masih berani ganggu istri saya, dan mengusik semua rencana saya. Maka saya tak akan segan-segan, kamu tahu konsekuensinya!” ancam Pak Jamal.
“Apa konsekuensinya? Apa aku akan dibunuh? Bunuh saja, aku sudah tua. Tak masalah kalau aku mati untuk kebenaran,” kata Kakek Jamal dengan suara lemah.
“Bukan, bukan kematian. Aku tak akan bunuh kamu,” jawab Pak Jamal. “Ada yang lebih menyakitkan ketimbang dibunuh. Kamu akan tahu nanti,” tambahnya.
Setelah itu Pak Jamal kembali berdiri, berbalik badan dan mulai melangkah pergi. Meski sudah dihajar, Kakek Adi belum puas mengumpat. “Bajingan! Kades Bangsat!” teriaknya yang terus mengeluarkan kata-kata kasar. Pak Jamal mengabaikannya, ia buka pintu sehingga cahaya masuk menerpa wajah Kakek Adi sesaat. Pintu ditutup dan suasana pun kembali gelap.
***
Saat petang tiba, seperti biasa Abbas baru pulang. Bersamaan dengan Pak Jamal yang juga datang untuk menjemput Ranti. Kedua pasangan itu sempat bertemu, berbincang sebentar sampai akhirnya azan magrib membuat mereka berpisah. Pak Jamal pulang membawa sang istri, sementara Jamal masuk ke dalam rumahnya.
Malam harinya, setelah selesai dengan semua pekerjaan rumah. Nina duduk di sofa bersama Abbas sambil menikmati setoples cemilan ringan. Di sana, ia menceritakan pada Abbas tentang semua yang terjadi siang tadi. Abbas merasa geram dan kesal mendengar cerita soal Kakek Adi.
“Tapi kamu gak apa-apa?” tanya Abbas.
Nina menggeleng. “Enggak, cuma Mbak Ranti aja jadi korban,” jawab Nina.Abbas menghela nafas. “Kasihan juga dia,” kata Abbas. “Tapi soal masa lalu Kakek Adi. Cukup kelam juga, sampai akhirnya ia menjadi seperti sekarang. Tapi dia tak bisa menyalahkan Ranti atas semua yang telah terjadi,” tambahnya.
Nina mengangguk setuju. “Tapi mau bagaimana lagi? Aku agak takut, gimana kalau nanti Mbak Ranti jadi gak mau temenin aku lagi,” kata Nina.
“Tenang aja, nanti aku cari solusi kalau Mbak Ranti kapok ke sini.” Abbas lalu beralih dan mengelus perut Nina.
“Jangan banyak pikiran, beberapa minggu lagi kamu akan melahirkan. Gak sabar lihat dia lahir,” ucap Abbas dengan begitu antusias.
Nina tersenyum lebar. “Iya,” jawabnya.
Setelah puas bercerita, keduanya memilih masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Abbas masuk lebih dulu, sementara Nina merapikan meja sebentar. Saat sedang merapikan meja, Nina kembali mencium wangi itu. Wangi bunga melati yang entah dari mana asalnya. Ia melihat sekitar, tidak ada apa-apa. Tidak ada melati di sini.
Tapi pada akhirnya, ia masih berpikir positif. Buru- buru ia masuk ke dalam kamar dan bergabung bersama suaminya untuk mengistirahatkan diri.
.
.
.Masalah apa yang ada di antara Kakek Adi dan Pak Jamal? Ada sesuatu yang mereka sembunyikan, simak terus kelanjutannya untuk mengetahui misteri apa yang ada dibalik sikap aneh Kakek Adi. 💀
Tunggu kelanjutannya ya!
Vote dan komen dong kk :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Kuntilanak (SUDAH TERBIT)
HororSejak pindah ke rumah baru di desa, hal-hal aneh mulai menimpa Abbas dan istrinya Nina yang sedang mengandung. Gangguan demi gangguan menimpa mereka. Dan tanpa disadari, ada bahaya yang mengintai dari pohon beringin besar di samping rumah. Bahaya y...