4. Cold (II)

3.8K 134 4
                                    

27/06/22: check my profile for Cold chap 14 sneak peak.

⚠️Content Warning
Bab ini mengandung : Cerita dewasa (18+)

Jadilah pembaca yang bijak.
Karya ini hanya merupakan fiksi belaka.
Jangan jadikan acuan untuk dunia nyata.

Best regards, @rosieflute2.
——————————————————

Minggu, 25 Maret 2017

"Hai, manis."

Dexter menyusuri pinggangku dengan tangannya, membuatku tidak nyaman. Jujur, aku tidak suka dengan perawakannya. Rambutnya cokelat abu, tangannya berurat, dan suaranya terlalu serak, membuat dia nampak lebih tua dari sebenarnya.

Tidak seperti...

"Jadi kau mainan baru Little Louie, hah?"

Tangannya seperti berencana menyusup ke celah pahaku, sebelum tangan dingin Louis mencegatnya. Suara dingin Louis berkumandang di ruangan.

"Kusarankan untuk menjauhkan tanganmu dari barangku, kak," ucapnya pelan. "Kali ini, yang ini terlalu berharga untuk kau rusak."

Aku tersipu, mendengar bahwa aku miliknya. Tapi ah, aku hanya seperti barang. Lupakan saja.

Dexter tergelak. "Berapa harganya saat kau beli, hah? Akan kuganti lima kali lipat. Bahkan menghitung fakta kalau dia sudah tidak ... perawan." dia menyeringai, sekilas paras Louis tercermin di wajahnya.

"Kau sungguh bajingan beruntung. Ia jadi milikmu saat masih polos. Dimana kau mendapatkannya?"

Mendengar itu, Louis tersenyum tipis, rautnya dipenuhi aura angkuh.

"Bukan urusanmu. Tetapi, aku mendapatnya dari sumber terbaik."

Yah, kalau ayahku yang mabuk-mabukan dan suka judi kau anggap sebagai sumber terbaik, standarmu pasti rendah sekali.

"Aku ingin memakainya. Kubayar tujuh kali lipat?"
"Tidak."
"Delapan kali lipat?"
"Tidak."
"Sembilan kali lipat?"
"Tetap tidak."

Dexter mendengus, frustasi. "Sepuluh kali lipat."

"Tidak," ujar Louis final. "Kau tidak pernah tahu cara merawat barang."

Memangnya kau bisa? Aku mendelik.

Pria itu tidak berfokus pada Louis lagi. Sekarang, dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Ia menunduk, dan mata cokelatnya menatapku dalam.

"Bagaimana kalau kau coba sekali saja, sayang?" Dexter menatapku intens. "Akan kupuaskan kau lebih dari yang sudah-sudah. Pemula itu tidak tahu caranya, kan? Aku lebih berpengalaman."

Tapi aku bergidik, jijik akan sifat genitnya. Iiih, tidak. Melayani satu pria saja sudah melelahkan.

Tapi pria ini terus mendekatiku padahal aku sudah menggeleng kuat-kuat. Dahi kami hampir menempel, sebelum Louis mendorongnya menjauh. Kini si adik menatap kakaknya tajam.

"Jangan sentuh," desisnya.

Louis mengancungkan pistolnya tadi, kemudian menunjuk ke arah pintu. Mungkin dia sama muaknya denganku.

"Pergilah, sebelum kugunakan ini secara paksa. Aku bergabung dengan kalian sepuluh menit lagi."

Dexter terkekeh, khawatir melihat pistol itu.

"Baiklah, sepuluh menit lagi." Nadanya sarat akan kecewa. Dia pun berbalik pergi.

Klik. Pintu tertutup.

Oneshots - Roses of The MountainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang