Enam

2.7K 693 61
                                    

Apakah mau lanjutttt?

***

Aku tidak tahu mana yang lebih buruk, mendadak melihat orang telanjang bulat atau menemukan fakta lain, sosok Pak Bhumi yang berdiri di belakang semua teman-teman yang masih panik melihat aku tiba-tiba pingsan. Sungguh, aku tidak menyangka kalau dia bakal berada di antara mereka semua dan memandangku dengan tatapan amat khawatir, jauh berbeda dibanding saat dia menatap wajah si Mbak Gila tadi. 

"Kalau Pak Bhumi nggak tergoda, gimana Lan?" 

Kalimat yang kudengar dari bibir Bayu benar-benar seperti menonjok kepalaku sewaktu aku menangisi nasib Om Pel yang mesti terperangkap saat bosku bermesraan dengan teman kencannya. Kenapa mesti Pak Bhum nggak tergoda? Dia kan senang dengan wanita-wanita seksi apalagi yang menyodorkan diri dengan sukarela. Apa harus aku memberi tahu bahwa selama tiga bulan lebih, aku telah melihat begitu banyak wanita yang seperti habis kena pelet setelah melihat Pak Bhum tersenyum kepadanya. 

Bagaimana bisa dia tidak tergoda? 

Karena itu juga, begitu melihat kehadiriannya di tempat ini, bukannya menemani wanita pujaan hatinya tadi, aku merasa amat bingung. Entahlah, agak sedikit tidak wajar juga karena seharusnya Pak Bhum tidak ke sini dan memandangi aku dengan raut khawatirnya itu.

Lagian, kenapa juga Bayu mesti menekankan kata Pak Bhum tidak tergoda? Buat apa? Gara-gara Pak Bhum juga, aku yang mestinya sudah siap balik ke Jogja mendadak harus menyelesaikan sisa magangku. Aku seharusnya sebal dan marah. Nggak tahulah. Aku begitu emosi melihat Bayu yang seakan-akan mendukung bosku padahal dia, kan, bukan asistennya. 

Dia kayak sengaja mau jodohin aku sama bosku sendiri dan mengingatnya saja, aku jadi makin kesal.

"Kamu jahat, Yu." aku yang emosi segera mendorong tubuh Diana dan Mbak Ora yang saat itu masih memijat tengkuk dan pelipisku, kemudian aku memutuskan kabur dari mereka semua. Rasanya nggak percaya, Bayu yang selama ini cukup akrab denganku mendukung Pak Bhum begitu rupa. Dia juga sempat meneleponku beberapa waktu lalu dan mengatakan kalau aku harus mengganti rugi biaya magang dan sebagainya kalau aku nekat mundur. 

Lagian, kenapa, sih, dia kayaknya setia banget sama Pak Bhum? Apa gara-gara Pak Bhum adalah salah satu orang dalam yang cukup berpengaruh di TV Lima? Atau memang dia senang jadi orang kepercayaan bosku itu? Memangnya Bayu tahan-tahan saja dimaki oleh Pak Bhum tiap dia lagi kesal? 

Mengingatnya lagi membuatku makin marah. Iya, Pak Bhum sudah sedikit lembut dibandingkan sebelum aku ngambek dulu. Tapi, itu juga ada alasannya. Pasti Mbak Solehah itu yang membuatnya seperti itu. 

Aku jadi penasaran, yang mana orangnya sampai Pak Bhum bahkan rela meninggalkan Mbak tadi. Dia kabur juga karena nggak mau melihat pemandangan mesum itu, bukan? Aku tepuk tangan kalau begitu. Mbak Solehah benar-benar hebat sudah merubah Pak Bhum jadi Mas Soleh yang luar biasa. Dia jadi rajin salat, rajin mengaji, sering traktir bakso…

Aku yang melangkah entah ke mana, mengikuti naluri kakiku melangkah pada akhirnya memperlambat laju kakiku dan mulai menganalisis. 

Omong-omong, Pak Bhum benar-benae berubah drastis dan daripada marah-marah tidak karuan, dia jadi lebih sering duduk diam menyimak omelanku yang kadang tidak masuk akal entah kepadanya atau Om Pel saat kami sedang bertiga saja. Dia bahkan tidak ragu mengajakku makan bersama dan ikut ambil bagian dalam beberapa liputan di luar. 

Aneh sekali, dia bahkan nggak risih lagi sewaktu berdiri di sampingku dan dia juga mengajakku makan bakso, beliin aku agenda baru, ngajak ikut nonton Malam Anugerah Insan Televisi dan mendapat satu tempat duduk di sampingnya, bukan di bagian kru dan…

Siapa, sih, Mbak Solehah itu?

Tetap istiqamah, Salihah.

Bukannya itu judul di buku agendaku yang dia beri? 

Aku merasa lemas selemas-lemasnya. Seluruh tulang di tubuhku mendadak ngilu dan tidak ada yang bisa aku lakukan selain membiarkan tubuhku merosot dan aku meremas kepalaku sendiri karena kenangan-kenangan konyol di antara kami berdua muncul begitu saja tanpa diperintah, dan bodohnya aku, tidak pernah menyadari semua itu terjadi tepat di depan batang hidungku.

Ya, Allah.

Ya, Allah.

Mau nangis.

Sayangnya, air mataku nggak mau keluar dan dari pada menangis, aku akhirnya menjitak kepalaku sendiri karena terlambat sadar pada kekonyolan dan kebodohanku sendiri.

Pantas tadi dia ngotot memaksaku bilang cinta dan dia jadi makin nekat sewaktu aku bilang nggak mau.

Lihat? Kamu bodoh, Lan. Bodoh pake banget.

Om Pel sengaja banget bilang bos sedang suka sama wanita solehah dan Pak Bhum malah nggak sadar ngasih aku agenda yang sama. Bagus! Bodohmu sampai ke langit ke tujuh, Aisyah Kana Wulandari.

Dia bahkan ngundang aku khusus ke Aalam Anugerah, Ya Allah. Boleh nggak dia naksir orang lain aja?

Sumpah, aku mau banget nangis, tapi air mataku ini nggak mudah jatuh. Apalagi kalau alasannya karena aku terlalu telmi dan bodoh. Siapa yang bisa nyangka aku bakal mendapat kejutan kayak gini? Ini nggak mungkin lah, aku memaki lagi dalam hati. 

"Bulan, are you okay?"

Derap langkah kaki terdengar dan aku malah menelungkupkan wajah di antara lutut, seolah dengan begitu, suara yang saat ini paling tidak ingin kudengar, bakal menjauh, kalau perlu ke Zimbabwe atau Wakanda. 

Sana, Pak. Yang jauh kalau bisa, aku menahan diri untuk tidak berteriak. Tapi, begonya seorang Aisyah Kana Wulandari, aku malah makin gemetar begitu melihat ujung sepatu Pak Bhum yang berada tepat di bawah mataku yang menunduk. Dia ikut-ikutan jongkok di depanku dan bicara dengan Bahasa Inggris seperti dia yang biasa.

"Please don't do this to me. I need to make sure that you are okay."

Aku mau nangis, beneran. Tapi, seperti tadi, air mataku enggan keluar. Paling mataku cuma sedikit basah soalnya aku nyaris mencolok mataku sendiri dengan ibu jari. Jadinya, aku makin membenamkan kepalaku supaya kami tidak perlu saling melihat. Suara Pak Bhum yang makin khawatir membuatku cuma mampu menggelengkan kepala. Kenapa, sih, dia tidak lari saja dan memeluk Mbak tadi?

"Bebih, Bos sukriya cewek solehah."

Cewek solehah apa, Om Pel? Aku nggak sesolehah yang kalian duga, aku masih gila, masih suka nyanyi teriak-teriak kalau dengar suara Bang Dhito. Kalian semua salah…

Pak Bhum juga salah. 

Kamu salah naksir orang, Paaaaak…

"Wulandari, I'm asking you!" 

Dengar, deh. Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya sama aku, boro-boro bicara lembut, yang ada aku selalu kena marah dan gara-gara suaranya kayak begini, aku jadi makin lemas.

"Kamu seharusnya menjawab saat ditanya."

Aku mesti jawab apa coba? Mana posisiku sekarang benar-benar nggak ngenakin banget, kayak orang mau beol tapi ee'nya keras. Sementara, aku bisa ngintip lewat sela-sela lututku, Pak Bhum berlutut kayak orang mau lamaran. 

Hah? Lamaran? Aku jadi malah mau nangis, Ibuuuk, lihat anakmu ini lagi susah sekarang. Masak aku dapat sial seperti ini? 

Segera saja pikiranku berputar ke Malam Penganugerahan Insan Televisi, tepat saat kami berdua saling berdebat lalu kemudian aku mendukung Pak Bhum agar berusaha keras mendapatkan hati wanita yang dia sukai dengan sekuat tenaga walau sebelumnya Pak Bhum berkata dengan wajah nestapa, dia nyaris tidak bisa mendapatkan hati Mbak Solehah itu karena sudah ada yang punya. 

Asemnya, Mbak Solehah itu adalah aku sendiri dan aku malah mendukung Pak Bhum untuk mendapatkan diriku sendiri.

Dunia sudah gila, Ya Allah. 

Ampuni Ulan…

***

🤣🤣

Kalian inget ga ama scene ini?

The Moon TalksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang