Delapan

2.8K 620 38
                                    

Mana suaranya yang baca? Kok sepi amaaaat🤣🤣🤣?

***

Kupikir-pikir, marah adalah salah satu sifat burukku yang kadang membuat orang-orang terdekatku berkata, aku cukup menyeramkan saat marah. Alasannya, karena aku jarang marah dan orang yang jarang marah, ketika dia benar-benar tidak senang, bakal membuat orang lain merasa tidak nyaman. Pak Bhum juga sadar kalau aku juga merasa tidak senang dengan perbuatan liciknya tadi. 

Anehnya, saat kami dalam perjalanan pulang kembali ke kantor, yang seperti saat pergi tadi, penuh dengan perdebatan, Pak Bhum sempat mengucapkan kata maaf yang membuatku sedikit heran. 

"Sepertinya seharian ini saya membuat kamu terlihat tidak nyaman." suara Pak Bhum, seperti beberapa hari terakhir terdengar lembut dan sedih. Dia nggak terlihat seperti seorang Bhumi Prakasa Harjanto yang selalu bicara dengan nada tinggi setiap memberi perintah kepadaku dan lagi, tatapan matanya yang sendu seolah merasa amat bersalah, entah mengapa membuat aku sedikit terenyuh. Aku bahkan tidak sadar telah memuntir-muntir ujung jilbabku yang saat itu berwarna biru langit sewaktu mengangguk sebagai balasan atas pernyataan bosku barusan.

"Segitu jelekkah atasan kamu ini di matamu, Bulan?"

Aku mesti jawab gimana, coba? Biar pun sikapnya keterlaluan, aku berpikir kalau Pak Bhum ini juga manusia. Dia nggak sejahat itu, cuma kalau ingat kelakuannya dulu, aku suka merasa sedih dan…

"Atasan kamu tidak jelek, tapi membuat kamu tidak nyaman?" 

Hadeh, ini orang. Dasar wartawan. Sekalinya bertanya ujung-ujungnya tetap membahas topik yang sama. Pak Bhum sedang berputar-putar mengorek jawaban agar aku mengaku, aku mesti bohong atau jujur? 

"Tadi di depot bakso, lidah kamu terbakar atau gimana? Jadi irit bicara."

Dia pasti tidak bakal berhenti sampai aku membuka mulut. Sebelum menjawab, kulayangkan pandang ke arah jalan. Agak sedikit macet. Pak Bhum telah menyuruh Bayu untuk menandatangani absen pulang manual atas namaku dan aku sepertinya tidak bisa menolak. 

"Saya nggak biasa berduaan sama lelaki kayak gini." aku bicara jujur. Pak Bhum adalah orang pertama yang nekat mengajakku seperti ini. Mas Surya, kangmasku, dan Bapak, sudah pasti tidak masuk dalam hitungan.

Pak Bhum kemudian membahas tentang aku dan Mas Arman, termasuk tentang kepergian kami kemarin yang seperti kami saat ini lakukan, juga kulakukan bersama Mas Arman.

Dia tidak percaya kalau aku dan tunanganku pergi menggunakan trans Jakarta. Terus maumu kami naik apa, Pak Bhum? Odong-odong? Delman? 

Ternyata, dia malah ingin ikut pergi menggunakan Trans Jakarta bahkan rela menyamar demi bisa merasakan sensasi pergi seperti orang kebanyakan dan alasannya sungguh aneh, dia ingin membuatku merasa nyaman, senyaman saat aku pergi bersama Mas Arman. Sungguh aneh pikirannya hingga membuat aku tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Bhumi Prakasa, pewaris tahta perusahaan batubara, yang sejak kecil dimanja dengan harta dan kemewahan memilih naik TransJakarta? 

Gara-gara gadis solehah?

Seharusnya dia tidak melakukan hal tersebut. Yang pertama, aku cuma cewek kere yang menjalankan kewajibanku sebagai wanita muslimah, menutup auratku karena aku adalah seorang wanita yang telah akil baligh. Yang kedua, aku tidak setaat yang dia kira. Aku masih gemar mendengar musik, masih suka memakai celana, bahkan tertawa dengan suara cemprengku yang bagi kalangan yang jauh lebih tinggi ilmunya, aku adalah kaum kurang ilmu. 

Aku bahkan tidak sadar, setelahnya aku jadi banyak tertawa menanggapi perkataan Pak Bhum yang tidak peduli dengan omongan orang atau dengan keanehan yang dia lakukan karena nekat menyamar, termasuk betapa kagetnya aku ketika Pak Bhum menurunkan kami di parkiran masjid untuk melaksanakan salat Ashar, hal yang makin rutin dia lakukan dan membuatku bertanya-tanya, apa yang sudah aku perbuat sehingga Pak Bos jadi seperti ini.

"Kamu salat, kan?"

Setelah mengangguk, kami kemudian berpisah. Pak Bhum menuju bagian laki-laki sementara aku melangkah dengan lesu ke arah tempat wudu perempuan. 

Azan baru akan berkumandang sekitar sepuluh menit lagi dan aku menyempatkan diri untuk membersihkan wajah dan memandangi pantulan diriku sendiri di sebuah cermin berukuran amat besar tepat di atas kran wudu. 

Wajahku tampak kusut dan menyedihkan. Aku nggak bisa seperti Mbak Ora yang pintar memakai make up, atau Diana yang tinggi langsing dengan rambut kuncir kuda yang amat menawan. Aisyah Kana Wulandari cuma anak magang dekil yang cuma tahu sabun cuci muka dan pakai sunblok tiap keluar rumah supaya nggak kena kanker kulit.

Muka pas-pasan, jauh dari kata cantik. Pak Bhum bisa dapat seribu gadis cantik seksi cuma sekedipan mata.

Dompet apa lagi. Aku adalah anak magang paling kere yang selalu mencari nasi dan lauk paling murah di warteg, sementara Pak Bhum bisa dapat gadis paling kaya, anak bangsawan atau pengusaha semau dia. 

Ngapain juga dia milih aku. Sudah pasti cairan di kepalanya terguncang gara-gara kena jotos mantannya waktu itu, atau, Pak Bhum sedang mabuk sehingga dia nggak bisa bedain mana Mbak Solehah dan yang mana Mbak Soheboh kayak aku. 

Soal pintar? Aku sedikit beruntung bisa kuliah di salah satu universitas top ten Indonesia. Buat yang satu ini aku sedikit percaya diri, walau bila dibandingkan sama Mbak Sasha, aku nggak lebih dari upil. Dia cum laude di ivy league dan gelar masternya sempurna. Mereka berdua cocok bagai cokelat dan kacang mete di bungkus Silver Queen.

Jago ngomong?

Huh, Bhumi Prakasa itu tukang ngomong paling mahir dan kalau sudah marah, aku saja nggak sanggup buka mulut. Dia juaranya dan aku belum nemu lawan sebanding buat Pak Bhum. Tapi yang pasti, dia benar-benar kayak orang hilang akal bisa naksir aku.

Benar-benar sinting.

***

The Moon TalksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang