Tujuh

2.8K 593 33
                                    

Orang bilang, bila kamu tidak ingin dilirik oleh orang yang menyukaimu, sering-sering saja bertingkah aneh dan menjijikkan biar dia ilfeel. Akan tetapi, melakukan semua kejorokan dan hal-hal konyol di hadapan seorang Bhumi Prakasa Harjanto tampaknya percuma saja. Alasannya kenapa? 

Karena dia sudah tahu semua busuk-busuk yang aku punya. Pak Bhum tahu kalau aku suka makan yang banyak, suka ngupil, suka bersendawa dan menguap, bahkan sering sekali ketiduran kalau ketemu tempat nyaman, entah di kursi, di lantai, kalau aku mau tidur, ya tidur aja. 

Dia sudah kebal dengan semua keburukanku dan semakin aku menunjukkan semua kepadanya, tatapan mata serta senyuman yang dia buat setiap kami bertemu, membuatku yakin, dia sedang menantangku untuk berbuat lebih gila lagi.

Bahkan, Pak Bhum tidak lagi malu-malu menunjukkan perasaannya kepadaku termasuk kembali menawari aku ikut liputan dia yang lain.

Jika sebelumnya aku merasa biasa saja, kali ini aku merasa ada udang di balik batu. Dia sengaja mengajakku dan mendatangi tempat-tempat yang berpotensi membuat kadar kuat hatiku langsung goyah, terutama saat melihat makanan. 

Sumpah, makanan gratis dan tergeletak sia-sia adalah kelemahanku. Aku bahkan tidak peduli sama sekali dengan seringai licik di bibir bosku itu saat aku menyeruput kuah soto dengan perasaan seolah-olah aku sedang menikmati hidangan paling nikmat di dunia. 

Aku bahkan mengucapkan terima kasih dan balas tersenyum kepadanya dengan wajah tulus sewaktu dia mengangsurkan tisu kepadaku seolah-olah sebelum ini aku lupa bahwa seorang Bhumi Prakasa Harjanto punya perasaan kepadaku. 

Dan saat sadar, aku menatapnya dengan perasaan benci dan muak secara bersamaan. Kenapa dia harus jatuh cinta kepadaku? Kenapa dia mesti suka sama wanita yang sudah bertunangan? Kenapa dia tidak ingat bahwa dia punya reputasi sebagai playboy dan perusak hati wanita, lalu dia mau memaksa merebut aku dari Mas Arman? 

Bukankah dia sudah gila?

"Ehm, kalau saja ajak ke pelaminan, mau?"

Hei, belum sepuluh detik aku kelar memikirkan hubunganku dengan Mas Arman dan dia sudah membuat urat di leherku mengencang.

"Bapak mau cari mati?" ujarku dengan sinis. Untung tidak ada pisau atau garpu karena kalau ada, akan kucolok matanya atau hidung mancungnya itu biar diganti dengan hidung unta atau kelinci.

"Saya sedang mencari cinta."

Ish. Nyebelin. 

Untung saja ponselku berdering dan Mas Arman tersayang menelepon aku. Aku juga tanpa malu pamer wajah tunanganku tersebut tepat ke depan wajah Pak Bhum biar dia tahu, dia tidak boleh main-main denganku. Sana, cari cewek yang sesuai sama seleramu, Bos. Yang cantik, yang kaya, yang solehah, semua boleh. Asal jangan aku.

Toh, kamu sendiri yang bilang, kemungkinan kita bersama cuma kurang dari satu persen. Yang artinya nggak mungkin banget. Sori, ya, Pak. Situ jangan ketinggian bermimpi. Lagian kita nggak jodoh, kok. Jodohku adalah Mas Arman, bukan kamu.

Jadi, aku merasa senang waktu menemukan wajah Pak Bhum mendadak kusut setelah kubeberkan fakta yang sebenarnya. Dia harus berkaca, suka sama seseorang itu nggak bisa dipaksa dan lebih bijak bila dia suka wanita lajang. Aku yakin, mudah saja baginya mencari model seperti apa yang dia inginkan di dalam kepalanya. Mau modelan Bude Beyonce, Umi Kim Kardashian, Bunda Salma Hayek, pasti bisa dia dapat semudah menghembuskan ingus.

Walau beberapa hari kemudian aku merasa Pak Bhum jadi semakin nekat dan gila. Dia bahkan sengaja menyuruhku duduk di mobilnya sementara semua kru yang bakal meliput sudah duduk di mobil kantor. Tentu saja karena itu kami bertengkar. Aku menolak duduk di mobilnya dan dia ngotot mengatakan kalau mobil kantor sudah penuh dengan para pegawai dan anak magang.

"Kamu partner saya. Nggak mungkin kamu naik mobil kru." kilah Pak Bhum dengan nada berapi-api. 

"Saya ini anak magang, Pak. Seharusnya ikut naik mobil kru." aku ngotot nggak mau kalah. Peduli amat dengan beberapa orang yang memandangi kami berdua dengan tatapan heran di parkiran TV Lima, toh semua orang sudah tahu, kami selalu bertengkar, mempermasalahkan hal remeh-temeh hingga hal paling rumit.

Bahkan Pak Bhum menganjurkan aku untuk mengajak seorang kru perempuan agar mau bergabung dengan mereka. Masak, sih, bosku senekat itu? Dia bahkan mengabaikan peringatanku bahwa nanti bakalan ada satu atau dua perempuan yang bakal histeris kalau aku nekat duduk di sebelahnya.

"We have something to discuss." Pak Bhum berkacak pinggang, seolah sudah putus asa bila kali ini aku menolak permohonannya. Aku mana mau menyerah. Lagipula, diskusi macam apa yang membuat kami mesti berada di mobil yang sama? 

"Diskusi apaan, Pak?"

Pak Bhum kelihatan sekali memutar otak untuk memberikan jawaban. Agak aneh buat dia yang selama ini dikenal lugas dan selalu tanggap bila ada pertanyaan atau juga bertemu narasumber ngeyel yang sebenarnya menyimpan banyak rahasia. Bila aku bukan asistennya, aku tidak bakal curiga. Karena dia adalah Bhumi Prakasa Harjanto yang termasyhur, aku jadi tahu kapan dia mati kutu tidak bisa menjawab pertanyaanku. 

Ya, seperti saat ini. 

"Ehm, itu… masalah liputan hari ini."

Ih, gemes, kan? Pengen cubit bibirnya, kan? Untung bukan mahram jadinya ga bisa cubit. 

"Liputan kita tentang bakso, Pak. Nggak perlu rapat." aku menghela napas panjang. Capek juga meladeni bos yang bersikap aneh macam Pak Bhum ini. Dia bahkan masih tidak menyerah sekalipun tidak mampu menjawab pertanyaanku dengan baik. Puncaknya, saat aku mengingatkan kembali tentang Mas Arman dan tidak mungkin kami berdua berada dalam satu mobil, Pak Bhum barulah terdiam. Dia bahkan memilih untuk meremas rambutnya dan mengunci bibirnya rapat-rapat saat melihat aku melangkah mundur dan siap menjauh.

Jangan mimpi, Pak. Satu persenmu itu cuma remah-remah kerupuk melemp…

Apakah sekarang aku sedang dipermainkan oleh alam semesta? Bisa-bisanya mobil kru yang seharusnya ikut mengangkutku malah lenyap dari parkiran padahal tak lebih dari satu menit lalu aku masih melihatnya berada sepuluh meter di belakang mobil milik Pak Bhum yang berwarna biru ngejreng. Kenapa mereka semua tidak ada yang mengingat aku? Pak Safar tadi sudah kuwanti-wanti supaya jangan meninggalkan aku, kan? Gimana bisa dia lupa sama aku? Si perawan mungil yang mirip sekali dengan mantan kekasihnya di masa SMA? Terus Bang Safir? Dia tadi di dalam bersama Bayu…

Huh.

Bayu Laksmana. Kenapa aku bisa lupa makhluk satu itu ikut liputan juga hari ini? 

Aku memejamkan mata usai memandangi parkiran kosong tempat mobil liputan sebelum ini berada. Tidak ada yang bisa kulakukan. Mau lari juga percuma. Hidup itu mesti dihadapi, walau tantangannya super nyebelin dan keras kepala. 

Tarik napas, Lan. Aku memerintahkan diriku berkali-kali. Jangan terpancing buat marah. Kalau kamu kelihatan tidak suka, dia bakal senang sekali, begitu ulangku berkali-kali dalam hati. Aku kemudian terus membujuk diriku agar tetap tenang, akan tetapi, senyum menyebalkan yang aku dapat dari bos sintingku tersebut sanggup membuat mood-ku seketika berantakan dan aku benar-benar ingin mencekiknya.

"Butuh tumpangan?" Pak Bhum membuka kursi penumpang yang berada di sampingnya, tepat dekat dia berdiri dan mengedip jahil. 

Sumpah, kalau aku bisa melemparnya dengan sepatu kanan atau kiriku, sudah aku lakukan. Tapi, karena aku anak magang, aku sadar diri. Aku lebih sadar diri lagi karena kami berdua berada di tengah parkiran TV Lima dan lawanku saat ini adalah artis ternama. Bikin ulah di muka umum saat ini hanya akan membuatku malu, terutama bila berita seorang anak magang dari Jogja nekat melempari bosnya dilihat oleh Ibu dan Bapakku di kampung.

Tahan, Lan. Tahan.

Sumpah, meski aku terlihat amat tenang, aku tidak setenang itu. Orang-orang bisa saja melihat aku melangkah menuju mobil Pak Bhum dengan santai. Akan tetapi, aku sudah berusaha amat keras untuk tidak kelewat batas. 

"Bagus. Ternyata kamu cocok banget duduk di situ." Pak Bhum tersenyum dan dia menutup pintu dengan penuh kemenangan.

Dasar Pak Bhum sialan!

***

The Moon TalksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang