Bab 2 *Kenangan*

1 1 0
                                        

"Sekarang apa lagi yang membuatmu marah sih?", tanya Rian sambil menyetir.

"Mbak Hany cemburu karena melihat sekertaris kamu cantik banget bang", jawab Rara yang duduk di kursi belakang.

"Bener karena itu?", tanyanya lagi

Aku menggeleng dengan wajah cemberut.

"Lalu apa?"

"Aku marah sama mata mas Rian"

"Sama mata aku?"

"Iya, soalnya tiap hari liat hal yang bawa dosa", jawabku sambil menatap ke arah Mas Rian yang tetap fokus sama jalanan. Tapi tidak lama kemudian malah ketawa.

"Owh.. sekarang mas paham. Bukan mas yang minta Lili berpakaian seperti itu kantor. Mas gak punya hak mengkritik pakaian pegawai di kantor selama masih dalam batas ke wajaran", jawabnya menjelaskan

"Batas wajar apanya kalau pakai seragam hingga kelihatan aurat gitu", keluhku

"Itu privasi mereka. Dan mas hanya menghargai, tapi mas berani sumpah, selalu mengamankan mata mas biar gak bikin dosa", candanya.

Akupun gak bisa menyembunyikan rasa senangku.

"Dan lagi, mataku cuma buat ngeliat kamu sepenuhnya saat waktunya nanti", sambungnya

"Uhuk uhuk.. cie cie.. mbak Hany senyum2", goda Rara

Dalam kebahagian itu tiba-tiba

"Mas Rian awas!!!!", teriak Rara.

Akupun terbagun dari mimpi itu. Mimpi tentang kejadian setahun yang lalu. Rasanya begitu nyata seperti baru kemarin.

Sudah lama aku gak pernah lagi bermimpi tentang kejadian waktu itu. Tapi sejak 2 hari yang lalu bertemu dengannya, sudah 2 malam ini aku selalu bermimpi tentang kejadian itu lagi.

"Astaghfirullahalazim..", ucapku menenangkan diri.
Akupun bangun dari tempat tidur menuju dapur. Kegelapan di ruangan itu tidak lagi menggangguku, meski aku takut kegelapan. Karena ketakutan di kejadian waktu itu lebih menyeramkan untukku.

Aku duduk di meja makan dan menuangkan segelas air di cangkir. Aku lalu meminumnya seteguk kemudian memandangi air di dalam cangkir itu. Gelap. karena aku tidak menyalakan lampu utama di ruang makan.

"Apa yang kamu lakukan?",tanya suara yang muncul di kegelapan bersama cahaya lampu.

Kak Bima menyalakan lampu dan menghampiriku.

"Gak bisa tidur?", tanyanya

Aku menggangguk.

"Mimpi buruk?"

Aku kembali menangguk.

"Sudah lama kamu bilang gak pernah mimpi buruk lagi. Apa kamu ada masalah, cerita sama kakak. Siapa tahu kakak bisa bantu",

"Aku gak pa2 kak, kayaknya hanya kelelahan masalah pekerjaan, makanya sampai ke bawa mimpi", jawabku.

Tiba-tiba aku teringat saat Kak Bima menangis bersamaku waktu itu. Kakak adalah orang yang tegas dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan pada orang lain. Tapi saat aku pulang dalam keadaan hancur, Kak Bima memelukku sambil menangis. Bahkan Kak Aliya sang istri berkata itulah pertama kali melihat dinding pertahanan yang Kak Bima bangun, hancur berkeping2 ketika melihat kehancuranku.

Aku gak ingin Kak Bima sedih dan kepikiran jika aku mengatakan bertemu dengan Mas Rian dan bermimpi tentang kejadian 1 tahun yang lalu.

"Sekarang lebih baik Kak Bima kembali ke kamar dan istirahat sama Kak Aliya. Hany, juga mau kembali ke kamar, sudah ngantuk", ucapku sambil tersenyum.

....

"Han.. sampai kapan kamu mau menghindar seperti ini", tanya Mira, sahabat yang sudah kenal aku dari SMA, dan tahu cerita tentang aku dan Mas Rian.

Aku diam dalam keheningan sambil mengaduk2 es coffe latte yang ad di tanganku dengan sedotan. Pikiran seakan melayang jauh, saat pertanyaan ini di tanyakan padaku.

"Aku tahu ini berat, tapi menghindar bukan solusi", lanjutnya

"Lalu aku harus bagaimana Mir, aku sudah mencoba belajar untuk ikhlas, sudah belajar merelakan, sudah belajar untuk melupakan, tapi kenapa saat semua sudah hampir sepenuhnya aku perjuangkan, dia malah kembali hadir di hadapanku", keluhku mencoba tetap mengendalikan emosi untuk tidak menangis.

"Kamu mengeluh? Lalu mau menyalahkan Allah SWT?", tanya Mira membuatku tertegur.

"Aku gak bermaksud begitu", jawabku.

"Tapi kata2mu itu seperti menyalahkan takdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT Han..", tegasnya.

Aku terdiam merenungi kata2 Mira.

"Kalau kamu memang ditakdirkan bertemu dengannya lagi, mau menghindar sampai kapanpun dan kemanapun, pasti tetap akan bertemu. Tapi hasil dari pertemuan itu hanya ditentukan oleh bagaimana caramu merespon dan menghadapinya", sambungnya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan Mir, rasanya begitu berat melihat orang yang aku harapkan dulu, melupakan aku sepenuhnya"

"Kamu kuat Han.. aku tahu itu. Jadi hadapi yah.. aku selalu berada di sampingmu, menjadi pendukungmu yang nomor 1", Mira meraih tangan kananku di meja dan menggenggamnya. Seakan menguatkanku.

Apa yang dikatakan Mira benar. Tindakanku untuk selalu mencari alasan untuk tidak mengikuti meeting bersama mereka, hanya tindakan pengecutku untuk menghindar.

Kalaupun aku memang harus sepenuhnya melepaskan, aku harus bisa menghadapinya. Rasa sakit mungkin akan datang, tapi kepastian akan segera memberikan penguat agar rasa sakit itu segera mereda.

Black RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang