"Eh~"
Suara tawa pecah. Selayaknya mengejek [Name], membuat figur gadis tersebut mendecak kesal. Sementara seseorang yang tertawa itu, Ougai Mori, ternyata melunturkan tawa. Menggantikan ukiran senyuman tertampang pada wajah.
Tangannya mencoba mengelus surai milik [Name], namun mendapatkan respon yang berlebihan lagi-lagi dari sosoknya. "Ougai-san! Rambutku bisa berantakan kalau begitu," tutur [Name], memberikan kesan seolah tidak ingin.
"Haha, baiklah~ jadi sekarang, mau bagaimana?" Pada akhirnya, Ougai memberikan final akhir, terhadap keputusan [Name] kedepannya. Sesekali merasa tidak yakin, akan keputusan nanti. [Name] berada dalam kondisi, tak tahu harus menjawab apa.
Termenung tak memperhatikan, bahkan alis pun mulai berkedut. Dia terlalu memikirkan hal tersebut, berlebihan sekarang. "[Name]-san, [Name]-san!" Sedikit terusik akibat diri kaget, sesungguhnya dia telah dipanggil beberapa kali, namun, pada akhirnya dia baru melirik untuk sekarang.
"Eh, apa? Hah, maafkan aku," ujarnya menyahuti panggilan nama ia tadi. Dilirik oleh dia, terlihat seorang gadis, yang mungkin saja sepantaran dengan ia. Hanya saja perbedaannya, [Name] tidak memiliki kemampuan untuk melihat roh seperti gadis di hadapannya ini.
"Ah, iya? Tidak masalah. Tapi, ini syal milikmu, 'kan?" Terdiam sejenak. Pikiran mulai memasuki otak dia. Bagaimana sosok gadis di hadapannya ini, Ayazuki Mei, bisa menemukannya? Padahal, [Name] saja tak bisa menemukannya.
Meski begitu, menorehkan senyum kecil pada wajah. Bersamaan dengan kata-kata terima kasih singkat. Berakhir dengan, ajakan dari Mei untuk pergi keluar. Karena apa yang dicari, telah ketemu.
Meskipun salju tak begitu juga menumpuk, jalanan masih bisa dipijaki. Jadi, hanya perlu berbekalan sarung tangan juga syal. Karena, kaos kaki memang sudah dikenakan setiap harinya. "Baiklah, kalau begitu. Aku ingin," sahut [Name] menjawab pertanyaannya.
Setidaknya, selain ukiran senyuman pada wajah. Suara tawa pun mulai terdengar oleh mereka, meskipun [Name] sendiri hanya tertawa kecil. Dia sedikit senang, meskipun tadinya sudah dibuat kesal. Ah, bila dipikir-pikir lagi, apakah yang tadi terlalu berlebihan?
Beribu sayang, namun [Name] tetaplah [Name]. Dia terkadang khawatir dengan ucapannya yang demikian, bisa menusuk lewat perkataan seperti tadi. Sejenak, ia merasa bersalah dengan percakapan dengan Shunso.
Padahal, ia tahu bagaimana reaksi Shunso bila seperti itu. Dia terlalu mengacaukan suasana mereka tadinya. Hanya saja, malah berakhir termenung selama perjalanan dengan Mei, keluar dari ke kediaman tersebut.
Hanya saja, karena [Name] termenung. Ia tak menyadari bahwa langkah kakinya, diajak berjalan menuju ruangan Shunso berada. Dalam kondisi masih sibuk dengan pikiran, dari balik jendela panjang, yang tembus pandang. Segera pemilik ruangan tersebut, membukanya perlahan.
"[Name]?"
Hanya dengan menyebut nama, [Name] tersadar dalam lamunan. Hingga iris manik mereka bertatapan, Mei pun menyahuti pelan, "Kalian tidak marahan, 'kan ya?" tanyanya penasaran akan ekspresi yang buat oleh [Name] sedari tadi.
Segera menoleh ke arah Mei yang masih di sana. Dengan cepat keduanya langsung berkata, "Tidak." Mendengarnya, entah kenapa Mei terlihat lega. Dikiranya akan ada pertengkaran dari sepasang insan ini.
"Hanya sedikit percekcokan adu mulut," jawab cepat [Name] menyambungnya. Dikala menatap Mei, yang memberikan kesan kebingungan, serta tanya terkandung pada ekspresi wajahnya.
"Begitu, 'kah? Baiklah, baiklah. Hm, kalau Shunso-san, sekarang sedang melukis apa?" tanya Mei, sekalian menanggapi perkataan dari [Name]. Meskipun sempat terdiam sebentar, Shunso langsung berkata, "Melukis sesuatu, sesuai saran [Name]."
Walau Mei penasaran, ia tidak akan bertanya untuk sekarang. Setidaknya hal itu, tak membuat [Name] berpikiran macam-macam. Karena, bila [Name] sudah larut dalam pemikirannya, sering kali, diri tak merespon siapa pun yang menegur.
Hawa dingin sesekali menusuk tubuh, tetapi [Name] langsung mendekati Shunso di sana. Tangannya bersentuhan dengan telinga Shunso. Sensasi dingin dirasakan, bersamaan sebuah ucapan diperdengarkan.
Sekaligus dengan deru napas membuat wajahnya, menampilkan kemerahan sedikit. "Maaf, untuk tadi, ya?"
Ah, melupakan Mei yang sudah tidak berada di sana. Karena paham dengan situasi yang seperti ini. Pastilah, [Name] membutuhkan ruang lingkup berbicara bersama Shunso lagi.
"Oh, jadi bagaimana dengan lukisannya?"
Melupakan reaksi mereka tadi, [Name] mengalihkan topik pembicaraan untuk saat ini, setidaknya. Shunso memasuki ruangannya, dan memperlihatkan sebuah lukisannya. "Kupikir, ini yang tercepat aku bisa lukiskan."
Seraya melemparkan senyum diwajah. Lukisan pun terlihat sangat indah, dan mata yang memandangnya saat ini tak terasa akan segera menguyur bulir-bulir bening di sana. Terharu dengan apa yang dilihatnya.
"Lukisannya, benar-benar hanya dilukis pada musim dingin saja. Meskipun aku sendiri tak bisa mempercayainya---" Perkataan Shunso terhenti. Dilihatnya [Name] menangis haru di sana. Dengan perlakuan perlahan, Shunso membiarkan [Name] berada dalam dekapannya.
"Aku lupa, maaf."
End
KAMU SEDANG MEMBACA
WINTER PAINTING! Hishida Shunso. ✓
Fiksi PenggemarLelaki dengan surai lumut itu terkadang, melampiaskan tangan yang penuh keanggunan dengan torehan pelan di atas sebuah kanvas. Menggambarkan sesuatu yang disarankan oleh si gadis penyarannya itu. "Shunso-san, bagaimana dengan lukisan musim dingin?" ...