"Dek!"
Teriakan disertai lambaian tangan itu refleks membuat Amara tersadar dari lamunannya, ia mendengus saat seorang cowok menyunggingkan senyum ceria saat melangkah mendekat.
"Kak Prēma bikin kaget aja," celetuknya, menopang kedua pipi seraya menatap cowok itu malas.
Cowok berambut kriting itu nyengir, lalu mengambil duduk di samping Amara. "Lagi mikir apa, sih? Serius banget, aku manggil kamu sampe tiga kali, lho," imbuhnya menatap Amara sekilas.
Amara tampak menghela napas pelan, sebisa mungkin ia tersenyum. Tatapannya mengarah pada sekumpulan murid cowok yang sedang bermain basket di lapangan.
"Dek, mikir apa sih?" tanya Prēma semakin penasaran, bahkan ia mencoba menggeser duduknya agar lebih dekat pada Amara.
Amara kembali menghela napas berat, kini tatapannya beralih pada Prēma. "Enggak ada, lagi pengen bengong aja," jawab Amara, dengan santainya.
Sontak Prēma mendelik, mengacak pelan surai hitam sepanjang pundak membingkai wajah Amara yang bulat itu. "Gitu ya, main rahasia sama aku. Kemarin aja aku curhat masalah pacar aku sama kamu," celetuknya merajuk.
Amara langsung terkekeh melihat ekspresi ngambek dari Prēma, benar-benar tidak sesuai dengan wajahnya yang sangar itu. "Privasi, Kak Prēma. Tau privasi kan?"
"Iya, iya. Aku kan hanya teman, jadi gak berhak tau masalah kamu."
Eh, bukannya paham. Prēma malah semakin merajuk, walaupun pada akhirnya Amara tetap tidak bisa menceritakan semuanya pada Prēma. Karena masalah itu memang pure privasi.
Kini gantian, Prēma yang kembali menghela napas berat. Ia menatap Amara sendu, tetapi tatapan itu refleks berubah saat Amara balik menatapnya dengan alis yang terangkat.
"Kayaknya yang banyak masalah itu kamu, Kak," kekeh Amara menebak.
"Hm, kurang lebih. Ada sedikit masalah tapi gak berat-berat amat, ini masalah Bang Bima. Kamu kenal, kan?" tanya Prēma serius.
Dengan polosnya Amara menggeleng, karena memang Amara tidak kenal dengan cowok yang namanya Bima.
Mendapat respon heran dari Amara, seketika membuat Prēma diam. "Terus, Bang Bima kenal Amara yang mana kalau bukan yang ini?" tanya Prēma dalam hati.
"Memangnya kenapa, Kak?"
Prēma langsung menggeleng cepat, seraya tersenyum paksa. Ia bangkit dari duduknya, menepuk pelan pundak Amara. "Aku duluan, ya. Bentar lagi bel masuk nih," pamit Prēma, lalu beranjak meninggalkan Amara yang masih dipenuhi rasa tanya.
"Bima? Apa yang dimaksud Kak Prēma itu, Bima Andra?" Tak mau pusing, Amara memilih meninggalkan teras dan beranjak ke kelas.
Sampai di kelas, tiba-tiba semua pandangan fokus pada Amara. Tentu saja itu membuatnya jadi tidak percaya diri dan merasa minder, untuk apa coba mereka memandang Amara dengan sorot mata seperti ingin menginterogasi.
Amara berhenti pada meja ke empat pada barisan pertama dari arah kanan, tetap berada di dekat jendela yang mengarah langsung pada pemandangan belakang sekolah.
Saat itu juga Friska menarik lengan Amara hingga sang empunya terduduk dengan kasar. Amara langsung melotot tajam serta menggertakan giginya. "Apaan sih, Ka!" bentak Amara.
"Apaan, kamu tuh yang apaan!" balas Friska ngotot. "Barusan kamu ngapel sama siapa, hah?!"
Ngapel? Amara langsung menoyor jidat Friska sampai kepala gadis itu hampir terantuk pada tembok yang ada di belakangnya. "Jangan gila kamu, aku aja jomlo. Mau ngapel sama siapa? Jin botol!"
Friska menggeleng, mengulurkan tangan untuk ditempelkan pada jidat Amara. "Kamu barusan ngapain sama Kak Prēma kalau bukan ngapel, hah?!"
Amara langsung mengernyitkan dahinya, menatap Friska heran. Memangnya ada apa dengan Kak Prēma? Mungkin itu pertanyaan yang bisa mewakili ekspresi Amara saat ini.
"Sumpah demi apa, jangan bilang kamu gak tau siapa Kak Prēma?" Tebak Friska.
"Tau kok, Kakak kelas 11 MIPA 1. Aku kenal dia sekitar tiga bulan yang lalu lewat chatingan, dan baru ketemu beberapa kali. Tapi sumpah, dia asyik bahkan terbuka," jelas Amara dengan pedenya.
Kali ini Friska langsung memukul jidat Amara. "Gila kamu, Am! Serius kamu tau Prēma hanya sebatas itu?"
Amara langsung berdecak kesal. "Memangnya Kak Prēma kenapa sih? Ada apa? Perasaan dia baik tuh, gak ada yang aneh," protes Amara yang mulai dongkol.
"Serius kamu gak tau Kak Prēma?" Sekali lagi pertanyaan yang sama terlontar dari bibir cerewet milik Friska.
"Jangan berbelit, aku malas duluan nih," kesal Amara, menyilangkan kedua tangan di dada.
"Kak Prēma itu barusan bebas dari penjara kemarin, kena kasus tawuran yang rame-rame beberapa hari di sekolah, Am!"
"Hah?" Amara bengong, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Friska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amara Prēma
Fiksi RemajaMenolak dewasa. Mungkin itu kata yang tepat untuk seorang Amara. Di usia yang menginjak tujuh belas tahun, Amara harus dihadapkan dengan berbagai macam problema kehidupan. Kisah cinta, persahabatan, keluarga, bahkan cita-cita. Entah akan bagaimana...